Minggu, 13 Januari 2013

It will rain





"Jadi...?"

Nada ini menggantung di udara. Meninggalkan berkas-berkas di sela-sela embun sisa hujan.
Dia menahan napas. Kamu menahan napas. 
Kenapa justru napas yang kalian pertahankan?

"Jadi..."
"Jadi...sudah. Sudah saja. Sampai disini saja."

If you ever leave me, baby,
Leave some morphine at my door

Orang-orang mulai berlalu-lalang. Terminal ini mendadak menjadi begitu sibuk luarbiasa. Kamu disana. Dia terdiam disana. Sama-sama memegang cola yang bahkan tak terteguk sedikitpun. Berantakan dengan pikiran masing-masing. Pikiran yang mungkin sudah tidak menemukan titik temu. Aku disini, memandang kalian. Dengan kasihan, dengan kesal, dengan kecewa.
 
'Cause it would take a whole lot of medication
To realize what we used to have,

Final boarding.
Aku tahu, kamu menyimpan kata-kata yang tidak tersampaikan. Sudut-sudut matamu mulai panas. Menggenang kesal. Tapi kenapa kamu tak juga berucap? Hei! Dia disana!

Travel bag yang membosankan dan seakan membuncah keluar menolak ikut. Lalu-lalang yang kian sesak. Cola yang terabaikan. 

"Aku berangkat..."

Kamu masih saja diam. Aku disini benar-benar gemas melihatmu. Hingga suara roda travel bag yang beradu dengan lantai berlalu, dan kamu hanya diam. Diam.

To realize what we used to have,
We don't have it anymore

Kamu tahu, rasa sakitmu ternyata baru terasa setelah dia benar-benar pergi, kan? Lebih pedih dan bernyawa, dalam keheningan diam.

 **

"Hai. Saya Abdi. Salam kenal."
"Salam kenal."
"Mulai hari ini saya akan asistensi. Mohon bimbingannya."
"Oh."

Hei kamu, kamu yang disana. apa kabar? Aku rindu.

Ups. Aku seperti mendengar sesuatu? Apa itu? 

Hssssh.

Suara angin berdesir.
Oh, aku salah dengar.

"Mbak, untuk jadwal hari pertama ini, nantinya--"

And just like the clouds
My eyes will do the same, if you walk away

Sudah lama ya, ternyata. Apakah kamu baik-baik saja disana? Sehat? Tambah gendut? 

Duh, nampaknya pendengaranku harus dipertajam. Akhir-akhir ini aku sering berhalusinasi mendengar kamu 'berkata'.

"MBAK?"
"Oh! Maaf... Bagaimana? Ayo, kita makan dulu."
"Mbak?"
"Ya?"
"Diluar hujan, Mbak..."

Everyday it'll rain
 
** 

"Prambanan, yuk!"
"Nggak mau. Nanti putus."
"Nggak! Nggak akan."
"Aku takut. Nggak mau putus."
"Nggak. Semua akan baik-baik saja. Nanti kita ke Prambanan. Tapi setelah itu ke Boko. Konon, kalau pasangan ke Boko, nantinya akan langgeng. Mau ya?"
"Ng..."
"Ayolah. Semua akan baik-baik saja. Aku masih disini, kok. Di depanmu. Ya?"
"Hmm... iya deh."

Ingat?

**

"Maaf. Aku salah."

Kamu diam. Dia diam. Lama-lama aku menebak kalau diam adalah cara berkomunikasi kalian. Tanpa kata-kata. Mirip seperti dukun. Barangkali kalian juga merapel mantera satu sama lain, eh?

"Iya."

So keep in mind all the sacrifices I'm makin'
To keep you by my side
To keep you from walkin' out the door.

**

"Undangane wis disebar, cah ayu?"
"Sampun, Bu."
"Wis kabeh?"

Kamu, seperti hobi lamamu, cuma bisa tercenung. Semenit, dua menit.

"Nduk?"
"Eh--nggih, Bu. sampun. Sampun sedaya."

But they're just afraid of something they can't understand
Ooh, but little darlin' watch me change their minds

**

Sepucuk undangan. Marun. Warna yang sempat pernah 'disepakati' oleh kalian. Mendarat di atas tumpukan buku tebal dengan tenang. Tanpa mengharapkan seorangpun untuk membukanya. 

Kamu tahu? Kemarin aku sempat melihatnya diam dengan undangan bersampul cantik itu di tangan. Sementara sebotol wine dan berbatang-batang rokok menemani. Menimang dan menimang. Namun, lagi-lagi, barangkali dugaanku benar, kalian memang berbahasa dengan diam.

Mungkin, pada akhirnya aku baru akan belajar memahami arti 'diam' mu sekarang. Diam untuk memberinya waktu 'berbicara'. Dan diam mu benar. Seolah-olah benar. Dia, sekali lagi, sama sepertimu. Dia lebih suka berbahasa dalam diam. Kalian. Kamu dan dia.

'Cause there'll be no sunlight
If I lose you, baby

**

"Saya terima nikahnya, Rea Satyaputi binti Ahmad Prasetyo, dengan seperangkat alat sholat dan mas kawin, dibayar tunai."
"Sah?"
"SAH."

Pesta ini pesta yang meriah. Dihiasi oleh rekahan senyuman setiap tamu, setiap kerabat, setiap sahabat, setiap keluarga, mempelai...tunggu. 
Tidak semua mempelai, salah satu mempelai. Kamu...ah, lagi-lagi. Kamu memilih diam seperti patung yang dipaksa bernyawa. Menolak tertawa.

Tunggu,

Hei, hei. Kamu, kamu yang menjadi ratu sehari ini. Bisakah kamu melihat sosok yang terlindung aman di dalam kerumunan ujung buffet dessert
Dia. 
Dia yang kamu tunggu dalam diam.
Yang kini menatapmu juga tidak kalah diam.

Sekarang aku tanya padamu, apakah dalam diam dan di hati kalian terasa nyaman?

I'll pick up these broken pieces 'til I'm bleeding
If that'll make it right

** 

Aku?
Yah, aku cuma suatu definisi perasaan bernama cinta yang kalian abaikan begitu saja, dalam diam.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar