Senin, 29 Mei 2017

A marketer is a story-teller, not a liar anymore



"Bagaimana jika... drive thru masakan Padang? Namanya mungkin Padang Cuisine On-the-go?"
Siang itu cukup panas, sungguh membuat malas bergerak. Anak kecil sedang sibuk salto kanan-kiri-depan-belakang. Selama bersama ibu-bapaknya, aman. Selintasan ide drive thru liar tadi gegara beberapa kali melihat billboard rumah makan Padang peranakan. Sebut saja berinisial M. Entah kenapa yang tercetus di kepala justru drive thru.

Kamu mengernyit. Untungnya sudah sangat terbiasa.

"Drive thru?" tanyanya lamat-lamat.
"Iya! Selama ini kan masakan Padang terkenal dengan porsinya yang luarbiasa dan dihidang di atas meja. Padahal suatu ketika kamu mungkin lagi pengen banget tappentsama porsi raksasanya." sahut saya bersemangat.

"Mengurai esensi masakan Padang nggak tuh?" seperti biasa ia selalu memainkan peranan sebagai bagian Devil's Advocate.
"Nggak ah, ini kan memudahkan. Konsep jualannya pop up. Packaging nya praktis--" masih ngeyel, masih keukeuh, 
"Jadi macam rice-bowl." masih mencoba menjual pepesan kosong ke si dia, "--biasanya rice-bowl kan identik dengan potongan chicken katsu, noodles anekarupa, saus teriyaki atau dressing-salad lain. Naaah, ini nanti nasinya dari beras pandan wangi yang pulen, di atasnya ada potongan rendang yang juicy, sayur singkong tumbuk, sepotong perkedel kentang, lalu disiram dengan kuah gulai dan kuah rendang, toppingnya adalah remukan adonan krispi. Oya, jangan lupa sambal cabai hijaunya! Nyumm--" duh, sampai menelan ludah membayangkannya.

"Bisa sih," katanya bisa--namun banyak aura tak yakinnya. Hahaha.


**


Iya, itu ide gila. Ide gila lain setelah brainstorming another pop-up cuisine : Warteg on-the-go dan Burjo on-the-go.

Dasarnya? Efisiensi. Hemat tempat, by demand, masakini. Pembelian awal lengkap beserta kotak makan, lalu untuk pembelian berikutnya yang membawa kotak makan akan mendapatkan free rendang. MISAL.


**


"Aku pengen buka angkringan." dia memulai percakapan. DIA--bukan saya, mempertegas kalau kali ini ide tidak keluar dari kepala saya.

Meski demikian, ide dadakan itu sukses mengangkat kepala dari kesibukan menekuni buku baru. 

"Apa?" nyaris mengira salah mendengar.

"Iya. Jadi sama teman kemarin iseng sharing. Di daerah X kan banyak mahasiswanya. Apa nggak kita coba buka angkringan macam di Yogyakarta. Pasti laku."

Kali ini saya mengernyit.

"Konsepnya bagaimana?" --maafkan anak visual, yang ada di otak langsung konsep dan  interior-eksterior. Huhu.

"Ya biasa aja. Angkringan biasa. Jual sate-sate, nasi kucing, wedang jahe. Kan banyak mahasiswa tuh, bisa laku banyak."

"Terus yang membedakan sama usaha sejenis apa? Sekedar hadir saja lama-lama tenggelam loh."

"..."

Nah. Pada suatu titik ini bedanya membahas sebuah ide antara seorang perempuan lulusan Psikologi, dengan seorang laki-laki jebolan Teknik Sipil. Krik


**


Terlepas dari apakah sebuah ide debatable atau tidak, pada akhirnya mau apapun project yang dimiliki, muaranya adalah packaging. Kemasan. Cara membungkus, cara menyampaikan. Karena marketing saat ini--dari apa yang sering saya baca dan temukan-- adalah tukang cerita.

A marketer is a story-teller, not a liar anymore (Anonym)

Mau manusia, mau plastik pembungkus, mau tutup apapun, bagi saya packaging itu penting. Kemasan mampu membuat suatu hal yang biasa-biasa saja menjadi istimewa. Ada personal value-added nya.



**


"Aku arep bali sesuk sore iki." (Aku mau pulang besok sore ini)
"Ngopo?" (Kenapa)
"Iyo, ono perlu. Bojoku yo nitip bumbu giling." (Iya, ada perlu. Istriku juga nitip bumbu giling)
"Lhaa golek nangndi?" (Lhaa cari dimana?)
"Mbak ku lak gawe. Deknen racik dhewe njuk dibungkusi, nggo dhewe." (Kakak perempuanku kan membuatnya. Dia meraciknya sendiri lalu dibungkus, untuk konsumsi pribadi)
"Tok dolke, kono. Kari dibungkusi nganggo wadah ala-ala ziplock utowo bungkusan sik kekinian, iso dadi oleh-oleh khas Boyolali lo." (Kamu jualkan, gih. Tinggal dibungkus dengan tempat model ziplock atau kemasan kekinian, jadi deh oleh-oleh khas Boyolali)
"Wah! Ide yang bagus!"

Jam makan siang yang produktif. Membahas hal tidak penting begini dengan seorang rekan yang (konyolnya) mengamini ide gila menjadi sebuah topik. Terus, sekarang terealisasi? Hm, tampaknya tidak. Karena memang perlu lebih dari sekedar gila untuk memulainya. Sama, dia masih terjebak di ritme kubikel :')




**


Saya selalu percaya, bahwa konsep kemasan yang matang akan bersinergi dengan baik dengan konten. Karena first impression masih menjadi salah satu aspek penentu dalam pengambilan keputusan aksi-reaksi seseorang.


**


Lalu apa pentingnya brainstorming tak berujung begitu? Buang-buang waktu (?) Hm, not really. Brainstorming, sanggah-menyanggah, saling melempar isu, cukup penting untuk mengembangkan imajinasi. Asli. Wasting time ini cukup mind-blowing, dan ketika rada konsisten dilakukan bertahun-tahun, menstimulasi otak :')

Yuk, iseng!









_______

Devil's Advocate--merupakan sebuah teknik yang didesain untuk mengkritisi sebuah ide secara positif, hingga ide tersebut memiliki berbagai kemungkinan strategi atau solusi. Biasanya dilakukan dalam dua kelompok kontras, tujuan strategi ini adalah untuk memunculkan insight terbaik dari setiap gagasan. Belajar pertama kali tentang hal ini, lagi-lagi (masih) di sebuah kuliah Psikologi.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar