Senin, 21 Januari 2013

Mentalitas itu...



Setiap orang punya pilihan masing-masing, kan?

**

24/7

Semua aspek hidup, bisa jadi kini menjadi deadline. Semua mendadak menjadi tenggat waktu yang (kadang) tidak berperikemanusiaan. Dan pada akhirnya, orientasi manusia tentang sukses terkadang hanya perkara mobil mewah, rumah megah, karir wah. 
Sah sih, dan pilihan kok. Tapi, esensinya seharusnya bisa lebih dari itu.

**

"Sudah beres?"
"Sudah, Pak."

Bos, di suatu pagi.

Pertanyaan itu sudah seperti mantera, yang agaknya wajib saya jawab secara gemilang. Pekerjaan saya, tidak ubanhnya seperti kotak kejutan di setiap pagi. Saya tak pernah tahu akan menjadi apa hari saya, tidak tahu akan ada masalah apa di setiap detiknya. Pikiran dan perasaan, adalah hal yang paling susah didefinisikan dan ditebak. Dan disinilah saya berada, diantara dua kepentingan yang lebih sering berseberangan. 

Apakah saya tahu tantangan saya, pada akhirnya, adalah seperti ini?
Tidak.

**

"Sebagai seorang human capital, sudah seharusnya kita harus memiliki kode etik dan integritas yang tinggi."

Seorang dosen pada suatu mata kuliah, di suatu sore.

Bertahun-tahun lalu, saat menjadi mahasiswi, otak saya dipenuhi teori ideal untuk menjadi seorang human capital. Bagaimana saya harus menjadi profesional. Kalau bisa, mungkin, membela kepentingan yang 'tertindas'. Dan dalam otak saya, kaum tertindas tentu saja golongan staf, yang 'diinjak-injak' perusahaan. Pada saat itu, misi mulia saya adalah bagaimana saya membela kepentingan kaum-kaum tersebut. Mutlak, tanpa melihat jalinan masalah dan titik tolak mulanya. Hanya beralaskan emosi dan empati semata.

Saya, beberapa tahun yang lalu.

**

Hampir dua tahun saya berada di suatu perusahaan, membuat saya belajar banyak. Teramat banyak dan tidak terhitung. Sarjana, tidak lagi melulu perkara memegang idealisme--maaf. Saya mengalami jetlag idealisme, saat bekerja untuk pertama kalinya. Netral diantara dua kepentingan bawah dan atas, jujur saja, itu bukan perkara mudah, kawan. 

Berpolitik cantik. 

Hal itu, terus terang tidak digambarkan secara gamblang di bangku kuliah. 

**

Ada beda mendasar menjadi mahasiswa dan pekerja, atau bahkan wiraswasta.
Dan setiap pribadi memiliki ceritanya.

Ketika seseorang menjadi mahasiswa, mau tidak mau ada 'kertas' putih yang akan dibentuk dalam tahun-tahun di bangku kuliah. Membangun mindset, kemampuan penyampaian aspirasi. Hingga lulus dan menjadi sarjana. Dan beranjaklah seseorang itu ke dunia kerja. Idealisme yang membentuk kumpulan ego, ego jiwa-jiwa muda yang haus akan 'pengakuan' dan 'eksistensi', mau tidak mau akan bertransformasi dengan sendirinya. 
Gampangnya, ketika ego idealisme itu melebihi realita, mungkin seseorang hanya bertahan selama satu dua tahun di suatu perusahaan. Dengan alasan beragam, mulai dari gaji yang kurang, atasan yang diktator otoriter, lingkungan kerja yang tidak representatif, sistem yang berantakan, fasilitas yang kurang memadai. Banyak. Hingga seseorang lebih suka menjadi kutu loncat. Namun juga tidak selalu seperti itu, orang bertahan lama adalah karena dia bahagia, belum tentu. Namun bisa jadi karena masalah zona nyaman.

Beda cerita juga ketika saya, yang pusing luarbiasa di bulan-bulan awal bekerja. Idealisme saya carut marut 'dihajar' budaya perusahaan. Tidak terhitung berapa malam begadang, otak terkuras, badan terperas. Hingga suatu ketika saya ngobrol dengan bos saya, 

"Tugas kamu agak keteteran, apa ada yang kamu pikirkan?"
"Ng, nggak Pak."
"Yakin?"
"Iya, Pak..."

Lalu bos saya tersenyum, dan melanjutkan kata-katanya,

"Semua adalah proses belajar. Berproses. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak bisa menjadi bisa. Seiring usia, suatu ketika kamu akan paham kenapa 'politik' dalam bekerja itu diperlukan. Minimal, cobalah percaya dulu terhadap atasan kamu. Saya, menjadi bos bukan karena saya pintar, atau hebat. Ini hanya perkara saya yang 'lebih dulu' terjun ke bidang ini dibanding kamu..."

Bos saya sebenarnya bukanlah orang proses. Dia orang hasil. Diapun merestrukturisasi idealismenya, menjadi lebih adaptif. Dan empati.

"Oya..."
"Ya, Pak?"
"Cita-cita kamu apa?'
"Saya...ingin jadi pengusaha, Pak."
"Nah, ini adalah jalan awalnya. Kamu harus bisa belajar menjadi bawahan dulu, tahu rasanya dipimpin, baru pada akhirnya kamu akan belajar cara memimpin."

Suatu sore, ketika otak saya dipenuhi deadline dan merasa merana karena idealisme saya 'hilang'.
Rupanya, idealisme saya tidak hilang. Namun--seperti kata bos saya--ia bertransformasi, menjadi bentuk idealisme yang lebih pragmatis.

**

"Sudah berapa lama kerja disini?"
"Hampir dua tahun."
"Nggak bosen?"
"Nggak."
"Tugasnya banyak?"
"Tak terhingga."
"Wah, pasti gajinya besar!"
"Buat saya, ada hal yang lebih penting dari sekedar gaji."
"Mana ada?"
"Ada."
"Apa?"
"Mentalitas untuk terus belajar dan berproses."









*catatan ayam, teruntuk ECC UGM :) Saya bangga, menjadi bagian almamater Gadjah Mada...






Tidak ada komentar:

Posting Komentar