Sabtu, 26 Agustus 2017

Secangkir Kopi di Seberang Jalan



Hampir malam di Yogya,
ketika keretaku tiba,
remang-remang cuaca,
terkejut aku tiba-tiba


Kali ini, aku tak akan bercerita tentang rindu, rintik hujan, pelangi. Bagiku, itu terlalu lemah. Terlalu kumpulan puisi. Dan tampaknya aku tak mewakili kualitas melankolis tersebut.

Sudah sekian minggu aku tak tersentuh, ditengokpun jarang. Sedikit berharap, kelak ketika ada kesempatan semoga aku tak menyeruak dengan bau yang menjengkelkan.

Apa yang salah?
Sebenarnya, tak ada. Sedikit dengki, mungkin ya. Karena disini gelap, nyaris lembab. Aku merasakan Tuan risau, hingga terkadang enggan membuka pintu untuk para tamu. Barangkali sibuk menimbang dan menimang, kalkulasi ini itu. Tuan, bersabarlah.


**


Aku iri, melihatmu di kejauhan, seberang jalan yang penuh gemerlap meski hanya disinari lampu temaram. Menguar aroma hingga ke pelosok kota. Bahkan dari jauh para tamu mampu mengira-ira, kamu berasal dari dataran mana. Bersenandung riang dengan komposisi saksofon yang diputar dari pengeras suara. 

Jadi tak masalah, kan? Jika aku merasa iri kemudian?
Memandang dari sudut kaca jendela, tiap tamu yang hilir mudik macam sungai mengalir. Menyaksikan gelak tawa dan berbagai jenis emosi. Ahya, kata orang kamu memang penetral segalanya. Rasa penat, jenuh, kesal, depresi, tertekan. Mungkin, kamu lebih tepat disebut obat sakit kepala. Anti-depressant (?). Kamu pernah bercerita, kompleksitasmu mampu 'memaksa' orang-orang hadir dalam ketidakmampuan materi mereka, sekedar untuk segelas eksistensi. Prestise, ya. Berpura-pura mampu secara lahir batin, ya. Darimu aku belajar getir. Namun aku masih tetap iri. Jangan salahkan aku.


**



Ya, malam makin naik. Dan ya, sebentar lagi aku akan kembali ke peraduan. Sudut gelap yang lembab. Dan Tuan, akan kembali naik ke loteng atas dengan gundah. Tak bisakah aku melakukan sesuatu untuk Tuanku?

Dan mendadak rasanya seperti mendapat ilham dari langit. 

Ah, sekarang atau kapan lagi?!
Kali ini aku akan bertahan. Aku harus mendapatkan satu tamu. Tepat sebelum Tuan menyerah kalah, aku memaksa menggulingkan bagian tubuhku, menggelinding hingga masuk ke celah sempit diantara kaki lemari keropos dan tembok. Aku sempat mendengar Tuan mengumpat. Sedikit terantuk ujung meja. Tuan marah! Dengan kepanikan luarbiasa, aku menatap jendela. Ada sekelompok pemuda yang akan melewati etalase kami. Sekuat tenaga, aku menggeser tombol radio tua, semoga masih ada suara yang keluar. Ayolah, malam ini harus lebih berguna meski hanya ditemani alunan musik tua. Yang penting semangat pantang merenta!

Dua pemuda dengan gaya cukup kasual melenggang begitu saja melewati etalase. Aduh! Aku sengaja membenturkan diri ke etalase, sedikit keras hingga rasanya sedemikian ngilu. Pemuda terakhir berlalu begitu saja. Dan aku lemas. Gagal sudah. Aku terdiam di pojokan kusen, masih mendengar Tuan yang sibuk mengusap ujung kening yang sedikit membiru. 'Maaf Tuan.' seruku dalam diam.

"Maaf, ini masih buka?"

Aku sama kagetnya dengan Tuan, meski tak sepucat Tuan. Tuan bahkan lebih mirip mayat hidup saking syoknya. Pemuda tadi--bersama rekan-rekannya! Astaga. Cubit aku. Aku takut ini hanya khayalan.

"Eh--masih. Masih! Silakan!" terbata Tuan menyambut tamu. Satu-dua-enam orang!

"Saya Teh Oolong."
"Oolongnya dua."
"Mm, rosella saja mungkin ya? Kamu apa?"
"Yang chamomile dua."

Aku terdiam. Sedikit sedih karena tidak ada yang berminat denganku. Tuan memandangku dengan prihatin.

"Saya, ng--teh hitam saja." pemuda terakhir. Terakhir melewati etalase, terakhir menyelamatkanku.

Aku lega. Sekilas aku melihat Tuan tersenyum, setelah mungkin--sekian bulan lalu. Aku menemani Tuan meracik segala pesanan dadakan hari itu. Tangan Tuan bergetar hebat, nyaris menjatuhkan cangkir-cangkir tua yang disimpan entah berapa abad. Kita berhasil, Tuan.

Sepasang mata bola,
dari balik jendela,
datang dari Jakarta,
menuju medan perwira

Kagumku melihatnya,
sinar sang perwira rela,
hati telah terpikat,
semoga kita kelak berjumpa pula


**


Aku tak akan iri. Sudah tidak. Perlahan tapi pasti, etalase kami pasti akan kembali menyala, memberi warna lain berseberangan denganmu, kedai kopi di ujung jalan.

Ya, mungkin aromaku tak menguar hingga memenuhi ujung jalanan, namun penikmat sejati akan menemukan. Rasa nyaman, seringkali muncul dari hal yang sederhana, bukan? 


**


Ditulis sambil menyesap teh tubruk hangat, dengan dua sendok teh gula. Nyamannya sampai ke hati :)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar