"Jadi kapan?"
"Tahun depan."
"Hah?"
"Iya."
“…”
“Kenapa? Kamu pasti takut.”
"Oke. Tahun depan."
"Tahun depan."
***
“Tahun depan.”
Tahun depan. Dua kata sederhana ini mampu menghancurkan suatu kisah yang aku bangun dalam lima tahun. Lima tahun penuh, dalam sepersekian detik. Lima tahun penuh, yang kututup erat agar tak mendadak meledak.
“Maaf, telat mengabarkan.”
Otot-otot di sekitar pipiku saling menarik ke kutub berlawanan—hanya bisa menciptakan senyum sekelas Joker.
Apakah dia bisa melihat ini? Selapis undangan, dengan pita cantik berwarna marun—kini bernasib sama seperti rokok menthol terenak dalam sekejap : menyisakan abu di atas asbak.
***
Apa yang bisa terjadi dalam lima tahun? Sama. Sama seperti kamu melihat ombak menggulung peselancar berkulit cokelat dalam kerjapan mata. Kamu tak pernah tahu, sementara kamu berjalan bersamanya—diantara buket cantik, lingkaran berselaput perak putih. Melingkar indah di jemarimu.
Sementara kamu memilih berjalan bersamanya—aku memilih berteman desiran gusar gulungan air di pelupuk mata. Menunggu dan membenci kamu. Aku lebih mencintai asap rokok yang siap memberangus paru-paruku menjadi gumpalan hitam. Lebih. Daripada kamu.
Kamu tahu? Aku berdusta. Aku berdusta, jika ini sebatas tawa canda riuh rendah. Aku berdusta, ketika berucap akan menghadiri seremoni itu. Berbohong untuk kebaikan? Huh. Aku tak selugu itu, Nona.
***
“Siapa?”
Tenang. Tanpa emosi terlonjak.
“Bukan…”
Kelu di ujung lidah. Mendadak buntu. Bagaikan anak kecil yang tertangkap basah di pojokan pintu. Aku tertunduk minta ditelan bumi.
“Aku—lugu sekali, ya?”
Ia bertanya. Retorik. Kali ini ketenangannya merajuk menjadi gumaman tak jelas. Aku kehabisan kata-kata. Kehabisan napas. Sementara aku baru tersadar, nyaris terpendam selama lima tahun, aku juga terbakar!
***
Hari ini. di pucuk cakrawala. Diam-diam aku terdiam. Sengaja—agar aku tahu bagaimana cara angin membelai rambutku. Kamu tahu. aku menunggu. Disini. Berteman desiran gusar gulungan air di pelupuk mata. Menunggu dan mencintaimu.
Tepat pukul 10.00 ketika lonceng itu berdentang. Di suatu tempat yang hanya kamu dan aku yang tahu.Ombak menggulung peselancar berkulit cokelat dalam kerjapan.
azeeek, tahun depan septiN meriid :D
BalasHapusHalo Septarina...saya jadi ikutan sedih. Tapi kalau memang jodoh si dia tidak akan lari kemana-mana. Sabar...sabar
BalasHapusSalam
Puri areta
http://pustaka-puri.blogspot.com
errr... thank's :p
BalasHapus