Bagi saya, limatahun berada di rantau akan selalu menyisakan homesick saat jauh dari rumah. Beberapa orang mungkin akan dengan cukup mudah sekedar mengambil cuti dan kabur sehari-dua hari untuk pulang ke kampung halaman. Sayangnya, dalam case saya tak semudah itu.
**
Jantung saya serasa ingin meledak, saking berdebarnya. Kereta api Senja Utama sudah mulai langsir di stasiun Lempuyangan. Sekedar menunggu sekian menit hingga kereta benar-benar berhenti rasanya sangat menyebalkan. Buru-buru mengambil tas bawaan yang sengaja setengah terisi, sembari jari sibuk mengetik pesan singkat ke Adik yang rencananya akan menjemput.
"Mbak!"
Adik saya melambai di kejauhan. setengah berlari saya sibuk ber permisi ke beberapa orang yang sedikit lambat jalannya.
Jogja!
Mengendarai
motor ke rumah, sepanjang perjalanan saya menghirup udara dengan rakus,
seakan di Bekasi jenis udaranya berbeda. Yah, memang beda. Ini--bagi
saya, adalah udara kebahagiaan!
"Lewat mana, Mbak?"
rupa-rupanya Adik tahu kakaknya ingin nostalgia.
"Lewat Kotabaru dong, Yan."
Jadilah
Adik membelokkan motor ke arah Kotabaru, melewati Padmanaba yang
tersohor (dalam hati saya menelan ludah, kangen nasi goreng kambing
Padmanaba!) - Kridosono - Flyover Lempuyangan - dan seterusnya - dan
seterusnya. Yayaya, Jogja memang selalu membawa kenangan. Sekedar
menyusuri jalannya pun sudah menjadi kesenangan.
"Nanti malem mau kemana, Mbak?"
"Ke Jalan Kaliurang yuk, cari cemilan-cemilan aneh." jawab saya.
**
Di depan saya ada semangkuk mie dhok dhok (sejenis kreasi Indomie rebus spicy dan tasty--yang anehnya selalu terjaga panasnya sehingga efeknya super hot di bibir, lidah, dan tenggorokan) serta segelas es teh tawar. Pukul 22.00, dan saya sedang duduk bersama Adik menikmati sajian itu di sebuah warung burjo (bubur kacang ijo) khas aa' Sunda. Di sekeliling kami penuh oleh pemuda-pemudi, saya tebak sebagian besar mahasiwa.
Namun malam itu pikiran saya lebih banyak melayang. Bukan, bukan karena rasa mie dhok dhok yang sedikit berubah sejak terakhir saya menyantapnya jaman kuliah. Bukan.
Warung
burjo itu terletak di kawasan Klebengan--daerah di seputaran Teknik
UNY. Sebelum sampai warung burjo, saya meminta Adik melewati jalanan
Jalan Kaliurang. Dan entah kenapa, sebersit rasa sedih muncul. Daerah
utara Yogyakarta ini sudah berkembang dengan pesat, teramat
pesatnya. Seakan semua pusat keramaian berpindah ke daerah ini. Yah,
sangat menguntungan secara ekonomi. Namun melihat kiri-kanan jalan
dipenuhi oleh billboard iklan yang super semrawut... itu bukanlah jenis
pemandangan yang cukup estetis untuk saya lihat.
"Nanti kita nonton di Mall B aja, Mbak. Seru deh, bagus." perkataan Adik menyadarkan saya dari lamunan.
"Eh, mall baru? Dimana?"
"Nanti aku tunjukkin. Sekarang Jogja banyak mall nya. Gede-gede."
Well,
another surprise. Sebutlah saya udik, namun perkataan Adik bukanlah hal
yang menyenangkan untuk saya dengar. Tanpa saya sadari, mendadak saya
menjadi protektif terhadap kota yang membesarkan saya ini.
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja
Jadi begini rasanya, sedikit patah hati.
**
Kota
ini telah bertransformasi, menjadi kota penuh gaya. Memanjakan mata,
menyuarakan harapan. Dan dalam hati saya berdoa, semoga konsistensi yang
kerap saya dengar saat masih kecil dari seorang Paduka Raja Sri Sultan
akan senantiasa terpelihara : tidak ada bangunan yang lebih tinggi dari
Hotel Ambarukkmo, atau daerah Selatan dijanjikan tak akan tersentuh oleh tangan - tangan pengembang bisnis properti spesialis pusat perbelanjaan macam mall. Konon begitu, entah benar atau tidak.
Semoga
cukup daerah utara saja yang menjelma gemerlap mewah, dan
biarlah daerah lainnya tetap tampil apa adanya, sederhana dan bersahaja,
laksana priyayi Jawa.
Jogja.. Jogja.. tetap istimewa…
Istimewa negerinya… istimewa orangnya…
Jogja.. Jogja.. tetap istimewa..
Jogja istimewa untuk Indonesia…
Rungokno iki gatra seko Ngayogyakarta
Negeri paling penak rasane koyo swargo
Ora peduli dunyo dadi neroko
Ning kene tansah edi peni lan mardiko
Tanah lahirkan Tahta, Tahta untuk Rakyat
Di mana rajanya bersemi di kalbu rakyat
Demikianlah singgasana bermartabat
Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat
Memayu hayuning bawono
Seko jaman perjuangan nganti merdeko
Jogja istimewa bukan hanya daerahnya
Tapi juga karena orang-orangnya
Tambur wis ditabuh suling wis muni
Holopis kuntul baris ayo dadi siji
Bareng poro prajurit lan senopati
Mukti utawa mati manunggal kawulo gusti
Menyerang tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Kesaktian tanpa ajian
Kekayaan tanpa kemewahan
Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi
Tradisi hidup di tengah modernisasi
Rakyatnya njajah deso milang kori
Nyebarake seni lan budhi pekerti
Elingo sabdane Sri Sultan Hamengku Buwono Kaping IX
Sak duwur-duwure sinau kudune dewe tetep wong Jowo
Diumpamake kacang kang ora ninggalke lanjaran
Marang bumi sing nglahirake dewetansah kelingan
Ing ngarso sung tulodo
Ing madya mangun karso
Tut wuri handayani
Holopis kuntul baris ayo dadi siji
Sepi ing pamrih rame ing nggawe
Sejarah ning kene wis mbuktikake
Jogja istimewa bukan hanya tuk dirinya
Jogja istimewa untuk Indonesia
---Jogja Hip Hop Foundation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar