Minggu, 15 Mei 2011

Kere Munggah Bale




Walah Nduk, arep golek opo ning Jakarta? Ora iso urip…”


Sri menahan napas. Meyakinkan Simbok memang lebih dari suatu upaya besar.


Saged, BuneLik Parman menawi sampun ngendika…?”


Simbok cuma bisa gedhek-gedhek. Khawatir, namun tak kuasa melarang putri sulungnya. Selama ini hanya Sri yang bisa menanggung kehidupan mereka yang sederhana. Seiring waktu, upah Sri sebagai buruh cuci di kampung tentu tak seberapa mengingat harga sembako yang menyiksa tajam rakyat kecil dengan kejam. Kini ada kesempatan langka yang ditawarkan si paman, bahwa Jakarta menjanjikan. Sri mengabaikan fakta, bahwa setiap menit perantau berniat baja menjejak Senen kemudian hanya berakhir bak teri, berjejalan di gang kumuh dan bau—mengendapkan impian mereka jauh-jauh di kolong ranjang apek penuh kecoak. Yang bisa menyelamatkan impian muluk itu barangkali cuma keajaiban, jika kerja keras bahkan dianggap non-sense.



*** 



Sliramu kok ning Jakarta barang, tho, Sri? Nek aku kangen piye?”


“Mas Tarjo, Mas Tarjo… nek sampeyan kangen yo tinggal ke Jakarta tho…”


“Jakarta ki adoh, Sri…” Tarjo bergumam, tidak kepada Sri, tapi kepada dirinya sendiri. Membayangkan berapa rupiah yang harus ditebus dengan menjadi petani serabutan demi menjumpai kekasihnya. Ah…



*** 



Sontoloyo!”


Sri mengumpat-ngumpat pelan. Di hadapannya teronggok sebuah pel lengkap dengan si ember. Sementara Sri sibuk mengurut-ngurut dadanya agar seluas samudra, Dio—anak majikannya—dan seorang anak laki-laki yang tak kalah bandelnya justru bolak-balik keluar-masuk rumah dengan sandal kotor penuh lumpur. Yah, diluar hujan.


Sri tidak lugu. Ia tahu sebagai lulusan SD, posisi terbaik dari megapolitan bernama Jakarta adalah menjadi pembantu. Itu patut disyukuri. Meski menjadi bagian kasta sudra sedikit melecehkan batinnya yang memberontak diam-diam. Di kampung sana, posisinya jauh lebih terhormat. Ia adalah kembang desa yang aktif sebagai bagian karang taruna setempat. Disini? Semua pesonanya mentok pada nasib sebagai upik abu.



*** 



Hari ini, Ira—majikannya yang mentereng itu—lebih lama berada di rumah. Sibuk mempersiapkan segala sesuatu, mulai dari kamar tamu, hingga menu. Oh, rupa-rupanya kawan Ira dari Belanda sana—katanya sih kawan semasa kuliah dulu—hendak mampir di rumah ini diantara kunjungan bisnisnya. Dan Ira, yang dasarnya memang perfeksionis, repot mempersiapkan menu dan memilih untuk tidak ngantor. Jadilah Sri seharian ini pontang-panting membelah diri untuk melakukan aktivitas beberes dan membantu Ira masak. Menunya aneh-aneh, lidah ndeso Sri tak sanggup melafalkannya tanpa ambyar. Apa itu huzaren sla, bruinebonen soup, poffertjes… ah entah bentuk seperti apa itu. Dengan kikuk ia membantu Ira memasak menu-menu tadi.


“Aduh, Sri! Jangan seka keringatmu dengan tangamu yang memegang adonan donggg…”


“I-iya Bu…”


Berjam-jam kemudian, badan Sri berasa remuk. Pegal-pegal dan tengengen. Tubuhnya ngotot ingin direbahkan barang semenit-dua menit. Tapi Ira yang cukup galak namun aslinya baik itu tak mau tahu. Sri harus bersiap dan rapi sebelum jam enam! Sekilas wanita bergelung seadanya itu melirik jam di ruang tengah. Jam setengah enam. Karena posisinya hanya sebagai babu yang dibayar, ia pun patuh.


Sambil gebyar-gebyur menikmati guyuran air—Sri sangat menikmati mandi modern dengan bak mandi dan kamar mandi berkeramik, di kampungnya boro-boro ada kamar mandi, jamban saja sudah bersyukur…belum lagi ia harus nimba dulu—ia berpikir heran. Kenapa majikannya tampak sangat antusias menyambut si tamu ini? Dalam hati Sri sudah bertekad, ia akan menyembunyikan diri dalam-dalam di sudut dapur jika tidak dipanggil Ira. Bisa gawat kalau ada bule ngajak dia ngomong sementara ia hanya bisa bergagu-gagu tak paham!



***



“Sri, tolong pudingnya di kulkas dibawa sini,” suara Ira terdengar hingga dapur.


Bergegas, wanita berkulit sawo matang cenderung gelap itu mengeluarkan puding dan tergopoh-gopoh ke meja makan, tempat hajatan sederhana berlangsung. Sekilas ia bisa melihat majikannya berdandan rapi jali, sederhana—namun menunjukkan kelasnya. Hanya Dio yang tampak ogah-ogahan dalam kegiata beramah-tamah ini. Tak lama berselang putra semata wayang majikannya itu menghambur ke kamarnya.


Sri menunduk sembari meletakkan pudding tersebut di atas meja dengan agak gemetar. Namun ia bisa merasakan tatapan sepasan mata yang cukup tajam menembus ubun-ubunnya. Lalu buru-buru beranjak kembali ke tempat dimana seharusnya ia berada. Takut diajak ngomong bule.


“Sri?”


Sebuah logat dengan aksen yang kental melafalkan namanya sementara ia berbalik. Darah Sri tersirap. Deg-degan luar biasa. Ia tetap menunduk dan mempercepat langkah. Aduh, salah opo aku??
 

“Oh, dia pembantuku. Baru datang dari kampung… Pudingnya, Ric? Aku yang membuatnya khusus untukmu...”



***



Siang yang terik. Sri sibuk mengupas kentang di beranda belakang, mencari suasana lain.


Din!


Suara klakson mobil majikannya. Sri meraih baskom berisi kentang—meletakkannya serabutan di dekat tempat cuci piring. Bergegas membukakan pagar. Heran juga melihat Ira tidak pulang selepas maghrib seperti biasa.


“Kok tumben sudah pulang, Bu?” Sri berusaha mengimbangi langkah panjang dan mantab sang majikan, mengikuti ke arah ruang tengah sebelum berlalu sesaat ke dapur mengambilkan segelas air dingin untuk wanita muda itu.


Ira mengangkat bahu. Ia menghempaskan diri di atas sofa. Sedikit kusut. Hmm, betapa Sri sangat mengagumi Ira—muda, cantik, mapan, dengan karir cemerlang, meski terpaksa single. Kapan yo, aku iso koyo Bu Ira…?


“Eric pengen ketemu kamu.”


Membayangkan dirinya bersalut baju bermerk mahal, kendaraan mentereng—wah… Simbok pasti bakal potong kambing, eh, sapi malah! Tidak lagi jalan tertunduk-tunduk, melainkan membusungkan dada dengan dagu terangkat—eh, Bu Ira bilang apa, barusan?


“Sri! Denger omonganku, nggak? Eric—bule temenku kemarin, mau ketemu kamu!”


JEGLER!


Sri terpaku. Mau melongo juga tak bisa saking kagetnya. Bule kemarin? Yang melafalkan namanya dengan aneh?


“—heran aku, selera bule dari dulu kok nggak pernah bener. Udah dikasih sinyal kok nggak paham-paham, dasar bule bego! Udah bagus juga di depannya ada cewek cantik kayak aku, mapan, kulit terawat, wangi… eehh…tetep aja milih pembantu. Babu! Kalah sama babu! Aduh maaf, Sri—"


Sri mengangguk pahit, sementara pikirannya berkecamuk antara mendengarkan celetukan ceplas-ceplos Ira yang menghina, dan ketidakpercayaan pribadi bahwa ia mendadak beruntung.


Entah apa lagi yang berloncatan dari bibir indah Ira. Sri hanya menangkap sekilas kepulan asap rokok mentol seiring berlalunya Ira. Ia bersimpuh di atas lantai, setengah bengong. Mencubit-cubit lengannya dengan keras.


“Duh. Sakit.” Sri meringis.


Wah, kalau ini… tenanan koyo paribasan kere munggah bale… Sri pening sekaligus gembira.


*** 



Tarjo tercenung di ujung kali. Mengamati air yang berkeliuk-liuk membelah bebatuan. Baru saja ia diberitahu Simbok. Bulan depan Sri akan menikah. Ya menikah. Bukan dengan dirinya, petani serabutan miskin yang tak sanggup bahkan menyusulnya ke Jakarta, seseorang yang dipacari Sri selama hampir lima tahun. Tapi dengan bule! Bule Belanda! Perasaan Tarjo begitu hampa, hancur. Ia tak habis pikir dan meratap, kenapa pujaan hatinya lebih memilih bersama bule kompeni yang baru dikenalnya… apa karena ia kurang kaya? Kurang tampan? Pupus sudah harapannya untuk bisa menjumpai Sri lusa, saat ia telah berhasil mengumpulkan uang hasil bekerja dan meminjam sana-sini. Sia-sia sudah. Untuk apa lagi dia hidup? Hujan yang semula rintik-rintik mendadak menjadi deras dan menampar-nampar. Teriring suara bledhek di siang bolong, Tarjo nyemplung kali.




1 komentar:

  1. seandainya Tarjo lebih pintar dan menyadari bahwa dunia tak cukup selebar daun pepaya..
    like this, ntin!

    BalasHapus