Senin, 20 Agustus 2012

Hatimu, boleh dititipkan kepadaku?


Aku tak bisa merasakan angin yang lebih memukau daripada sore ini. Berhembus lembut, lirih, memainkan lonceng cina di beranda belakang dengan harmonisasi yang tak mampu digambarkan. Dan ya, ngomong-ngomong waktu berkejaran kencang akhir-akhir ini. 

 ***

"Sudah deh, masa iya kita harus berdebat untuk hal-hal macam ini?"
"Macam ini? Seharian penuh tanpa kabar, bahkan sekedar menanyakan kabar pun tidak? Aku tidak perlu berdebat, begitu?"
"Terserah deh, aku capek. Seharian ini aku repot dengan serangkaian jadwal visit klien."
"Kamu pikir, semua kesibukan hanya ada padamu? Aku juga sibuk!"

*** 

"Hei, kamu baik-baik saja?"
Whoops. Another stupidity. Aku terlalu sibuk melamun, hingga tanpa sadar teh yang aku tuang dari teko meluber kemana-mana. Sedikit gugup, aku menyeka sisa tumpahan itu dari permukaan meja. Nice try. Meskipun tak terlalu berhasil menyeka sisa tumpahannya di atas meja, menimbulkan guratan motif baru.
"I'm fine."
"Dari ekspresimu, tidak. Kamu benar baik-baik saja?"
Bisakah... bisakah pertanyaan itu keluar dari mulut seseorang yang aku harapkan, bukan orang lain seperti momen ini?
Cengiran terbaikku biasanya mampu menolong, tapi tidak kali ini.

*** 

Ketika seorang pelari amatir gagal dalam arena yang bahkan menjadi tempat berlatihnya tiap sore, bukan berarti pelari itu tidak mencoba bukan?
Semua orang berhak membuat justifikasi mengenai suatu usaha. Tapi tidak setiap waktu pula justifikasi itu tepat, meski sudah dikalibrasi berkali-kali sekalipun. Tidak pula dalam suatu hubungan. Hubungan ini tentu bukan kompetisi diantara dua orang, kan? Bukan pula lomba debat untuk memenangkan plakat di tempat pertama. It takes two to tango. Sparring partner. Kamu tidak perlu berselingkuh untuk merusak sebuah hubungan. Cukup jatuhkan dengan tidak memberi dukungan. Hubungan yang seperti jambangan porselen bisa hancur berkeping-keping. 

***

"Estimasi waktu itu ada. Setidaknya, aku juga ingin memastikan bahwa keputusan besar, memang bukan main-main. Pernikahan ini."
Aku mendengar, dalam delusi ku, bahwa aku terkesan sebagai pihak yang main-main. Yang bisa saja bertindak bodoh seperti menolak muncul di pelaminan pada hari H. Tahu rasanya? Seperti tamparan.
"Aku butuh bukti, bukan hanya janji. Buktikanlah."
Suara blower bahkan jauh lebih kencang dari ini semua.
"Terlalu banyak dikecewakan, terlalu banyak dijanjikan. Dan stok pemaklumanku ada batasnya."
Pernah merasa berada di tepi jurang, sementara deretan singa kelaparan siap memangsa? Aku pernah, dengan situasi hampir sama dengan plot berbeda. Saat ini. 
Boleh, aku memilih terperosok ke jurang?

*** 

Waktu kecil, ada satu impian yang aku simpan rapat-rapat dalam segala imajinasiku. Menikah. Bagiku, gambaran momen sakral nan istimewa ini begitu luarbiasa. Aku selalu terpaku kagum dengan setiap detail bahasan pernikahan. Kerumitan desain busana, kilauan berlian dengan kotak mungil berwarna telur asin, visualisasi indah dari tiap menu yang tersaji, suara mistis pranata cara, semuanya. Itu adalah momen. Momen tertinggi dari suatu pernikahan adalah resepsi. Itu bayanganku ketika aku masih berseragam merah-putih.

*** 

Hari-hari setelah resepsi adalah kegilaan sebenarnya. Dan ya, ngomong-ngomong lagi, harapanku sederhana. Dengan segala kerumitan, kekesalan, emosi yang bertumpuk dan bersahut-sahutan.
Tolong, percayakan kepadaku, hatimu.
Aku hanya ingin tiap pagi bisa melihatmu yang masih tertidur pulas dengan rambut mencuat kesana-kemari, menyuapimu ketika kamu sakit setelah begadang semalam suntuk mengerjakan portofolio, memasakkan menu favoritmu meski aku paling takut dengan cipratan minyak meletup, menenangkanmu ketika mendadak kamu terbangun di tengah malam tanpa sadar, mengigau, kemudian tertidur kembali.
Sesederhana itu, aku ingin menemani harimu. Jadi tolong, percayakan semua stok perasaanmu kepadaku. 




 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar