Kamis, 15 September 2011

Ketika flu menyerang dan terperangkap di kamar yang dingin sementara di luar hujan rintik-rintik romantis


Kota Panasumpekmacetbau, 15 September 2011

H+1 pascagalau. Galau gara-gara long distance relationship—yang kata orang menyiksa. Kemarin, pas makan siang mendadak ada 2 SMS sekaligus masuk ke dalam hp saya, dengan berita yang bikin saya malas-malasan selama beberapa jam ke depan. Apa pasal? Yang pertama, gara-gara si pacar ada pengumuman penempatan hari ini tadi. Yang kedua, mentor saya hitung-hitungan selama training memutuskan untuk resign. What a day.
Saya jadi berpikir. Long distance relationship.
Selama ini, saya terlalu naïf berpikir mengenai LDR adalah sebatas ketika saya terbentang jarak ruang waktu dengan pacar. Clichè.
Mundur ke beberapa hari sebelumnya, lebih dari dua orang atasan di cabang dengan jumawa-nya bilang kalau LDR itu pasti gagal. Pasti. Mutlak. Absolut. Berdasarkan pengalaman mereka, rata-rata LDR pasti berbuah sad ending. Tapi saya tak peduli, ah. Mau di-LDR-kan kayakmana. Jodoh ya jodoh. Kun fayakun.
Well, LDR—adalah ketika hubungan yang kita miliki, terbentang jarak ruang waktu. Tidak bertatap secara fisik—face to face. Dan tidak sekedar bersama si pacar saja. Karena pada kenyataannya saya juga sedang ber-LDR—berhubungan jarak jauh, dengan teman-teman saya di Jogja, keluarga saya, teman-teman MT saya yang baru (yang akan segera melanglang ke lokasi on the job training mereka) dan semua-mua yang bersua sebatas suara ataupun visual melalui bentang perantara. Dan memang seperti itu. Tapi kenapa, LDR bersama pacar rasanya lebih ‘menyiksa’?
Mungkin, karena terlalu banyak ketakutan dan ketidakpastian di dalamnya? Seperti gado-gado?

*** 
LDR—kalau saya—suka diawali lebih dulu dengan rasa kehilangan. Kehilangan yang aneh. Saya merasa kehilangan ketika harus meninggalkan Jogja yang telah membesarkan saya selama 22 tahun lebih (beuuhh, galaunya setengah mampus. Pengen mewek melulu di kereta :(). Merasa kehilangan ketika pacar saya yang selalu menemani saya selama di Jakarta dan sering berantem ternyata mendadak harus penempatan entah dimana. Kehilangan ketika partner ngobrol tentang pekerjaan mendadak resign dengan curangnya. Kehilangan ketika satu-persatu teman-teman MT saya pada berangkat OJT. Mbrambangi deh.
Dia, sesuatu, atau mereka = hilang. Tapi ada di hati dan pikiran *eaaa*
Ada, tak bisa diraih dan ngawang! Saking mendalamnya, kadang-kadang kehilangan itu bikin galau. Makanya, saya lagi mendoktrin diri sendiri, jangan menyesal di belakang. Jangan menyia-nyiakan sesuatu atau seseorang ketika ada di depan mata. Karena kalau sekali hilang atau lepas, nilai penyesalan itu pasti ngekor di belakang :p

Coldplay – The Scientist

Tidak ada komentar:

Posting Komentar