Rabu, 21 Februari 2018

Zappos : Delivering Happiness



Apa yang menarik dari sebuah perusahaan? 
Bagi saya pribadi, budaya perusahaanlah yang paling menyita perhatian.

Sudah teramat sering saya bahas, baik di akun media sosial atau obrolan sambil lalu, minat terhadap budaya perusahaan pertamakali muncul saat saya bergabung di sebuah perusahaan kaos oleh-oleh di Kota Yogyakarta. Singkat cerita, pengalaman personal saya lah yang kemudian mendorong saya mempelajari budaya perusahaan, termasuk menjadikannya subjek skripsi akhir saya.


**


Delivering Happiness. Tony Hsieh - taken from Google


Sudah agak lama saya tertarik dengan buku yang ditulis oleh CEO Zappos--suatu perusahaan jasa pengiriman yang kini berbasis di Las Vegas--Tony Hsieh. Perjuangan Tony dan semangatnya untuk senantiasa menciptakan kebahagiaan, tertuang dengan jelas di dalam buku ini.

Penekanan Tony sangat spesifik dalam menjalankan Zappos. Ia--dan timnya--memiliki semangat melayani melalui perbuatan baik yang sangat tinggi. Bukan semata karena uang, namun untuk hal yang lebih besar, kebahagiaan. Saya pikir ini adalah hal yang sangat wajar, karena dalam beberapa literatur memang disebutkan ada korelasi positif antara berbuat baik dan kebahagiaan. Bahkan, perusahaan ini memiliki konsep WOW sendiri yang tanpa sadar telah menjadi sebuah habit bagi nyaris seluruh karyawan.

Mengutip 10 Rules to Navigate the Future Workplace Rule #1 dari buku Jeanne Meister dan Kevin J Mulcahy :

Make the workplace an experience

Exploding happiness, huh? - taken from Google|


Saya pikir, Tony dan pendiri Zappos memiliki semangat itu, bahkan sejak Zappos masih sebuah embrio. Sengaja saya skip untuk kisah-kisah awal perjuangan mereka, Tony memiliki semangat untuk berbagi dan berkreasi. Naluri alaminya adalah happiness maker--saya menyebutnya demikian. Dan ketika itu diaplikasikan menjadi suatu budaya, ia bahkan tak perlu upaya jungkir balik. Budaya yang mereka bentuklah--yang menarik satu persatu karyawan yang paling sesuai dengan budaya Zappos. Culture fit. Saya hanya mampu mendengus tidak percaya membaca bagaimana sistem perekrutan Zappos untuk untuk mendapatkan kandidat yang culture fit ini : kencan kilat. Silakan baca buku ini untuk mendapatkan gambaran lengkapnya.

Tony Hsieh. Founder dan CEO Zappos - taken from Google


Buku ini kemudian membuat saya berpikir banyak.

Apakah bentukan budaya seperti ini pantas diaplikasikan di Indonesia, yang notabene memang lebih ketimuran dan formal?

Kita bisa melihat betapa cepatnya pergerakan teknologi telah mendorong batasan-batasan di Indonesia, menciptakan berbagai kemungkinan. Start-up, adalah bidikan paling tepat untuk mengaplikasikan budaya yang nyaris serupa : flexible working-hours, extended holiday, flexible working place. Tapi ternyata tak sedikit start-up yang pada akhirnya gulung tikar.

Prinsipnya adalah--setelah saya merenungi buku ini--percuma saja kita sekedar merepetisi satu-dua agenda, ketika akarnya tidak menancap kuat. Segala macam bentuk inisiasi Tony nyaris diterima dengan baik dan transparan oleh setiap karyawan, hanya karena mereka memahami apa yang menjadi kebutuhan diri mereka di perusahaan ini. Setiap karyawan beranggapan bahwa Zappos telah memfasilitasi kebutuhan mereka akan banyak hal yang kasat mata, yang dimulai dengan doktrin yang luarbiasa baik sejak hari pertama bergabung di Zappos. 

Sudut baca di Zappos HQ. Well, mereka bahkan menjadikan agenda membaca buku sebagai agenda wajib selama menjadi karyawan Zappos. Simon Sinek, Jim Collins, Ah! - taken from Google


Been there done that.
Budaya perusahaan idealnya dirumuskan sejak awal, ketika jumlah karyawan masih sedikit. Alasannya sangat sederhana. Akan lebih mudah mendoktrin satu-dua orang ketimbang ribuan karyawan dalam waktu singkat.

Tony memulai 'budaya' Zappos-nya sejak 1999, dengan berusaha menjalin hubungan dan keterikatan kuat dengan para koleganya. Entah itu karyawan internal ataupun vendor. Semangat itu yang kemudian tanpa susah payah menyebar ke seluruh departemen, karena setiap karyawan telah memiliki contoh riil tentang implementasi sebuah budaya.


**

100% of customers are people.
100% of employees are people.
If you don't understand people, you don't understand business -- Simon Sinek

Not debatable words, I think.

Pada bagian terakhir buku ini, disebutkan bahwa pada akhirnya Zappos diakuisisi oleh Amazon, dengan beberapa previlensi yang diajukan Tony selaku CEO dan keseluruhan karyawan. Amazon sepakat untuk memberikan ruang kepada Zappos dengan tidak mencampuri budaya Zappos (saya belum mencari referensinya kembali, soon). 

Tony menyebutkan dengan sangat pas, 

Zappos adalah high-touch, sementara Amazon adalah high-tech.

Zappos, sangat mengutamakan pelayanan prima. Dalam orientasi awal, setiap karyawan tanpa memandang latarbelakang dan jabatan yang dilamar, wajib mengikuti pelatihan dasar mengangkat telepon. Sistem call-center mereka adalah 24 jam, tanpa draft skenario yang harus dihapal, tanpa waktu standar penanganan. Zappos menginvestasikan diri dalam pelayanan pelanggan. Ada berapa banyak perusahaan besar melakukan hal ini?

Membaca buku ini, dan sekali lagi saya mengingatkan diri :

Segala bentuk budaya Zappos yang luarbiasa ini dimulai dari semangat yang luarbiasa baik dari para pendirinya, dan tentunya mereka telah melewati masa-masa sulit yang dapat dibayangkan--bahkan jauh sebelum start-up marak.


I love them! Suatu ketika akan mencoba secanggih apa pelayanan Zappos - taken from Google









 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar