Saya setuju bahwa mata adalah sumber segala bentuk permasalahan di muka bumi ini. Bukannya menggeneralisasi, ataupun terlalu psikologis. Namun fakta yang saya temui adalah sebagian besar waktu dan tenaga dan biaya habis demi memuaskan pantulan yang ditangkap mata dan meracuni pikiran serta hati. Oke, indera lain juga berkontribusi sih. Tapi mata tetap jawaranya. Hehe.
Beberapa teman saya tergolong cukup konsumtif, entah itu untuk celana model baru (yang ironisnya selalu berulang berpuluh tahun kemudian), atau tumpukan buku (saya!),bahkan mencicipi menu di salah satu franchise donat terkemuka. Dan, dari mana kita mendapat keyakinan bahwa celana A tampak tepat untuk dibeli, atau sebuah buku tampak sangat mengesankan untuk dimiliki, atau kenapa fast food itu tampak sangat memukau?
Kebiasaan terburuk saya adalah selalu terjebak dalam sebuah pameran atau toko buku. Dua tempat itu adalah favorit saya dalam melarikan diri. Dan mata sangat berperan disini. Selain aroma yang khas (entah aroma lapuk atau kamfer) sebagai feromon yang tak bisa saya hindari, cover sebuah buku adalah hal krusial yang kerapkali menjebak saya untuk memboroskan cadangan financial saya. Beberapa kali saya merasa tertipu membeli sebuah buku yang tampak mahadahsyat (dari sampulnya, dan… terkadang resensinya). Tapi untungnya saya tak pernah terlalu menyesali kenapa membeli buku dengan warna oranya ngejreng—sebuah buku setebal 320 karangan Richard Brodie (yang baru saya ketahui bahwa buku tersebut adalah favorit Dewi Lestari, jelaslah saya tidak terlalu kecewa :p) yang dijual hanya 10.000 rupiah saja. Buku lain yang menjadi sasaran tebak-tebak berhadiah adalah buku sains popular berjudul Murphy’s Law.
terjebak 'hanya' karena ini?? Absolutely yes
versi aseli nya... simpel :)
Jujur, saya bahkan menggadaikan niat saya untuk membeli Traveler’s Tale demi buku itu. Tentunya buku itu harus cukup berharga, bukan?
Awalnya saya menyesal. Beberapa halaman pembukanya membuat saya bosan setengah mati karena membahas psikologi umum, yah… saya bukanlah fans setiap sesuatu bernama persepsi dan kedalaman—hal yang wajib dibahas dalam ilmu psikologi itu. Tapi karena saya merasa harus bertanggungjawab atas buku aneh ini, saya memutuskan untuk membacanya. Dan buku ini memang konyol tapi ilmiah. Tanpa bermaksud menghibur diri saya sendiri,tapi kebodohan saya mengutuk benda-benda mati sebagai kambing hitam menjadi rada reasonable :p
Akhir-akhir ini saya sangat jarang menata kembali buku-buku yang saya gunakan untuk menyelesaikan tugas akhir saya. Hingga suatu ketika saya pasti repot sendiri mencari sebuah buku tebal bersampul biru diantara tumpukan dalam kondisi terburu-buru. Dan sialnya buku tersebut tetap tak nongol. Hingga adik saya pun bertanya,
“Nggak ada disitu mungkin Mbak…” demi melihat saya berkali-kali mengacak-acak tempat yang sama.
Tapi dasar ngeyel, saya tetap saja mencari di tempat yang sama. Entah setelah melewati kelelahan dan sebagainya dan entah keajaiban alam atau apa… voila! Buku itu terletak disana, masih disana padahal saya yakin sudah menelusuri dengan teliti tumpukan buku itu.
Dan, kenapa?
Ketika saya mencari buku yang saya maksud, rupanya saya tak melihat dengan benar karena saya mengambil shortcut ingatan mengenai si buku biru : buku berwarna biru. Titik. Dengan demikian saya cenderung akan memindai seluruh ruangan dan mencari ‘alien’ tersebut sesuai shortcut yang saya miliki tadi. Dan ketika saya terburu-buru maka daerah pindaian pun menjadi lebih sempit, dengan memusatkan perhatian pada shortcut tadi tanpa melihat rincian lain. Hal itu tentu menjadi masalah, karena rupanya saya melupakan kenyataan bahwa si buku biru tertinggal tempo hari dalam keadaan terbalik dan warna biru itu tak terlihat, dan bodohnya saya memang yakin buku itu masih berada di tempat yang sama.
Dalam buku ini, saya jadi menertawakan kenaifan saya : kenapa sih seisi alam semesta selalu berkonspirasi ketika saya sedang dikejar tenggat waktu?? (Terlepas dari asumsi Law of Attraction dan The Secret, tentu) padahal tentu dan selalu ada alasan rasional dibalik itu.
Saya bukan penikmat buku berat, dan saya merekomendasikan buku ini. Terutama, saya sangat menyukai quote yang banyak bertebaran di setiap halaman. Beberapa yang saya kutip :
Hidup hanya bisa dipahami bila kita melihat kebelakang, dan hanya bisa dijalani bila kita melihat ke depan (Soren Kierkegaard)
Semua yang anda suka adalah illegal, immoral, atau menggemukkan (Alexander Woollcott)
... dan favorit saya...
Ornag tidak bermaksud melontarkan yang mereka ucapkan, tidak juga mengicapkan apa yang mereka maksudkan
Sekali dua kali, salah beli buku gara-gara artistik dan permainan kata yang memikat mata sah-sah saja,ah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar