Kamis, 10 Maret 2011

Bapak




Ini benar-benar hari yang gila. Gila! Seharian aku terjebak di dalam kantor, melewatkan makan siang, melewatkan jadwal konsultasi dengan terapis (yes, BIG part), melewatkan cerita penting Firan tentang bagaimana aku akan menjadi calon tante (umm, she’s getting pregnant. Am I jealous? Oh, I’m not jealous. I envy her! :)). Gara-gara ada tender besar yang sangat menggiurkan (oke, aku juga tergiur), maka tim ku harus lembur hingga lewat tengah malam—aku melirik lilitan Gucci mungil di pergelangan tangan—yah, dini hari. Bahkan aku mengabaikan seluruh akses komunikasi. Ada sekitar, umm… 15 pesan masuk dan 5 miscalls. Dari kesemua itu, pesan dari Bapak cukup mengambil alih rasa lelahku, Sambil charging, aku buru-buru membacanya,




Uffff. Aku menahan napas. Permintaan beliau kali ini, agaknya bakal bernasib sama dengan permintaan serupa Bapak sebelumnya. Aku paling tak bisa meninggalkan kantor, apalagi dengan tumpukan tugas menumpuk. Aku tak tega dengan tim ku yang akan kerepotan. Kami sudah berbagi tugas. Hhh… tapi rasa bersalah lain menyergapku, tiga Lebaran terakhir, aku tak bisa menikmati cuti dengan tenang. Tiga tahun berselang, mendadak aku harus terbang ke Medan. Tahun berikutnya, menjelang minggu terakhir Lebaran, aku harus mempresentasikan perolehan target di depan direksi. Dan tahun lalu… ah, sudahlah. Yah, tiga Lebaran. Mirip Bang Toyib saja, keluhku dalam-dalam. 


***


“Pak, May nggak bisa pulang lusa. Kerjaan May numpuk. Memangnya ada apa, Pak?” tanyaku di sela-sela meeting. Agenda hari ini sangat membosankan. Daripada aku kedapatan menguap dan jatuh tertidur, lebih baik aku ijin ke belakang dan menelepon Bapak.
“Putra nikah, Nduk.” Bapak menyebut nama sepupuku. Wah, cepat sekali dia menikah. Padahal kayaknya belum lama dia bilang hendak wisuda. Aku yang nggak update, atau waktu memang cepat sekali berlalu, huh? Satu yang aku suka dari Bapak, meskipun sudah masanya, bahkan mungkin lewat beberapa saat dari target, tak sekalipun Bapak pernah menanyakan kapan aku akan menikah. Ia cukup paham, layaknya ia memahami kami semua, putra-putrinya yang telah memiliki jalan masing-masing di usia kami yang dewasa, termasuk ketika kami satu-persatu meninggalkannya demi mengejar karir dan impian lain.

“Mas Rengga dateng?” aku menanyakan kakakku. Posisinya jauh lebih dekat dengan Bapak yang ada di Jogja. Sementara aku yakin Mbak Wulan—my lovely sister—dipastikan tidak bisa datang karena kehamilannya sudah memasuki bulan ke tujuh. Sedikit riskan untuk bepergian.

“Rengga sedang ada proyek di luar Jawa, Nduk.” Tampak getar kesedihan dalam suara Bapak. Tinggal seorang diri, hiburan di hari tuanya hanya seekor prenjak. Bapak sudah lama pensiun. Hari-harinya hanya diisi dengan bercocok tanam sekadarnya.

Aku terdiam,

“Nanti May telepon lagi ya Pak, rapatnya sudah mulai…”



***

 
Siang ini kebetulan aku bisa ngabur sebentar balik ke rumah. Ada berkas yang ketinggalan untuk agenda pukul 13.00. Aku membayangkan sensasi dingin dan nyaman ketika aku berhasil melepaskan stiletto favoritku dan telapak kakiku beradu dengan dinginnya lantai. Ahh, home sweet home. Tepat ketika mobil berhasil kuparkirkan di carport dan turun, aku terkejut bukan main.

“Bapak?!” 

Terburu-buru aku mendekat dan mencium tangannya. Pasti sudah lama Bapak menunggu. Sempat kulirik barang bawannya, satu travel bag sederhana, sebuah tas plastik yang berisi entah apa, dan sangkar kecil yang tertutup kain. Pasti—

“Bagong Bapak bawa, Nduk. Tidak ada yang merawatnya di rumah.” Tampaknya Bapak mengikuti arah pandanganku barusan.

Aku tersenyum. Sungguh, sulit terbayangkan bagaimana rasanya. Semua campur aduk. Senang, sedih, terharu, tak habis pikir… Mendadak aku menjadi sangat kangen dengan Bapak. Rutinitasnya meninabobokanku kala kecil dengan sebait penuh lagu Lir-ilir, tawanya yang terkekeh-kekeh, beliau yang tak bisa marah. 

“Yuk Pak, masuk. May bantu bawakan barang-barang Bapak.” Aku langsung meraih sangkar Bagong, prenjak kesayangan Bapak. Entah bagaimana aku berterimakasih pada prenjak ini. Dia, yang menemani Bapak, lebih dari putra-putrinya.


 ***
*** 


Hari ini Bapak ulangtahun. Sama sepertiku. Coba tebak apa yang beliau berikan padaku? Si Bagong, yang aku tak tahu bagaimana cara merawatnya, yang aku tak sampai hati membersihkan kandangnya, yang aku sangat paranoid dengan isu penyakit flu burung… Tapi itulah yang Bapak berikan padaku. Mungkin karena ia tahu, aku akan lebih membutuhkan Bagong diantara hari-hariku. Mungkin karena ia tahu Bagong bisa menemaniku dengan setia, sebagaimana yang Bagong lakukan pada Bapak. Ngomong-ngomong, ada alasan khusus yang membuat Bapak memelihara Bagong. Menurut mitologi Jawa, suara prenjak adalah penanda kehadiran atau kedatangan tamu dari jauh. Dan Bapak selalu berharap, kelak ketika mendengar kicauan Bagong maka ia melihat salah satu dari kami berdiri di depan pagar.  Pulang. Aku baru tahu alasan itu dari Mbak Wulan, belum lama ini. Ia diberitahu Bapak di suatu sore menjelang Lebaran, ketika aku memilih untuk terbang ke Medan.
 
Lalu, apa yang aku berikan di hari ulangtahun Bapak? Setelah Bapak merelakan Bagong untuk aku rawat meski Bapak tahu aku antipati pada binatang. 

Aku memberikan ini,

Satu buket segar anggrek bulan, satu yang menjadi kesayangan Bapak selain Bagong. Tampak begitu segar di bawah teriknya siang.

“Ayo pulang, May. Barusan Mbak Wulan menelepon…” Mas Rengga membimbingku keluar dari areal itu. 

Sedikit berat hati, aku mengikuti Mas Rengga. Menatap pusara Bapak untuk kesekian kali, aku tahu aku memiliki banyak waktu—yang bodohnya baru kusadari sekarang—untuk kembali mengunjungi Bapak. 

“Mas, mampir sebentar ke pasar depan ya. Makanan Bagong habis.”

“Nggak di pet shop aja?”

“Bagong nggak suka makanan mahal. Dia lebih suka pakan burung murah di pasar.” Seperti Bapak yang tak pernah mau kubelikan kemeja mahal atau kopiah baru, dan setia pada kaus putih dan sarungnya yang sudah bulukan. Sekuat tenaga aku menjaga agar air mataku tak kembali merebak.

Mas Rengga tersenyum lalu mengangguk.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar