Mengintip.
Kata itu sebenarnya terdengar kurang ajar. Mengintip, melihat sesuatu yang seharusnya tidak perlu dan terlarang untuk dilihat, menarik garis batas privasi ke arah yang lebih luas. Licik? Hmm, tentu tidak sejahat itu.
***
“Sudah datang? Sudah datang??” dengan tergesa aku merengsek mendekati Bunda yang tengah duduk dibalik jendela, tepatnya bersembunyi dibalik gorden, meskipun kami semua tahu bahwa kaca rumahku 80% gelap dan tak tampak dari luar.
Bunda buru-buru membekap mulutku yang cukup berisik untuk ukuran siang yang tenang.
“Ssshh, jangan keras-keras.” Tegur beliau.
“Upss…maaf Bunda.” Aku buru-buru nyengir minta maaf. Berusaha memposisikan di posisi yang paling nyaman, aku duduk di samping Bunda.
“Belum, sebentar lagi. Pasti.” Dengan keyakinan penuh Bunda menatap seberang.
Benar. Tak lama kami mendengar suara motor yang begitu khas, menghiasi sepinya siang di daerah kami. Motor pitung merah tua dengan suara ‘otok-otok-otok’ khas-nya, dikendarai oleh seorang pria misterius yang selalu kami, aku dan Bunda, perdebatkan.
Aku cekikikan, tak kuasa menahan rasa geli dan penasaran yang begitu menggairahkan. Buru-buru Bunda menepuk pelan kepalaku, menyuruhku diam barang sebentar.
Hanya lima menit kami melihat pria itu sebelum ia berlalu, masuk ke rumah depan. Dan sunyi.
***
Brrmm…wrrrrr…wrrrr
“Bundaaa…!!” seruku ketika mendapati seluruh penghuni rumah depan pergi. Nah!
Bunda yang sedang mencuci piring langsung datang tergopoh-gopoh.
“Kenapa?? Kamu teriak-teriak begitu?” tanya beliau sembari mendekat.
“Itu…” aku menunjuk kesunyian di rumah depan.
Lalu aku cekikikan sendiri.
“Sebentar lagi pasti datang.” Sahutku penuh keyakinan.
Nah, tak lama, memang ada yang datang. Wanita karir yang menjadi tetanggaku belasan tahun. Begitu tenang, begitu dewasa. Namun tidak kali ini, seperti saat-saat sebelumnya setiap kali pria itu hendak menjelang. Tampak begitu tergesa, selalu tepat setelah semua komposisi keluarganya berlalu, melakukan ritual yang selalu kami mata-matai selama beberapa bulan terakhir : membuka gembok pagar, membiarkan pintu setengah terbuka, dan kami tinggal menunggu si pria berpitung datang.
Brrrrmm…otok-otok-otok
Nah!
“Dengan kaos hitam.”
“Lagi.”
“Dengan kacamata hitam.”
“Persis tukang pijat.”
“Hmm..”
“Hahahahaa.” Aku tak kuasa lagi menahan tawa.
“Bunda?”
“Ya?” sahut Bunda tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dari rumah depan, mungkin sedikit berharap menemukan sosok pria misterius yang selalu menjadi ‘tamu’ setia wanita karir tetanggaku kala Ayah, Ibu, dan Kakaknya meninggalkan rumah. Bermain kucing-kucingan, seakan tak ingin keluarganya tahu ia mendapatkan kunjungan rutin itu. Cukup intens, jika sekedar menjadi teman. Namun cukup aneh, karena selalu di saat rumah itu kosong melompong. What the hell.
“Aku tahu, pria itu adalah montir. Atau tukang. Atau orang yang sedang mereparasi sesuatu…” sahutku perlahan, masih memandang rumah depan sebagaimana Bunda menatapnya.
“Hsssh.” Bunda menjadi tak sabar dan bosan, “…tak mungkin setiap hari. Lagipula montir apa? Reparasi apa??” Bunda tak mau kalah.
“Hmm…montir cinta. Yang mereparasi hati yang patah dan terluka…” sahutku menerawang. Gombal.
***
“Ada apa sih, Bunda??” tanyaku mendapati sore itu begitu ramai di depan rumah. Bukan hajatan, tentu. Karena tak ada rangkaian janur atau balon atau bendera putih atau apapun.
Bunda pucat pasi, tak sanggup menjawab.
“Mbak X… “ adikku menyebut nama wanita karir tetangga depan yang kerap kami mata-matai.
“Kenapa??” tanyaku parau, mau tak mau ikut berfirasat aneh.
“Ia kabur, katanya dengan seseorang. Hanya meninggalkan surat aneh. Ketika rumah kosong, keluarganya pergi semua…”
Brrrrmm…otok-otok-otok.
Kaos hitam.
Kacamata hitam.
Berputar di dalam kepalaku bagai kaset rusak. Pening. Semua hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar