Selasa, 09 Agustus 2016

A habit






Unhappiness : When you choose not to have any other choices in life. Happiness : When you choose to – always – have choices in life



Mengerjakan apa yang tidak disukai--pada suatu titik--dapat menjadi begitu mengesalkan. Ya. Super mengesalkan. Waktu rasanya benar-benar dibatasi dan... entahlah. Ini saya alami sekitar beberapa bulan lalu. Saya mendadak 'tercemplung' di suatu rutinitas yang sungguh saya hindari dan benci selama ini. Nyaris tiap hari saya menunggu suami pulang sekedar berkeluh kesah A-Z tentang betapa buruknya hari itu, betapa chaos nya case-case absurd itu. Hingga suatu titik, saya capek dan bosan, dan pada akhirnya mulai menerima : ya sudahlah.

Time goes by. Rutinitas saya masih sama. Kerusuhan intelektual yang muncul masih belum berubah (halah). Dan case yang timbul berada pada pusaran masalah serupa. Namun rasa muak itu sedikit sedikit mulai tergantikan ritme. Konyol sih, untuk berubah maka seseorang memang hanya memerlukan konsistensi (#fakta). And, here I am


**


Saya ingat, seorang sahabat masa galau saya sebelum menikah--sebut saja C--terkadang memiliki pemikiran absurd di awang-awang. 


"Hei, ayo kita bikin challenge, duapuluhsatu hari berpikir positif!"
"Kenapa kudu duapuluhsatu hari?" saya tak paham
"Entahlah, ikut-ikutan campaign nya Peps*dent saja, duapuluhsatu hari memelihara kebiasaan baik."


Oke, saya lupa berapa hari tepatnya yang dimaksud. Namun ajakan dia sangat mengena. Tidak sekedar berpikir positif, hal apapun, sekiranya ingin menjadi habit, maka akan selelu memerlukan waktu hingga mendarah daging dalam keseharian.
Persis yang dijelaskan dalam buku The Power of Habit nya Charles Duhigg (yeah, saya membeli bukunya hanya karena cover nya yang 'cemerlang' namun menyerah ketika baru masuk halaman kesepuluh--permasalahan anak visual ketika hanya melihat deretan kalimat :D). 








Saya--yang awalnya denial luarbiasa mendapati rutinitas baru yang bukan saya banget. Efek ke badan juga lumayan : nafsu makan 'sedikit' menurun, lingkaran bawah mata tampak, kucel parah, dll dll. Namun yang namanya badai pasti berlalu. Dan memang akan selalu ada kali pertama hingga menjadi kebiasaan. Lalu apa yang saya lakukan selain 'hanya' denial? Yah, pada akhirnya saya menambahkan sedikit antusiasme dan secuil passion saya dalam rutinitas rrrr ini. Well, it works. Minimal, membuat saya terjaga alih-alih kelesotan di mushola saking mumetnya.






Ya ya ya, kita memang tidak bisa selalu menjadi Superman, kok. Jadi kendurkan bahu, pejamkan mata sejenak, dan tarik napas dalam-dalam. Satu dua katarsis nampaknya tidak masalah lah, ya :)





note : thx anw, to Rene S via Impact Factory. Posting nya ini benar-benar mirip tepukan di bahu. And yes, you're still my favourite Coach!












Tidak ada komentar:

Posting Komentar