Minggu, 29 Juli 2012

When you love someone . . .



"Kau percaya adanya reinkarnasi?"
"Ng...percaya tak percaya. Kenapa?"
"Tidak. Aku, sedikit memaksa untuk percaya. Karena--"
"Karena?"
"Jika reinkarnasi itu nyata, aku ingin direinkarnasi bertemu kamu sejak awal. Sejak kamu masih belajar mengunyah dengan gigi susu, kamu dalam seragam merah-putihmu, semuanya. Sejak awal."
Aku geli. Geli dengan serangkaian khayalanmu yang suka melompati logika.
"Kenapa harus sejak awal?"
Hei, aku bisa mendengar desahanmu. Seakan pertanyaanku ini agak rumit untuk dijawab.
"Ingin, rentang bersamamu lebih lama daripada batasan jarak ini."
Aku kehabisan kata-kata.

Maybe it's true
That I can't live without you
Maybe two is better than one

***

Hari ini adalah hari pertama bekerja. Tentu, tidak karuan. Rasanya mirip seperti dipojokkan ke ujung tebing, dengan kerumunan serigala yang siap menerjang di depan mata. Alternatif penyelamatan diri sebatas jurang di bawah sana.
Hell yeah, fear is a biggest factor.
Mantra itu merasuki pikiran selama beberapa saat belakangan. Adaptasi adalah pilihan yang mau tak mau wajib diambil. Sudah kepalang tanggung, sudah masanya, maju sendiri.
Berbekal tas ransel favorit, outfit resmi, dan semangat yang masih irit, aku maju.
Ngomong-ngomong, memonopoli waktu adalah hobi yang khusus. Memonopoli, dengan memajukan beberapa menit penting. Seperti pagi ini.
Sebuah kursi bercat warna-warni masih sudi menampungku di keheningan pantry. Belum ada siapa-siapa. Aroma kelegaan luarbiasa yang tak terbeli. Ini lebih mirip trance dalam ketenangan yang damai. Sepersekian saat yang diam.
Tok-tok-tok.
Suara langkah kaki!
Bak ditarik keluar dari pusaran tanpa suara, berusaha menetralkan suasana yang bertransisi begitu cepat.
"Hei, hari pertama?"

I remember what you wore on the first day
You came into my life and I thought
"Hey, you know, this could be something"

***

Kadang-kadang, manusia bisa menjadi begitu tolol ketika dihinggapi perasaan aneh yang disebut ketertarikan. Opposite attracks. Logika kabur hingga awang-awang.
"Hei, nanti ikut gathering?"
Kalkulasi di otak langsung berjalan sempurna. Jam berapa? Baju apa? Acara apa? Berbagai opsi percakapan yang jauh lebih masuk akal, sebenarnya.
"Oh, tidak."
Perbendaharaan kosakata yang tersimpan rapi dan dilafalkan sehari-hari mendadak asing.
"Oh, oke."
Mari, mengubur diri di pojokan sana.

***

Pernah patah hati?
Tidak?
Oh, mungkin kamu belum benar-benar 'hidup'
Rasanya seperti cabai yang tergigit di tengah bibir sariawan. Spontan, sesaat, berefek lama. Setelah sempat tumbuh dengan suburnya, kinipun dipendam dalam-dalam seorang diri.
Pathetic?
Yes.

***

Pagi, ini hari terakhir bekerja.
Melepas kenangan pahit-manis selama sekian pekan.
Nyawa sudah terjual dengan harga yang lebih mahal. Siap diganjar dengan kehidupan yang lebih baik, kawan.
Seperti itu, sebelum lagi-lagi, pintu diketuk.
"Kapan lagi?"
"Kapan lagi apanya?"
"Kapan lagi ada kesempatan datang. Katakan! Katakan padanya."
"Bodoh."
"Bodoh apanya? Jika tiap hari nyaris gila ketika ingat aroma parfumnya meskipun tidak ada sosoknya. Jika berasa mau mati ketika langkahnya mendekat. Jika tak sengaja beradu pandang. Hei, ini bukan bagian telenovela yang serta merta happy ending."
"Tidak."
"Kapan lagi? Menyisakan penyesalan seumur hidup? Katakan, lalu ikhlaskan."
Lalu ikhlaskan.
Mataku mencari-cari sosok mungil yang biasanya dalam genggaman.
Message sent.
Piranti telekomunikasi tak pernah sehoror ini.

***

"Apa jadinya, jika waktu itu yang aku katakan adalah 'tidak'?"
"Tak ada jadinya. Karena aku tak berekspektasi apapun."
"Kenapa?"
"Karena... rasa ini adalah ikhlas. Kamu, dihadapanku saat ini adalah sebuah bonus, karena sejak awal mengikhlaskanmu. Mengikhlaskanmu untuk telah hadir, menghilang, kemudian datang kembali."

But there's so much time
To figure out the rest of my life
And you've already got me coming undone
And I'm thinking
I can't live without you







Tidak ada komentar:

Posting Komentar