Selasa, 05 Juni 2018

Lima : Sentilan tentang Makna Pancasila




Tentang Lima.





Sabtu lalu saya berkesempatan melihat film Lima di bioskop, tanpa perlu menunggu diputar di stasiun televisi swasta yang sering dipotong iklan itu. Terus terang, menonton film Indonesia di bioskop memang tidak selalu menjadi agenda pribadi, sih. Saya, masih lebih suka menonton film besutan barat jika pun harus menonton di bioskop. Parah ya?

Saya mau bercerita sedikit tentang bagaimana saya bisa menonton film Lima ini.

Minggu lalu saya iseng mengikuti kuis yang diadakan oleh salah satu akun Instagram, @warganega_org, kebetulan topiknya relevan dengan minat saya. Alhamdullilah, dapat gift yang salah satunya tiket nonton film Lima ini.

Saya datang bersama kedua adik saya. Sesampainya disana, setelah menukar tiket dan masuk ke studio, saya merasa sedih.

Pukul 20.40. Dan studio tersebut hanya berisi lima orang termasuk kami. Sesuai sekali ya, dengan judulnya. Lantas, apakah film Lima seburuk itu, terlepas jam yang saya pilih pas sekali selesai tarawih plus bersamaan dengan gaung film Deadpool? Saya pikir, tidak juga.

Jujur, saya merendahkan ekspektasi ketika akan menonton film ini. Ini jelas bukan film yang terlalu muluk atau komersil. Premisnya pun 'sekedar' mengangkat fakta apa yang terjadi di Indonesia : krisis persatuan.

Meski saya menemukan beberapa kecanggungan saat menonton, saya pikir ini masih jauh berkualitas daripada deretan iklan film horor yang bertebaran sebelum film dimulai. Oya, untuk selanjutnya maafkan kalau sedikit memberikan spoiler--meski lebih menyakitkan dibocorkan spoiler Avengers : Infinity War, sih.


**


Film ini dibuka dengan--err--adegan yang membuat saya mendadak teringat film Pengabdi Setan. Bukan karena seram atau apa, namun karena ada sosok seorang ibu, ranjang, dan meninggal. Huhuhu. Tapi sungguh, film ini dibuka dengan luarbiasa. Membuat saya berpikir dalam, teringat orangtua di rumah. Terimakasih juga kepada segala soundtrack yang mengiringi scene-scene awal. Saya sukses merinding, terharu, sedih, dalam waktu bersamaan.

Lima, pada dasarnya menceritakan Fara (Prisia Nasution), Aryo (Yoga Pratama--ingat acara anak-anak tiap Sabtu malam dulu? Kalau tak salah judulnya Pesta Anak. Nah ini salah satu hostnya selain Erina GD dan Vio. Mukanya tak banyak berubah, anyway), dan Adi (Baskara Mahendra) yang berusaha struggle dengan masalah masing-masing, sepeninggal Ibunya.

Kenapa judulnya Lima?
Selain 'memenuhi' implementasi lima sila dalam Pancasila, film ini merupakan kerja kroyokan lima orang sutradara. Lima sutradara, lima tokoh--mencakup Ibu, Fara, Aryo, Adi, dan Ijah--sang asisten rumah tangga, lima kisah. 

Setiap sutradara bertanggungjawab atas satu kisah yang mewakili semangat per sila. Terjawab sudah, kenapa peralihan antar satu plot dengan plot lain agak kurang smooth. Hehehe. Saya sendiri baru ngeh saat melihat foto-foto di akun Instagram Lola Amalia--salah seorang sutradara dalam film Lima.


Sila Pertama. Ketuhanan Yang Maha Esa | Shalahudin Siregar. Meninggalnya seorang ibu yang beberapa kali berpindah agama ternyata menyisakan drama tersendiri saat hendak memulai proses penguburan.


Dari kelima kisah yang dihadirkan dalam film Lima, sila pertama ini adalah salah satu favorit saya.

---

Kisah dimulai dengan berita kematian sang Ibu. Seakan tidak cukup sedih, Fara dan adik-adiknya masih dipusingkan oleh adab mengubur Ibu karena Ibu sempat berpindah agama dua kali. Islam - Kristen - Islam. Karena sempat berpindah agama, marbot masjid menolak halus permohonan Ijah--asisten rumah tangga--yang dimintai tolong Fara untuk mengurus sholat jenazah di masjid. Alasan marbot tersebut adalah karena perkara mazhab. Ijah yang putus asa akhirnya menemui Ibu RT untuk meminta tolong.

Beres satu perkara, ketegangan dilanjutkan antara Fara dan Adi, si bungsu. Fara berniat mencopot gigi palsu Ibu sesuai pengalamannya saat kakek mereka yang muslim meninggal dunia, namun dilarang Adi. Ibu memang sempat berpesan kepada Adi agar gigi palsunya jangan dilepas. Adi pun menganggapnya sebagai wasiat. Fara akhirnya mengalah dan meminta Adi membantu membersihkan kuku Ibu yang penuh kuteks, tentunya agar Ibu berada dalam kondisi fitrah saat dikuburkan.

Setelah membantu Adi membersihkan kuteks Ibu, Fara beranjak ke depan dan berbicara kepada Aryo. Ia meminta Aryo tidak perlu ikut mengantarkan Ibu hingga masuk liang lahat (yang saya pikir yha enteng sekali~ atau mungkin memang sengaja dibuat mengesalkan seperti itu, ya?) karena bukan seorang muslim. Aryo--yang beragama Kristen--tentu kesal setengah mati. Karena baginya, ia toh juga keluar dari rahim Ibu yang sama dengan Fara. Di sisi lain Fara hanya ingin berniat baik, agar Ibu meninggal dengan tenang.

Ada satu quote yang cukup terngiang di kepala saya,

"Jadi, yang mau dikubur Ibu atau agamanya, sih?" geram Aryo kepada Fara, yang langsung disambut dengan telak oleh kalimat yang dilontarkan Adi,
"Ada nggak, cara mengubur yang boleh secara Islam dan Kristen yang nggak bikin kalian berantem?" --(maafkeun, lupa detail dialognya, namun kurang lebih begitu).

Saya pikir, eksekusi sila pertama ini oke sekali. Kenyataannya, lintas agama dalam satu keluarga memang bukan perkara yang mudah, kok.


Sila Kedua. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab | Tika Pramesti. Seorang anak yang intovert, harus berjuang untuk tidak melulu bersikap skeptis dan tidak mau peduli, terutama sepeninggal Ibu.


Sila Ketiga. Persatuan Indonesia | Lola Amaria. Kakak tertua, terjebak dalam isu ras dalam kapasitasnya sebagai pelatih klub renang profesional.

Nah, ini juga menjadi favorit. Mbak Prisia, lagi-lagi menjadi center of attraction.

---

Sehari-hari, Fara bekerja sebagai pelatih renang di sebuah klub. Semua berjalan seperti biasa, hingga suatu ketika atasan Fara ingin berbicara empat mata dengannya terkait pengisian satu slot atlet di Asean Games.

Sebagai pelatih profesional, Fara tentu memiliki standar dan bakal calon atlet yang telah ia 'pilih'. Konflik terjadi ketika atasan sekaligus pemilik klub justru ngotot untuk memasukkan anak klub yang masuk kategori 'pribumi' atau 'Indonesia asli'. Andre--seorang pribumi asli dengan darah Kalimantan, namun kurang disiplin dalam berlatih, menjadi pilihan si pemilik klub. Alasannya adalah karena agenda sekelas Asean Games merupakan sarana tepat untuk 'memperkenalkan' putra daerah.

Fara tak mengiyakan dan tak menolak, namun ia menyanggupi untuk melatih Andre lebih keras, bersama-sama dengan Kevin--keturunan Tionghoa, dimana kedua orangtuanya menjadi korban tragedi 1998. Kevin sendiri memiliki mental juara, setiap hari dia datang pagi-pagi buta untuk berlatih lebih keras dari siapapun di klub. Sayang, pada akhirnya tetap Andre yang di plot untuk mengisi slot Asean Games. Cukup familiar dengan kisah seperti ini?


Sila Keempat. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan | Harvan Agustriansyah. Ketiga anak, harus menyelesaikan permasalahan terkait ego mereka pasca ditinggalkan Ibu. Terutama saat dihadapkan pada hal yang paling mendasar, warisan.


Sila Kelima. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia | Adriyanto Dewo. Pengorbanan seorang Ibu yang harus menerima kenyataan pahit saat menemukan kedua anaknya harus disidang karena pencurian.


 **


Sungguh, upaya film ini untuk membangkitkan kembali lima sila sangat patut diapresiasi. Apalagi di tengah-tengah maraknya pemberitaan negatif di media tentang ancaman persatuan dan kesatuan di Indonesia. Karenanya, saya sedih saat mendapati bioskop yang kosong tempo hari. Hmm.

Dipikir-pikir, film-film yang sarat muatan dan cukup 'nyentil' seperti ini memang tidak sering mendapat panggung terlalu 'megah' di tanah air. Sekala Niskala, Jelita Sejuba, Turah, Istirahatlah Kata-Kata, Ziarah, bahkan film Lima ini. Ironisnya, semuanya justru lebih 'berjaya' di negara asing. Hmm semoga saja ini hanya asumsi asal saya, ya.





Sekalilagi, terimakasih @warganegara_org atas traktirannya! It's mind-blowing, surely.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar