Selasa, 20 Februari 2018

Your Calling



Nobody tells this to people who are beginners, I wish someone told me. All of us who do creative work, we get into it because we have good taste. But there is this gap. For the first couple years you make stuff, it’s just not that good. It’s trying to be good, it has potential. But it’s not. But your taste, the thing that got you into the game, is still killer. And your taste is why your work disappoints you. A lot of people never get past this phase, they quit. Most people I know who do interesting, creative work went through years of this. We know our work doesn’t have this special thing that we want it to have. We all go through this, and if you are just starting out or you are still in this phase, you gotta know its normal and the most important thing you can do is do a lot of work. Put yourself on a deadline so that every week you will finish one story. It is only by going through a volume of work that you will close tat gap. And your work will be as good as you ambitions—Ira Glass.


Saya menemukan quoted pin ini saat mencari referensi di Pinterest. Saya tertegun. Otak saya menekan saya untuk melakukan hal yang sudah cukup lama terhenti karena beberapa kesibukan : kembali blogging.

Tepat satu setengah bulan lima hari saya melepaskan diri sebagai pekerja kantoran, suatu hal yang kemudian ‘disayangkan’ oleh sebagian besar orang yang mengenal saya. Ini adalah keputusan tergila yang saya lakukan dalam sekian tahun terakhir, mengingat saya adalah tipe individu yang membenci ketidakpastian. Lalu, bagaimana rasanya?

Ini berat, men.

Menjadi ibu rumah tangga dengan satu anak yang sedang sangat aktif sekaligus dalam kondisi usia kehamilan besar, sementara menjalani hubungan jarak jauh, bukanlah tipe hal yang dengan mudah saya lewati dengan sukacita. Saya telah mendengar ada banyak kisah post-power syndrome, salah satunya Ibu saya sendiri. Dan saya menolak untuk menjadi salah satu bagian yang menyedihkan itu, meskipun saya pikir itu hal yang manusiawi ketika kamu berganti rutinitas. 

“Kamu yakin, mau resign? Nggak sayang?”

Jujur, saya pun tak terlalu yakin apa yang sebenarnya saya sayangkan atau perjuangkan sekali saat itu. Setelah melalui beberapa minggu yang menguras emosi, hingga pada akhirnya memutuskan mengajukan surat pengunduran diri, ini seperti momen AHA! dalam hidup. Sekarang atau tidak samasekali. Sekarang atau jangan pernah menyesal kemudian.


**


“Kamu mau hidup susah sama aku?” pertanyaan itu pernah terlontar jaman kami masih pacaran. Yang tentu saja saya amini. Namun jika saat ini saya ditanyai hal yang sama—yeah, he did—jawabannya sudah berbeda.
 
“Nggak mau,” jawab saya saat itu, yang disambut dengan ekspresi kaget suami (hehe, maaf ya).

“Nggak mau,” lanjut saya, “—menyerah dalam kondisi terburuk yang ada sementara bisa melakukan sesuatu.”

Oke, ini terdengar ambisius dan mengada-ada. Dan kurang ajar. Istri mana yang menolak hidup susah menua bersama? Saya mau menua bersama, tapi tidak dengan hidup susah. Tapi saya juga tak ingin memberatkan siapapun dengan kondisi ‘susah’ itu, bagaimanapun definisinya.

Saya percaya—terlampau percaya—setiap orang memiliki momen masing-masing. Entah di atas atau di bawah, mudah atau susah. Saya bahkan cukup yakin setiap dari kita dibekali senjata ketika lahir, untuk bertahan hidup dan mengeluarkan potensi terbaik yang kita miliki. Jangan salah, sesi paling menyebalkan ketika menjadi human capital di perusahaan lama adalah ketika berhadapan dengan karyawan yang memiliki semangat juang rendah. Rasanya ingin mentoyor kepala dan mengguncang bahu mereka. Kamu kepala keluarga, istri tidak bekerja, dan selemah ini?! Atau, kamu anak sulung dan menjadi tulang punggung, namun daya juangmu selemah ini?!

Yah, beberapa hal memang cukup membuat gusar.


**


Jadi, ketika saya mengutarakan ide saya—ide kesekianjuta, karena sejujurnya saya lemah di eksekusi—kepada kerabat saya, mereka lebih banyak mengernyit. Rasanya mustahil hidup dari apa yang disuka dan melibatkan kreativitas dan seni. Begitu, ya.

Saya nekat memulainya. Lagi.

Saat saya kelas tiga sekolah dasar, saya cukup iseng untuk menyusun sisa-sisa lembaran buku tulis yang masih kosong (kebanyakan buku tulis halus), menyampulinya dengan cover buku tidak terpakai sebelumnya dilapisi kertas kado bekas), lalu menjualnya kembali dengan harga tiga ratus rupiah. Benda ini rajin dipesan sat ulangan matematika, untuk lembar corat-coret. Pesanan meningkat dengan pembuatan kartu ucapan entah natal atau tahun baru atau ulangtahun (zaman dulu kartu ucapan masih keren, namun terlalu mahal untuk dibeli anak sekolah dasar tanpa persetujuan orangtua). Biasanya saya menunggu sisa-sisa map karton tebal yang dibawa Ibu dari kantor, mengguntingnya persegi, lalu menggambarinya dengan tokoh-tokoh favorit di loose leaf bergambar, menjualnya seharga tiga ratus hingga tujuh ratus rupiah, tergantung ukuran kartu ucapan. Kantong saya lumayan tebal saat itu, apalagi orangtua saya jarang sekali memberi uang jajan banyak. 

Saat saya dewasa, saya nyaris melupakan kesenangan semacam itu. Terlalu takut dan ragu untuk kembali mencoba. Terlalu mengkhawatirkan hasil akhir. Padahal yang sungguh saya senangi adalah proses kreatif tersebut.

Sekarang, tugas saya adalah menyemangati diri sendiri untuk tidak menyerah pada apa yang saya yakini dan telah saya ambil. Yah, yang memiliki mimpi toh bukan mereka.


**


Satu setengah bulan dan lima hari, saya pikir ambisi yang menyelamatkan saya untuk tetap hidup dan produktif. Untuk tidak mati merana karena post-power syndrome dan mengikuti arus. 

Whatever it takes, let’s fight.










1 komentar: