Minggu, 25 November 2012

Aku suka makan, masalah buatmu?





Aku suka makan. Masalah buatmu? 
Aku tak peduli mau macam apa makanannya, tempatnya, atau atmosfernya, yang penting makan. Seperti yang kamu bilang, makanan buatmu itu cuma dua : enak atau enak banget. 
Tidak ada justifikasi khusus bahwa perut harus diisi di tempat A, dengan menu B, dan dengan C.

*** 

Pertama kali aku mengenalmu dari suatu angkringan di pojokan jalan.
Ya, angkringan.
Angkringan sederhana, dengan lampu teplok temaram, nyamuk celamitan, dan guyub yang spontan. Dengan celana pendek, kaos lawas extra satu ukuran, sandal jepit, sendiri--mencomot bakwan, ceker, sate usus, nasi bakar dua, dan wedang jahe. Tak peduli keriuhan, tak peduli kepengapan yang ditimbulkan asap rokok bersahut-sahutan. Aku lapar. Masalah, buatmu?


Entah seasyik apa bentukku saat makan, sampai suatu titik aku menemukan perasaan ganjil--merasa diamati. Sebisa mungkin tak peduli, aku menambahkan kembali dua potong mendoan hangat di atas nasi teri yang masih separuh jalan.
Hingga, lama-lama gerah pun menjadi jengah. 
Entah naluri mana yang menggiring, hingga mata tertumbuk ke sepasang mata lain, yang balas menatap dengan minat--err...atau mungkin lebih tepatnya--heran. 

"Laper, Mbak?" tanyanya, lebih ke arah geli.

Aku tak mengenalmu. Bukan orang daerah sini pula. Jadilah aku hanya sekedar membalas dengan senyum ala kadarnya.

Aku lapar, masalah buatmu?

"Piro, Mas?"

Buru-buru aku mengeluarkan gumpalan uang dari dalam saku celana. Uff, mau hujan!

"Pitung ewu, Mbak."

Selembar uang sepuluhribuan bertukar manis dengan tiga lembar seribuan yang tak kalah kucel, dan aku buru-buru berlalu, meninggalkan pandangan gumun-mu yang masih terasa mengikuti.

*** 

Setiap orang butuh pelarian, kan? 
Pelarian dari rasa bersalah, takut, stres, dan entah apa lagi. Seperti kali ini. Malam yang stres. Malam yang mawut. Efek sempurna ulah bos besar yang memberikan draft deadline dalam jangka waktu satu kali duapuluhempatjam. Errr... ralat, kurang dari duapuluhempatjam, karena hingga saat ini menunjukkan jam sembilan seperempat, aku masih duduk di pojokan lounge. Bengong, blank, sementara minuman dingin warna-warni di depan yang masih utuh malah jadi seperti mengejek. Sudah tiga jam berlalu, dan screen di depan mata samasekali kosong, tidak terisi bahkan oleh satu huruf pun.
Tempat ini, adalah lounge favorit untuk pelarian dadakan. Favorit karena tuna sandwich-nya yang teristimewa.Tempat ini adalah pelarian, ketika otak sedikit perlu privasi dan badan sedang tidak ingin terlibat personal space yang terlalu dekat dengan orang terdekat sekalipun. 


Dan ya, berpikir terlalu lama selalu menguras energi. Usus mulai mencerna hal semu, berteriak-teriak untuk segera diisi. Well, tuna sandwich's time.
Mata mulai jelalatan mencari sosok pramusaji yang rada-rada nganggur, mengingat malam ini entah kenapa lounge ini agak padat oleh manusia. 
"Mas!"
"Silakan, Mbak."
List menu diletakkan di meja.
"Tuna sandwich, satu." tanpa membuka list menu samasekali—saking hapalnya—aku mengembalikannya pada si pramusaji.
"Loh--"
"Wah--"

Feeling my hands start shaking
Hearing your voice I’m overjoyed

Dan untuk kali kedua ada dua pasang mata beradu.

I’m sorry but I have no choice, you’re only getting better
Maybe you have your reasons
Maybe you’re scared, you’ll be let down


It happen.

*** 

"Nih."

Gulali. Bolang-baling. Telur merah. Sate kikil.
Dengan agak semena-mena kamu menjejalkan kombinasi makanan tadi di pangkuanku. 

"Sebegitunya aku tampak kelaparan, ya?"

Selarik cengiran membalas sambil mengangkat bahu. Sementara mulutnya tak kalah sibuk mengunyah bolang-baling.
Sekaten hari kedua. Selalu penuh. Selalu bergairah. Berburu jajanan murah meriah. 
Entah berapa periode Sekaten yang aku absen. Event wajib masa kecil yang kini berlalu begitu saja. Tergerus dengan hal-hal lain yang konon lebih penting. Meski dalam hati, kadang ada selipan doa : ijinkan aku datang kembali ke Sekaten ini. Dan doaku terkabul. Kali ini, menyambangi Sekaten sebagai perhelatan masa kecil, aku tak sendiri. 

"Bianglala, yuk!"

Tanpa tedeng aling-aling, kesigapan yang mengejutkan, kamu memasukkan semua jajanan di atas pangkuanku ke dalam tas. 
Aku kaget. Aku kehabisan kata-kata. Aku terkena serangan jantung dadakan--ouch.
Dengan semena-mena kamu menggandeng tanganku, setengah menariknya, tanpa aba-aba. Menunjuk-nunjuk bianglala yang berputar ala kadarnya, hiburan murah rakyat semesta. Tertawa.
Kamu...terbuat dari apa?



Oh then maybe, maybe if you hold me baby
Let me come over I would tell you secrets nobody knows
I can not overstate it, I will be overjoyed

*** 

Gemerisik rintik hujan yang samar-samar, malu-malu untuk mengguyur jalanan, musikalisasi yang pas untuk menemani senja. 

"Lama sekali, yaaa."
"Kenapa, kamu sudah lapar ya?" dia tampak begitu geli demi melihat tampangku yang sudah semi kusut. Yah, kelaparan.
"Iya, aku lapar. Masalah buatmu?"

Kamu langsung tertawa, 

"Tetap, tidak berubah. Hehehe."
"Monggo, Mas, Mbak."

Dua piring beralas daun pisang semi pincuk,  telur bebek, ayam suwir, areh, sambel goreng krecek kacang tolo, menyelimuti nasi pulen yang mengepul pekat di udara. Gudeg.
Tanpa banyak kata, sesendok demi sesendok mulai beradu cepat masuk ke mulut. Panas, lapar, pedas, sementara hujan masih mengguyur. Nikmat!

"Hmmmmm..."
"Enak?" kamu bertanya, dengan heran, seperti beberapa tahun lalu.
"Iya!" jawabku dengan terus menyendok nasi. Persis seperti kuli yang dipaksa membangun candi dan tidak diberi makan tigapuluh hari.
"Bu, boleh tambah suwiran ayamnya?" dan, aku makin tak tahu malu.
Si Ibu cuma mesam-mesem, lalu mengangguk. 

Aku makan kian lahap. Hingga aku merasa ada yang memperhatikanku. Kamu. 

"Kok nggak dimakan? Enak lho." aku menunjuk piring nasinya yang baru setengah dimakan, dengan mulut masih setengah mengunyah.
"Beberapa tahun kedepan, aku bakal kangen lihat ekspresimu waktu makan seperti ini..."


Aku tahu, mungkin aku harusnya berhenti makan. Dan menanggapi perkataanmu barusan dengan lebih serius. Tapi maaf, aku tak bisa. Aku terus mengunyah, minum seteguk, lalu mengunyah lagi. Seakan-akan ini adalah kesempatan terakhir aku menyantap makanan selezat gudeg. Maaf, jika tidak terus mengunyah, aku akan menangis. Dan itu pasti akan lebih memberatkanmu pergi.

Ini, deja vu.

***

And maybe, maybe let me hold you baby
Let me come over I would tell you secrets nobody knows
I can not overstate it, I will be overjoyed
  
Happy birthday, dear.
You're a box of chocolate. Surprising.
You're a whole package of 'nasi teri' set. Mix my feeling, indeed.
Stay hungry, stay lovely.
For the next 1001 culinaries trip ahead, wait for me
Happy birthday, dear.

Sekotak cokelat. 
Dua voucher buatan tangan—tulisan tanganmu—bertuliskan : voucher makan angkringan sepuasnya, untuk yang berulangtahun hari ini.

"...beberapa minggu lalu ada yang kesini, Mbak. Pokoknya kalau Mbak dateng, Mbak bebas mau makan apa aja...Oya, selamat ulang tahun ya, Mbak." 

Mas-mas angkringan nampaknya juga kok kamu bodohi, ya? Aku tersenyum simpul. 

" Bakwan, ceker, sate usus, nasi bakar dua, sama wedang jahe ya, Mas!”
“Waduh, lapar Mbak?”

Iya, masalah Mas? Dalam hati aku membatin setengah geli.
Kalau buat kamu, kelak aku lapar itu juga akan jadi masalahmu :)



And if you want, we’ll share this life
Anytime you need a friend, I’m gonna be by your side
When nobody understands you, well I do



Tidak ada komentar:

Posting Komentar