Selasa, 03 Juli 2012

Berakar di Jogja, tercerabut namun tertanam kembali


Berakar di Jogjakarta.
Jujur, ini adalah catatan random.

***

"Jika aku menikah kelak, aku ingin di-paes."
"Halah, repot amat, sih. Ngapain susah-susah. Ribet, mahal, nggak praktis, kuno!"
Woops.

*** 

"Sekarang bukan lagi jamannya ribet-ribet. Modern, simple. Itu slogan masa kini."
"Memangnya, yang namanya budaya itu bukan masa kini? Memangnya, masa kini terbentuk tanpa budaya?"
 "..."

***

Saya. Menghabiskan saat berproses di sebuah kota bernama Jogja. Kota yang seringkali 'diartikan' di FT* sebagai kota yang semi ndeso, rada kampungan, dimana semua masyarakatnya seakan tidak bisa lepas dari jarik dan lurik. 'Semiskin' itu kah pandangan terhadap kota saya tercinta?
Besar di kota ini, saya belajar bagaimana unggah-ungguh itu, bagaimana etos kerja dari perilaku priyayi-nya. Bahwa senyum itu murah. Bahwa tepa selira, gotong royong adalah lumrah
Dan ketika saya meninggalkan kota lama saya itu, bergumul dengan perantau lain, saya terhenyak. Akar budaya itu, mahal harganya. 

***

Seorang rekan.

"Aduh, panas sekali. Nanti kulitku hitam, tidak putih lagi, tidak seperti orang cina."
"Lah, kamu kan jawa totok..."
"Tidak mau, aku ingin seperti orang cina saja."
Ada tanning cream? Saya ingin menghitamkan kulit selegam-legamnya.

***

Pantry. Coffee break. Jakarta-panas-raya.

"Kemarin kok kamu nggak masuk?"
"Iya, habis cuti pulang soalnya..."
"Kemana?"
"Pulang ke jawa."
Oh... Apakah Gramed*a sudah buka? Ingin beli peta Indonesia, memastikan Jakarta sebenarnya masuk ke pulau mana.


***


 Selalu ada alasan, untuk kembali berakar disini
 


Pilihan. Menjadi seperti apapun adalah pilihan.

Saya mungkin bukan darah murni warga Jogjakarta. Namun saya ingin menikah secara adat Jawa-Jogja dengan paes lengkap, makan Gudeg tiap hari pakai sendok dan garpu, naik andong ke kantor, berbusana batik tiap hari, menyetel gending jawa di iPod.

I'm proud to be a Jogja-Javanese. For any reason.








1 komentar:

  1. Kadang aku juga gimanaaa gitu setiap orang Jakarta bilang kalo Jogja = Jawa. Berkali-kali kukoreksi kalo Jakarta juga bagian dari P. Jawa, tetep aja keukeuh nggak peduli.. Mmmhh.. -_____-

    Anw, missing you so bad.. :(

    BalasHapus