Karena saya mulai nglangut (baca : mendekam garuk-garuk tanah) di kamar, jadilah saya memutuskan untuk keluar. Dan saya ingat, saya berniat membeli semester-dua meter kain blaco untuk persediaan ketika saya bosan. Hehehe. Jadilah sekitar pukul 10an saya menuju area Kotagede, yang memang dekat rumah, demi mencari selembar kain kewer-kewer itu.
Dan… yayyyy. Saya lupa—atau tepatnya samasekali tak sadar—bahwa hari ini, adalah hari Selasa Legi. Apa hubungannya Selasa Legi dengan ini semua? Hubungannya adalah, jejalanan menjelang Pasar Kotagede macet cet cet... Sepeda dimana-mana, motor dimana-mana. Orang lalu-lalang. Dalam bahasa sederhananya, semrawut.
kemacetan Legi di Pasar Legi
Masih bingung? Saya juga *LoL* baru sejurus kemudian saya celingukan mengamati aktivitas heboh di sekitar pasar,dan tercetus pertanyaan,
“Rame banget. Ada apa sih?” (yeah, pertanyaan bodoh bagi penghuni Kotagede dan skitarnya...)
Awalnya saya kira ada semacam kecelakaan, secara di depan kantor pos besar utara Pasar Kotagede ada sejumlah tukang parkir yang mengerumuni tukang parkir lain yang tengah teronggok bersandar pada kotak pos, ditemani segelas teh disampingnya. Bukan-bukan… mereka tidak sedang main gaple :( Si pak tukang parkir yang bersandar itu rupanya tengah kelelahan, dan teman-temannya berkerumun membantunya.
Dan saya baru ngeh bahwa sekarang hari Selasa dalam pasaran Legi. Salah satu hari pasaran selain Pon, Wage, Kliwon, Pahing menurut kalender Jawa. Legi—adalah nama tengah Pasar Kotagede : Pasar Legi Kotagede.
Pada hari-hari ‘Legi’, pasar berubah menjadi tumpah ruah ramainya. Lebih hidup dari hari-hari sebelumnya. Yayaya… saya tahu hal itu. Namun penggunaan pasaran Legi? Jarang sekali. Saya hanya akrab dengan Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu.
Motor yang saya naiki hanya bisa merangkak sedikit demi sedikit. Duh, salah jalan (kebetulan toko kain yang menjual blaco letaknya barat pasar, jadi mau tak mau kami harus merengsek maju mengarungi orang-orang yang lalu lalang seenak udel). Rasanya? Maju kena mundur kena. Sundul depan belakang :(
Kali ini, sejauh pengamatan saya, Pasar Kotagede tak ubahnya seperti Pasar Ngasem, penuh dengan burung, sangkar burung, dan orang-orang yang mengerumuni burung. Persis seperti gambaran pasar-pasar era Majapahit yang saya baca di buku sejarah. Tua muda besar kecil, mayoritas pria, sibuk ambil bagian dalam komunitas kaget ini. Sebenarnya saya berniat mengambil satu dua foto, namun karena kami saja terjepit, daripada saya nekad dan kamera saya terjambret, lebih baik menatap dengan mata lebar-lebar. Hmm… baru kali itu saya mengunjungi Pasar Kotagede kala pasaran Legi, padahal nyaris belasan tahun saya habiskan di daerah ini *blushing*
Fiuhh, akhirnya kami berhasil melewati pasar, sayang macet kembali menyapa. Olala… rupanya ada sebuah bis—BIS! Di jalan yang kecil itu!—semacam bis yang mengangkut rombongan perwira. Duh duh…
jalanan Kotagede tuh minimalis... mana cukup buat tambahan satu ekor bis? Ckckckc. Padahal si andhong sudah mlipir-mlipir trotoar segala...
Sembari menyaksikan kemacetan, saya masuk ke toko kain yang tadi saya maksud. Ewww… tokonya, sebagaimana bangunan lain di seputaran kota perak itu, cukup gelap, tradisional, dan kurang terawat. Sementara Ibu saya melakukan transaksi, saya asyik melihat-lihat isi etalase kaca yang penuh dengan kancing dan peralatan menjahit lain. Hingga, ada sekitar 3-4 orang pengemis yang datang. Saya kira mbak penjaga toko hendak memberikan receh, tapi tidak. Pengemis itu mengambil receh yang memang sudah ditata rapi oleh penjaga toko di atas etalase sehingga memungkinkan para pengemis untuk mengambil sendiri. Hmm, pengemis itu mengambil sekitar… 200-300 rupiah dari atas kaca etalase. Kemudian… saya takjub. Baru lihat cara seperti itu. Efisien sekali :)
efisiensi penjaga toko : cukup letakkan koin-koin di atas meja.
Efektif menghemat suara, dan melihat seberapa 'serakah' para pengemis...
Setelah transaksi selesai, jalanan masih macet. sekilas saya lihat seorang pria berjalan membawa sangkar burung menjauhi area pasar. Well, sama seperti saya, rupanya ia habis bertransaksi...
seorang pria di kejauhan, tampak menenteng sangkar, menolak kemacetan
Tak jauh dari pasar, seorang bapak tengah mengendarai motornya. Berbatik ria, membelah macet, dengan sangkar burung nangkring di jok belakang...
sangkar yang kosong...
Sepanjang perjalanan kembali (tak mungkin mengambil jalan pulang, karena bisa dipastikan sangat macet plus bis bodoh yang tak tahu medan itu), jadilah kami memutari Kotagede, lurus menuju pertigaan kecil Tegal Gendu yang tepat di sisi kiri jalan ada resto mahal Omah Dhuwur, berbelok ke kanan. Dan… siang yang panas sepoi-sepoi diakhiri dengan mampir ke penjual buah terdekat. Here I am, fascinating Kotagede :)
tues-nice-day :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar