Rabu, 30 Maret 2011

We’re perfect match, Hon, (but) just too ‘far’



“Maaf, telepon yang Anda tuju sedang berada diluar area. Cobalah beberapa—“

Klik.

Una nyaris membanting hp-nya sendiri ke lantai keramik yang keras, alih-alih ia melemparkan benda itu ke atas ranjang, dan mental beberapa kali. Berhenti beberapa senti, tepat di bibir ranjang.

Mukanya yang cukup kusut sejak pulang dari kampus beberapa saat lalu kian kusut, mendapati lagi-lagi teleponnya tak bisa menjangkau nomor yang dituju. Sudah yang kelima kalinya minggu ini, pikirnya getir.

“Na, ayo makan dulu.” Suara Ibu sayup-sayup dari meja makan.


*** 


“…tampaknya kita harus survey lokasi lusa. “

Kalimat terakhir Pak Beni diterima Rama dengan gamang. Lusa. Lusa seharusnya ia berada di rumah. Ia sudah berjanji pada Bana untuk menuntaskan permasalahan calon pembeli rumah di Kemang. Dan ia berniat mengantarkan Ibu ke rumah sakit, general check up. Dan lusa, lusa ia justru harus (lagi-lagi) mengasing di tengah laut.

“Pak? Pak Rama?”

Rama gelagapan, ia tak sadar sedari tadi Pak Beni memperhatikannya. Buru-buru ia minta maaf.

“Ada masalah?” tanya Pak Beni sambil menepuk pundak Rama. Rama langsung meraih folder meetingnya dan mengikuti tuntunan Pak Beni keluar ruangan. Rekan lain sudah berlalu, mungkin beberapa menit lalu ketika ia sibuk melamun.

Rama langsung pasang tampang tegas.

“Tidak Pak. Tidak ada masalah apa-apa. Hanya memikirkan survey lusa.”

Si bos tersenyum puas. Ia menepuk-nepuk bahu Rama layaknya seorang bapak yang penuh kebanggaan.

“Bagus. Saya tahu pilihan menempatkanmu sebagai pimpinan proyek ini akan sukses. Oke, saya duluan. Ada meeting lain. “

Dan secepat itu Pak Beni berlalu. Rama menelan ludah. Bagus, karirku akan menanjak dengan cepat, batinnya antara lelah dan puas karena dipuji langsung oleh Pak Beni.


*** 


 “Eh, gimana kabar cowok lo?! Kudu jadi ya, anak-anak udah pada siap-siap ni. Cuma tiga hari doang!”

Una menjauhkan hp dari telinganya, demi mendengar suara Vira yang nyaris melengking saking semangatnya, tak henti-hentinya nyerocos.

Ia mengeluh dalam-dalam, dalam hati, tentu. Sebelum akhirnya berhasil menjawab,

“Iya. Udah gue kabarin. Kayaknya si bisa. Iya, gue juga udah nggak sabar…” Una setengah berharap suaranya terdengar sama antusiasnya dengan celotehan Vira.

“Oke-oke. Kalo gitu gue telpon anak-anak, deh. Banyak yang kudu direncanain. Uhh, liburan!”

Klik. Tanpa memberi Una ancang-ancang bagi Una untuk kembali merespon.


*** 

 
“Tapi aku belum bisa pulang… Minggu depan aku masih di tengah laut, sayang… “

“Cuma tiga hari aja, masak nggak bisa, sih??!”

“ … “

“Ayolah… kapan sih kamu ada waktu buat aku? Aku kan juga pengen jalan-jalan, nonton, ditemenin pacar kemana-mana, nemenin aku belajar… “

“ … “ sebenarnya aku celana dalam atau pacar, sih?? Rama membatin sementara matanya menelusuri perhitungan di layar monitor.

“Aku nggak mau tau, pokoknya kamu harus datang. Kalo nggak mending kita putus aja!” Klik.

“Ahh…” hanya itu saja yang keluar dari bibir Rama. Desahan menjurus bosan. Mulai lagi deh… pikirnya


*** 


 “Kenapa sih, lo mau pacaran sama cowok yang tuju taon lebih tua?? Nggak ada asyik-asyiknya deh… “ (kompor mulai beraksi)

“Soalnya dia baik. Sabar. Pengertian. Dewasa. Kritikannya kan membangun. Gue jadi merasa aman aja. Orangtua gue juga percaya kalo gue jalan sama dia…” (alasan klise, namun fakta)

“Tapi toh, dia nggak selalu ada buat lo, kan?” (benar-benar kompor mledug ini bocah…)

“ ... “


***  

“Apa yang menarik dari anak kuliahan itu, Ram?”

“Hmm… harus dijawab?” (telunjuk mulai menelusur permukaan bibir cangkir yang berisi setengah kopi, seakan merasakan tekstur, namun sebenarnya hanya pengalih perhatian)

(mengangkat bahu)

Well, dia… manja. Lucu. Imut. Selalu bisa membuatku tertawa dengan segala kepolosannya, kejutan-kejutan kecilnya. Kecemburuan yang tidak pada tempatnya… Makes me feel so alive.” (tersenyum kecil, menggeleng-geleng kepala seakan baru menyadari kenapa ia menyayangi seseorang itu).

“Kalau hanya itu, apa bedanya dia sama boneka? Yang buat lucu-lucuan, rapuh sehingga perlu dipeluk, dan seiring waktu berjalan bisa remuk? Extra care, extra love?”

“ … “


***

 
“Jadi?”

“Jadi—kita putus… “

Rama tahu cepat atau lambat ini akan terjadi. Suka atau tidak suka. Ia sibuk atau tidak sibuk.


As I sit and watch the snow fallin' down
I don't miss you at all
I hear children playin', laughin' so loud
I don't think of your smile
So if you never come to me
You'll stay a distant memory


 Hubungan dengan jarak yang jauh, secara usia dan rentangan kilometer tidak mengenal hal klise seperti baik dan perhatian, tapi hanya perlu rumus matematika. Rama memutar arah, tidak meunju rumah Una seperti rencananya semula. Namun berbalik, menuju kantornya, tempat ia berbagi kisah dengan lembaran draft, kertas-kertas proyek, dan bercangkir-cangkir kopi dan sebungkus rokok. Dan, tentu saja big match. Sebelum tak ada sinyal, sebelum ia harus melewatkan beberapa minggu di tengah laut. Rama sadar, ikan di laut bahkan bisa lebih ramah dari ini semua, pikirnya getir.


*** 


Una hanya memandangi mukanya yang bengkak karena air mata, dengan tisu bertebaran di seputaran lantai. Melupakan besok ada ujian semester, melupakan ada janji hang out, melupakan perutnya yang berkeriut minta makan. Menangis, menangis, menangis…

Oo bintang-bintang di langit… kenapa aku yang paling malang di dunia ini???  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar