Jumat, 18 Maret 2011

Deal with Bureaucrazy : S.K.C.K Hunt




yahh... empat setengah jam cukup lah...


Sebenarnya pada saat saya menulis ini saya sedang ingin mencakar orang, jadi daripada saya melakukan tindakan anarkis lebih baik saya menulis sesuatu yang (mungkin) bisa berguna pagi para-para yang sedang (atau tepatnya baru) menjajaki urusan birokrasi…

Akhir-akhir ini, saya sedang sok sibuk mempersiapkan segala sesuatu demi profesi baru saya : jobseeker. Huahh… jujur, saya jadi mending kuliah lagi deh *ooops, just kid* *meringis*

Beberapa hari yang lalu, demi membaca sebuah lowongan di media, salah satu persyaratannya adalah lampiran surat keterangan berkelakuan baik, or officially named SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Jujur, kemampuan terbaik saya dalam mencari surat-surat birokratis semacam ini adalah ketika perpanjangan KTP atau SIM C saya. Jadi saya benar-benar tak paham alurnya, dan hanya mengandalkan kata orangtua mengenai step-by-step mencari SKCK.

Hari pencarian SKCK dimulai dengan saya bangun terlambat (untuk ukuran ibu saya) gara-gara begadang semalaman menyelesaikan deadline. Terseok-seok, menuju kamar mandi dengan ceramah Ibu di pagi hari mengenai antri mendapat surat SKCK. Tapi dasar ndableg, saya tetap saja berangkat rada siang dengan amunisi asumsi saya : dress up well for the best service. Hehe. Jadilah saya berapi-rapi jail dengan outfit saya (demi Tuhan, saya hanya akan mejeng di depan aparat lanjut usia! --a). Foto. Check. C1. Check. KTP. Check. Dan dimulailah tujuan pertama saya,


            Pos #1 Kantor Kelurahan

Saya sudah harap-harap cemas akan antri, namun begitu menjejakkan kaki di halaman kelurahan yang menyambut saya hanya sepi. Jam berapa sih? Oke, jam 9 pagi waktu setempat, dan jam 12 jam ibu saya. Hanya sekitar 3 pegawai yang ada di bagian pelayanan. Dan… kehadiran saya direspon oleh bapak-bapak muda yang tampak asyik membaca koran. Okay.

BapakBacaKoran (BBK)     : Mau melamar dimana, Mbak?
Saya   : Di KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha), Pak
BBK    : Oh, yang Pemilu itu ya? (sambil menulis di atas form)
Saya   : (membatin bahwa si bapak sotoy), bukan KPU Pak. Ini KPPU, ‘P’ nya   dobel…
BBK    : …

Dan saya mendapatkan form saya yang pertama, lalu sayapun dirujuk ke kecamatan, demi proses berikutnya. Dan diwanti-wanti membawa foto berwarna 4X6, serta fotokopi akte kelahiran. Well, karena foto saya yang 4X6 tinggal 2 biji, maka saya berniat mencetaknya lagi, dan akte. Saya lupa bawa akte lahir. Dan saya balik ke rumah…


            Pos #2 Kantor Kecamatan

Idem. Suasana sepi di kantor kelurahan. Selama beberapa menit saya celingukan di depan salah satu pintu (saking sepinya), hingga akhirnya saya memutuskan untuk bertanya pada mas-mas di dalam pintu. Intinya, itu memang tempat mengurus SKCK. Cukup lama saya menunggu, sambil sesekali menguap. Bosan. Mata saya iseng mengobservasi ruang 3X3,5 meter itu. Whiteboard yang digarisi dan ditulis secara manual dengan spidol. Sementara si bapak petugas (yang cukup berumur) sibuk mengetik dengan mesin tik tua. Tak-tik-tuk-tak-tik-tuk. Ingin deh, saya menyumbangkan komputer saking lamanya si Bapak mengetik sambil sesekali menyapukan cairan pembersih (baca : tipex). Akhirnya giliran saya. Bapak itu memeriksa KTP serta form dari kelurahan, dan bertanya,

Bapak             : … belum menikah?
Saya               : Belum Pak
Bapak             : Sudah besar kok belum menikah…
Saya               : … (%&&^$#@##??) (sekali lagi, basa-basi yang aneh)
Saya               : Kan kerja dulu Pak, sayang gelarnya.
Bapak             : Melamar dimana?
Saya               : KPPU, Pak
Bapak             : Pemilu, ya?
Saya                : .... bukan, Pak. ‘P’ nya dua, KPPU. Pengawas Persaingan Usaha…
Bapak             : (mengangguk-angguk) ini baru… masih kecil, kelahiran tahun delapan-delapan, udah cari kerja?
Saya               : … (berpikir bahwa si bapak mungkin menelan Baygon… tadi dibilang sudah saatnya menikah karena sudah besar, dan sekarang dibilang terlalu kecil untuk mencari kerja?? Geez… nampaknya saya langsung mencoret keinginan untuk daftar PNS deh…) (hanya bisa cengengesan nggak jelas)

Petugas itu lalu mengurus surat berikutnya. Dan saya menunggu lagi. Tak terlalu lama, surat saya jadi. Dengan administrasi sekedarnya (ada selembar seribu dan lima ribu di dompet saya, tadinya saya mau memberi seribu saja, tapi takut dikira pokil :p). Jangan lupa : foto, KTP, C1, akte, dan form tadi. Dan siap meluncur ke destinasi berikutnya.

Pesan moral destinasi #2 :  KPPU bukan BUMN yang cukup dikenal luas, dan… jika kamu cukup besar untuk menikah, belum tentu kamu cukup dewasa untuk bekerja… *garuk-garuk kepala*


Pos #3 Polres

Lebih tidak paham metode di kantor polisi. Pengalaman dengan kantor polisi saya hanya sebatas meminta surat keterangan hilang, KTP, dan SIM C. Di bagian depan, ada bapak-bapak dalam balutan kemeja kasual, sedang baca Koran. Tampaknya perlu lebih dari sekedar kejahatan sensasional untuk memberi kantor polisi ini ‘sedikit’ gairah… saya bertanya dimana untuk mengurus SKCK dan diarahkan ke bagian belakang kantor itu. Uhh… sedikit horor, karena saya melewati segerombolan polisi muda yang sedang asyik ngobrol. Takut-takut saya bertanya letak pengurusan SKCK, dan diarahkan dengan serempak oleh mereka : Lurus, kiri, kanan. Nah.

Ruang pengurusan SKCK lebih kecil dari ruang SKCK di kecamatan. Tapi saya tahu peradaban telah menyentuh ruang ini dengan adanya komputer. Nama saya dicatat oleh petugas, yeah, seorang polisi muda, beserta KTP dan form saya. Lalala… saya menunggu lagi sementara bapak tua yang mengetik form saya sebagai surat pengantar berikutnya. Ngik-nguk-ngik-nguk. Dan saya diminta memeriksa apakah data saya sudah benar (prosedur yang sama dengan dua tempat sebelum ini). Dan salah, nama saya jadi Nursasi Septirina… wejangan berikutnya : foto 4X6 dan 3X4 (karena ternyata saya belum punya pernah mengurus sidik jari…) dengan latarbelakang MERAH (oh, great! Punya saya, yang saya cetak adalah BIRU! Saya harus mencetak lagi. Rrrr). Saya memastikan dan didapat kesimpulan, foto berwarna dengan latarbelakang MERAH, fotokopi akte, fotokopi C1, KTP, dan form untuk pos terakhir.


Pos #4 Poltabes

Jam sudah menunjukkan… sepertinya lewat tengah hari karena cuaca sangat panas dan saya terbakar di jalanan, ketika saya sampai Poltabes (tempat terakhir, yippieee!). Adik saya sudah pernah kesini untuk mengurus hal yang sama, jadi saya tak perlu celingukan lagi di dalam Poltabes. Fiuh.

Ruangan yang menyambut saya adalah ruangan paling menyenangkan sejauh ini : bersih, dingin, tempat tidur siang yang oke di bawah teriknya siang (dengan AC dan keramik) *LoL* Dua petugas SKCK, yaitu dua ibu muda yang salah satunya sedang hamil tua, nampaknya polwan (harusnya sih iya…) memberitahukan saya mengenai syarat-syaratnya, dan oke, saya belum pernah cap sidik jari. Jadi saya harus mengurusnya terlebih dulu, lengkap dengan fotokopi C1, KTP, akte, kartu sidik jari, dan form rujukan dari Polres.

Saya menembus siang yang panas sekali itu, ke fotokopian di dekat ruang SKCK (sungguh sangat brilian mendirikan fotokopi di lingkup Poltabes, sangat berguna!) kemudian menuju bagian sidik jari.

BapakSidikJari (BSJ) : foto 4X6 nya 2 Mbak, nanti di bagian SKCK juga, 4

2 + 4 = 6

Dan saya (dengan bodohnya) HANYA mencetak 4. Dan yang 3X4 nya samasekali tidak terpakai. Thanks to mas polisi di Polres, thanks to bapak kecamatan. Saya terpaksa harus balik lagi untuk cetak foto. Sampai mbak cetak fotonya bilang,

MbakCetakFoto : Udah Mbak, dibikin back-up nya aja yang latar merah…  

Okay, Mbak. Saya memang bodoh dan tidak secerdas itu >____< Menunggu dan menunggu…

Dengan sisa-sisa semangat saya hari itu, sudah siang, panas terik menyengat, lapar karena belum sarapan, saya balik lagi ke Poltabes (parker seribu rupiah) dan buru-buru ke bagian sidik jari. Mengisi form dengan bingung karena ada kotak-kotak nggak penting. Bertanya pada polisi yang salah, dan dianjurkan menunggu. Sampai akhirnya mas polisi bagian administrasi bertanya apa keperluan saya. Dengan lega saya bertanya ini itu dan mengisi form-nya. Saya menunggu sebentar, kemudian si mas polisi tau-tau—WHOAA—melompat dari balik tempat kerjanya, lewat jendela, jadi si mas tadi melompati jendela dan menuntun saya membuat sidik jari. Adakah yang memberitahu saya bahwa mas polisi ini keren sekali? Besar, gagah, keren, berkharisma.

Jadi mas polisi ini membantu saya mengoleskan jari ke tinta, kemudian menggenggamnya—jari saya, dengan tangannya—membuat tanda sidik jari di setiap kolom (kolom jempol kanan, empat jari kanan minus jempol, telunjuk kanan, jari tengah kanan, jari manis kanan, kelingking kanan, dan bagian kiri, tentu). Sementara temannya yang lain, yang polisi muda juga, ikut melihat dari balik jendela bolong tadi dengan minat. Waw, mungkin ini adalah bagian terbaik dari perjuangan sejak pukul 09.00 tadi *terharu* Setelah itu saya dipersilakan cuci tangan di pojokan dan… ditangani oleh bapak polisi tua yang mana seharusnya tadi menuntun saya. Well

Saya menjutkan perjuangan ke bagian SKCK, mengisi 2 form lain, menunggu lagi. Kemudian memutuskan untuk melegalisir sekalian SKCK tersebut, jadi saya keluar fotokopi lagi (rangkap 5) dengan biaya administrasi 10 ribu dan biaya legalisir ala kadarnya (10 rb, saya masih berpikir untuk memberi seribu rupiah saja—pekerja SKCK di Poltabes sudah menikmati cukup kenyamanan dengan bekerja di ruangan yang bersih, ber-AC, dan memakai komputer). Dan…


I’m DONE.


Fiuh.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar