Mencari kerja—atau tepatnya rebutan kerjaan, adalah salah satu hal yang memuakkan. Kenapa memuakkan? Karena jujur, dalam fase sekarang ini, nggak ada tuh istilah “turut berbahagia” diantara sesame jobseeker. Jadi ingat posting saya jauh sebelum ini, sebenernya mungkin sinisme Gore Vidal itu ada benarnya,
Tidak ada yang benar-benar berduka atas kegagalan seorang teman
But it's damn true.
Sekitar sebulan lalu, saya mungkin terjangkit paranoia yang menyebalkan, dimana saya mengikuti dengan aktif perkembangan seleksi teman A, teman B, atau teman C, masih suka mengintip sudah bekerja dimanakah mereka dari halaman profil. Atau berbagi gosip apakah si D sudah diterima atau E yang entah dimana.
Bodoh? Banget!
Dan itu sangat sia-sia karena menjadikan saya sekedar meratapi kenapa mereka sampai tahap itu dan saya tidak. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Dan ketika yang namanya kegagalan itu adalah sesuatu yang harus ditanggapi dengan mental cukup, maka saya berhenti melakukan kebodohan itu. Saya mulai tak peduli apakah A bekerja dimana, apakah B sudah sampai tahap mana, apakah C berhasil menandatangani kontrak. Saya berhenti, untuk membandingkan takdir saya dengan orang lain. Cukup. Yang paling susah dari keseluruhan perjalanan ini adalah meyakini bahwa selalu selalu selalu ada skenario masing-masing pada akhirnya. Jujur, memang sangat menggoda, untuk membandingkan pencapaian saya dengan orang lain. Tapi juga sangat menyebalkan, ketika pada suatu ketika kamu bertanya pada seseorang,
“Kerja dimana?”
Dan ternyata dijawab dengan serangkaian perusahaan incaran-mu, mendadak kamu sadar kamu patah hati dan mulai menyusun strategi dan (terkadang) terucap doa semoga dia sukses dan berhasil (yang diamini hanya seperempat hati karena timbul rasa iri—well, pengakuan salah seorang teman yang cukup miris). Jadi, mungkin diperlukan lebih dari kacamata kuda dan tutup telinga untuk meyakini takdir kita adalah yang terbaik :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar