#praying : semoga si Abi tembus yang sayembara buku indie *numpangbeken* amin.amin.amin.
Tampilkan postingan dengan label featuring. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label featuring. Tampilkan semua postingan
Minggu, 16 Oktober 2011
Minggu, 01 Mei 2011
Tamu si Merah Jambu
Di kota ini, tidak pernah ada yang berani mendefinisikan cinta. Semua hal telah dipahami dengan baik oleh penduduknya. Pengetahuan apa pun telah tersusun dengan rapi dalam ensiklopedia raksasa yang selalu bertambah tebal setiap tahun. Apa pun, kecuali cinta.
Kenapa kecuali cinta?
Karena cinta terlalu absurd untuk diselami. Memabukkan, sekaligus membahayakan. Hanya orang-orang dengan keteguhan hati, yang mampu menyelami maknanya. Dan sayangnya, sampai detik ini semua gagal. Telak.
Jika kau tanya aku, pernahkah aku mencoba untuk mendefinisikannya, maka dengan bangga aku akan menjawab pernah. Walaupun tentu saja aku malah terhisap semakin dalam sebelum kemudian dipentalkan kembali oleh organisme abstrak serupa lubang hitam bernama cinta.
Tapi aku telah bernazar kepada langit untuk sekali lagi mencoba mendefinisikan cinta beserta segala hiruk-pikuk di dalamnya. Sebenarnya bukan semata untuk langit, juga untuk seseorang. Seseorang yang telah meninggalkan kota ini bertahun-tahun yang lalu. Untuk mencari kehidupan yang lebih baik, katanya. Alasan klise.
Kini, alasan klise itu seakan menjadi bagian malam yang kelam, siang yang terang, dan abu-abu yang tabu. Terasa sangat dekat untuk dijangkau, namun jauh sekedar diramu. Menjadikannya sepahit jamu yang dijual oleh seorang ibu tua di sudut pasar, dengan khasiat yang begitu besar. Bagi siapa? Bagi apa? Bagi keseimbangan jiwa. Menjadikan hari serupa merah jambu.
Aku memahami definisi absurd itu tak jauh berbeda dari rumus matematika, bahwa satu ditambah satu menjadi dua. Sesederhana itu saja. Namun terkadang berbagai integral, pangkat, dan logaritma menjadikan sesuatu yang sederhana menjadi terlalu istimewa--aku tak paham. Cinta, seyogyanya itu sederhana.
Tok. Tok. Tok.
Ups. Ada yang mengetuk pintu! Si cinta yang merah jambu.
"Permisi, bisakah kita kembali pada realita? Aku tak bisa menggunakan logaritma ataupun integral. Bisakah, aku menggunakan kalkulator dari warungku saja?"
"Kenapa?"
"Aku takut. Ketika idealisme itu melupakan akarnya. Dan menjadi utopis. Segera! Sebelum aku mati di awang-awang."
Maka terbanglah kembali si cinta merah jambu. Meninggalkan pintu rumahku, menuju pintu-pintu rumah lain, mengetuknya, dan memberi harapan yang samar pada manusia-manusia lain yang sedang gundah atau terlalu takut untuk merengkuh cinta. Mereka yang terlalu takut untuk jatuh setelah diterbangkan menuju nebula oleh sayapnya.
Sudah berkali-kali organisme abstrak merah jambu itu datang mengetuk pintuku. Merah jambu, warna yang menyenangkan untuk dilihat oleh siapa pun. Tapi aku cukup jeli untuk melihat, bahwa ada warna lain dalam dirinya. Hitam, warna yang menenggelamkan, warna yang mematikan. Cinta mempunyai sisi lain, sisi kelam yang bisa muncul kapan saja.
***
Aku percaya, kalau si merah jambu adalah hitam yang baru.
Lembut, namun kejam. Pendengar yang baik, namun mampu menikam.
Dan, dengan bodohnya aku masih disini, kamu masih disitu, orang-orang kota masih menunggu. Menunggu apa? Si merah jambu. Menunggu definisi cinta yang baru.
***
Tok. Tok. Tok.
Ada yang mengetuk pintu rumahnya, si merah jambu!
"Ada apa pagi-pagi begini?"
"Ini tentang orang yang pernah bernazar padamu."
"Ya? Apakah akhirnya dia berhasil mendefinisikanmu?"
"Tidak, kamu sendiri tahu tidak akan pernah ada yang bisa, dimana pun. Dia justru sudah sampai di satu titik dimana sudah tidak penting lagi untuk mendefenisikanku."
"Aku sudah pernah bilang padanya tidak ada gunanya mendefenisikanmu, tapi dia tidak pernah mendengarku. Itulah kenapa aku pergi.."
"Maka jangan pergi, karena meski virus merah jambu adalah hitam yang baru, nyatanya aku disini... mengetuk pintumu sepagi ini."
"Kenapa aku?"
"Hatimu terlalu utuh, terlalu merah jambu. Untuk secepat itu berlalu."
*sekali lagi, featuring Lulabi
Tunggu Aku , Jekarda!
“Tidaaakk… masa ini segera datang! Cukup on-time juga ya…” perempuan itu menarik-narik rol rambutnya dengan malas. Hari ini masih minggu ketiga di pertengahan tahun. Sudah basi untuk membuat resolusi tahun baru, namun terlalu percaya diri untuk menyambut pergantian tahun. Sungguh masa abu-abu.
May menuang isi coffee maker, menyisakan bekas-bekas uap dan setengah bagian lagi. Plus nasi uduk. Ah, sungguh perpaduan kuliner yang mekso.
"Makan tuh, nggak usah pakai teori. Apalagi teori diet. Kasihan juga perutmu mesti menanggung dosamu yang kalap-kalap sendiri lihat makanan. Pakai deh tuh teori, kalau kamu dari awal memang konsisten preventif." demikian celetukan May di suatu pagi. Cadas.
May melirik sekilas surat yang dipegang Auli.
“Oh. Lanjutan kemarin?”
Dengan asal Auli menyeruput paksa kopi May, menyisakan raut kesal pada May karena kopinya disabotase.
“Iya. Jekarda calling. Hoek.”
“Kapan?”
“Minggu depan…”
“Well, welcoming urban. Hahaha. Tak apa, kamu pasti bakal lebih gaul parah dan putih begitu menginjak Jakarta.”
“Putih?”
“Mm… saking parahnya polusi kota J, jadi sinar UV terhalang polusi yang naik ke atmosfer, menjadikan panas alami matahari hanya mengendus kulit--alih-alih membakarnya--tak mengusik pigmen berlebihan dengan UV. Voila! Dan kamu mendapat tabir surya alami, si polusi."
“Lumayan dong, ngirit lotion… Kompensasi ketika sebagian besar gaji habis buat gaya hidup, eh?”
May mengangkat bahu, mulai membentangkan koran tadi pagi di atas meja. Meneliti headline yang bikin pusing.
“Dan… kalau aku lupa akar?”
“Nah, setidaknya ingatlah untuk menyadari darimana kamu berasal.”
Kamis, 28 April 2011
Malam yang Datang Terlalu Cepat
Malam datang terlalu cepat, setidaknya itulah yang dirasakan oleh lelaki itu. Rembulan yang kebetulan sedang purnama, dan lampu jalan yang kebetulan menyala di depannya, membuat pemandangan yang ganjil dan indah. Tapi bagi lelaki itu semua in hanya ganjil, tanpa indah.
Ada seorang perempuan yang berdiri dibawah lampu, entah sedang apa, entah sedang menunggu siapa, entah sedang menghitung berapa banyak sebuah apa.
"Apakah kamu juga merasa malam ini datang begitu cepat?" tanya si lelaki, pada perempuan yang sesungguhnya tidak pernah dia kenal itu.
Alih-alih menjawab, perempuan itu semakin merapatkan jaket cokelatnya, erat membalut tubuh. Malam bisa kian kejam dengan desiran angin yang menggigit. Persis seperti gigi yang mengulum es.
Ia tak menggeleng. Hanya menatap. Tak menjawab. Hanya mendesah.
"Cepat atau lambat... adakah yang lebih ditakutkan manusia daripada waktu yang berputar, eh? Seperti kamu sekarang. Seakan-akan manusia memang hidup hanya demi waktu yang berputar. Huft."
Perempuan itu menendang batu, bak waktu.
"Untuk apa lagi kita hidup jika bukan untuk terus berperan dalam memutar roda raksasa pemutar waktu? Kita terus ber-regenerasi, kita terus berubah, kita terus berjuang mati-matian menolak tua, tapi tetap sang waktulah yang menang, dan sialnya kita hanya bisa diam melihat dia mengkhianati kita. Ah lupakan. Omong-omong, jam berapa sekarang?" kata si lelaki.
"Aku tak memakai jam--dan tak ingin memakainya. Jika semua hal dalam hidup ditentukan dengan deadline... usiamu dalam kandungan, waktu yang diharapkan cemas kedua orangtuamu hingga menapak langkah pertama, bahkan menjelang nyawamu terenggut, huh, aku memilih untuk mengabaikan waktu sebisaku. Maaf. Aku tak tahu jam berapa sekarang. Omong-omong, kenapa kau memanggilku kesini?"
Perempuan itu memilih ayunan bercat merah terkelupas, menjejakkan kakinya dan mulai berayun. Kembali, mengusir waktu. Menunggu lelaki itu berucap, entah apa.
Sementara bulan semakin membulat dan lampu jalan semakin meredup, lelaki itu mengambil duduk diatas tumpukan ban bekas, mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tasnya, menyalakan sebatang, menghisapnya dalam-dalam, sebelum kemudian mengeluarkan asap yang sengaja dibentuknya menjadi lingkaran, menghadiahi malam ini satu lagi lingkaran sempurna, pikirnya.
"Aku tidak mengatakannya dalam surat ya? Ah iya, maaf, lagi-lagi masalah loncatan kognisi ini. Maaf, seharusnya aku juga mengatakan kapan tepatnya kamu harus datang kesini, bukan hanya 'saat lampu menyala' yang bisa kapan saja. Tapi mengingat kamu tidak pernah melihat jam, aku jadi tidak terlalu merasa bersalah. Sebelumnya, aku bisa memanggilmu dengan apa?"
Perempuan itu mendengus. Lelaki ini!
"Apa sih, arti panggilan? Begitu kan, kata Shakespeare? Kamu bisa memanggilku apa saja. Autisme berjalan, kepulan asap rokok, kotoran kuda. Terserah kamu. Kupikir, setidaknya kamu harus cukup mengenalku hingga memaksaku meninggalkan selimut di dalam kebekuan seperti ini, kan?
Perempuan itu menatap lelaki itu dengan tajam. Ia tak suka hembusan rokok yang menjelma bak tameng di sekeliling lelaki itu. Seakan ia bisa memonopoli emosi, menopengi sedikit getar ragu dalam intonasi. Padahal, siapa yang tahu jika lelaki ini rapuh di dalam, dengan sebatang rokok mengepulkan asap panjang pendek? Rokok--adalah cara lain menjadi jantan yang sukses dipropaganda media. Cih.
"Haha, lelucon pembuka yang bagus untuk malam keparat ini. Berbicara soal nama, aku malah ingat sebuah dialog satir dalam Pulp Fiction.
'What is your name?’
'Butch.'
'What does it mean?'
'I'm American, honey. Our names don't mean shit.'
Ini bukan Amerika, tapi aku juga percaya nama tidak berperan begitu besar sehingga kita tidak perlu membawanya kemana-mana. Kamu juga bisa memanggilku sesuka hatimu wahai Kepulan Asap Rokok."
Lelaki itu mematikan rokoknya. Bukan, bukan karena dia tidak ingin menyumbangkan polusi lebih banyak lagi untuk udara, tapi semata karena dadanya semakin terasa sakit semenjak semalam.
"Kamu ingat ini?" katanya kemudian sambil mengeluarkan benda lain dari dalam tasnya, sebuah buku.
Kali ini alis perempuan itu terangkat tinggi-tinggi.
"Tarot?" lirihnya antara heran dan geli.
Dari semua buku di muka bumi, lelaki ini menggiringnya di tengah kepekatan malam demi sebuah buku yang berawalan abjad ke duapuluh?
"Ya, tarot. Sebentar, mungkin ini akan terdengar aneh. Aku akan menceritakan semuanya. Dua minggu yang lalu aku bermimpi aneh selama lima hari berturut-turut."
"Ada seorang pria tua yang selalu datang, tidak pernah absen. Dalam mimpiku dia memberikan kartu ke-delapan dari Major Arcana, 'Kematian', selama empat hari berturut-turut. Di hari kelima aku bertanya apa artinya kartu itu, lalu dia memberikan kartu lain, kali ini kartu bergambar seorang perempuan, dia bilang perempuan itu adalah reinkarnasi dari peramal terhebat sepanjang sejarah. Dia akan menjelaskannya untukmu."
"Lalu besoknya aku melihat perempuan dalam kartu di mimpiku dalam dunia nyata, aku melihatnya keluar dari rumahnya yang ternyata tidak jauh dari rumahku. Perempuan itu adalah kamu! Itulah mengapa sore itu kamu menemui surat dariku dibawah pintumu."
Perempuan itu tersenyum samar. Dingin yang semula dirasakan kian menusuk kini hanya bagaikan sapaan singkat angin lalu. Pembicaraan ini kian menarik, batinnya.
"Nostradamus pasti akan berpikir panjang sebelum memilih ku sebagai reinkarnan nya, bukan? Aku beritahu satu hal, aku mendapatkan kartu nomor enam dari peramal gadungan di ujung jalan. Malam berikutnya, sepertimu, tarot yang kuperoleh berubah terbalik. Tidakkah itu menarik?"
Tak ada sahutan dari lelaki di hadapannya. Jeda sekian lama, hingga tinggal suara malam dan kisikan daun yang membelah kebisingan dalam pikiran lelaki itu.
Sebenarnya bukan tidak ada sahutan, tetapi lelaki itu menyahut dalam hati, sehingga yang bisa mendengarnya mungkin hanya virus-virus dan bakteri yang terintegrasi dalam tubuhnya.
"Sial, tahu apa aku tentang tarot? Dan apa pula maksudnya kartu nomor enam dan kebalikannya?"
Lelaki itu kembali menyalakan rokok. Bukan, bukan karena dia sedang ingin menyumbangkan polusi lebih banyak lagi untuk udara, tapi karena malam itu begitu dingin. Dan kalaupun aku mati, setidaknya aku mati dibunuh oleh sahabatku, pikirnya.
"Fiuuh, bukankah ini lucu, betapa waktu dan takdir telah mempermainkan kita? Pertama mimpi-mimpi itu, kemudian malam yang datang terlalu cepat, dan cerita yang sama darimu, semua ini seperti script sebuah sitkom yang sarkas. Bedanya, disini penontonnya hanya kita berdua, sehingga membuatnya menjadi begitu sepi."
Perempuan itu merasa kasihan pada lelaki itu. Ia bangkit dari ayunan, dan tersenyum padanya. Teramat manis, menyisakan lesung pipi yang dalam terhadap lamunan si lelaki. Menjawab samar,
"Yah, karena kamu bahkan tidak tahu apa yang hendak kamu katakan... mungkin, aku ingin kembali ke peradabanku yang hangat. Dengan secangkir kopi pahit nan panas.
Terdengar desahan panjang,
"Padahal, aku tahu dengan pasti arah pembicaraan ini." Lanjutnya.
Perempuan itu mengecup sekilas pipi si lelaki yang dingin oleh kabut, namun kasar oleh bekas rambut-rambut pendek yang tak rapi tercukur. Yang tanpa sadar diamini hangat oleh hati lelaki itu.
Lelaki itu hanya membalas dengan senyum sekilas. Dia masih saja duduk disana sementara si perempuan berjalan kembali ke rumahnya yang hangat. Diambilnya benda lain dalam tasnya, sahabatnya yang lain: kertas dan pena. Dia mulai membuat garis diatas kertas, entah tulisan, entah gambar, entah diagram, entah.
Ada senyum yang tipis namun menyiratkan kemenangan dari wajahnya.
"Dia tidak tahu sebenarnya masih ada mimpi di hari keenam. Mimpi yang membuat semua ini terasa masuk akal sekarang. Mimpi yang aku yakin tidak datang begitu saja dari bawah sadarku. Perempuan itu, ah.." katanya pada virus-virus dan bakteri dalam tubuhnya sambil terus menggoreskan pena.
Lelaki itu terlalu sibuk dengan pena dan kertas tipisnya, hingga tak menyadari bahwa perempuan itu berbalik sesaat,
"Hei, Kabut Malam! Namaku Rhe." lagi-lagi dengan senyum teramat manis, bak candu.
Cukup pelan, sangat pelan. Namun desis angin telah berbaik hati menyampaikannya ke gendang telinga lelaki itu. Senyum samar, berbalas tipis di ujung bibir si lelaki.
"Kau begitu kejam padaku, ah malam..."
*cerpen ini adalah proyek eksperimen saya dengan Lulabi, yang terinspirasi gara-gara karya terbarunya Djenar Maesa Ayu. Well done, mate! :)
Langganan:
Postingan (Atom)