Sabtu, 13 Agustus 2016

Hai, Pria Mungil Ibu









Prajna Abhirama Wibowo,


Pukul 11.12, dan seperti biasa Ibu masih terjaga gara-gara efek insomnia yang tak kunjung pergi. Dan mendadak, Ibu ingin menuliskan ini,


Hai, pria mungil Ibu,
Malam ini Ibu menatapmu yang sungguh pulas tertidur sambil sesekali teriring napas bergerak lembut.

Hai, pria mungil Ibu,
Entah sudah berapa ratus hari berselang sejak pertama kali mendengar suara tangismu. Bahkan rasa sakit pun hilang digantikan haru luarbiasa. Oya, tahukah kamu bahwa lutut Ibu sangat lemas saat kamu terlahir ke dunia dan mengeluarkan suara bersin pertama?

Hai, pria mungil Ibu,
Ibu tahu, Ibu bukanlah Ibu yang sampurna. Amat sangat jauh dari sempurna, malah. Kadang bekalmu terlalu asin, terkadang Ibu hanya sempat membelikanmu bubur untuk sarapan, atau kadang Ibu terlambat menjemput sementara sahabatmu sudah pulang lebih dulu. Namun tahukah kamu, Ibu selalu merasa bersalah setiap kali itu terjadi. Setiap ada hal tak kurang mengenakkan yang terpaksa kamu alami. Sementara kamu berhak mendapatkan semua bentuk kebahagiaan yang sempurna sampai nanti.

Hai, pria mungil Ibu,
Namun Ibu berjanji, Ibu akan mendukungmu sampai kapanpun. Dimanapun dan menjadi apapun kamu akan berlabuh atau menjadi. Ya, mungkin saat itu Ibu akan sangat sedih, karena kamu bukan pria mungil Ibu lagi.

Hai, pria mungil Ibu,
Kelak jadilah pria yang terbaik yang bisa seorang perempuan temukan. Dan jadilah imam terbaik yang bisa kamu lakukan, untuk istri dan anak-anakmu kelak. Bisa berjanji ?

Hai, pria mungil Ibu,
Terimakasih telah selalu menemani hari-hari Ibu. Dengan tawa, dengan tangisan, dengan celoteh riang. Karena saat ini tak akan menjadi begitu berarti, tanpa kamu.


Hai, pria mungil Ibu,
Ibu sayang kamu.






 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar