Selasa, 02 Agustus 2016

Psychology, for God's sake!




Malam ini saya sibuk mengingat-ingat, apa sebenarnya yang saya dapatkan dalam tiga setengah tahun masa kuliah saya? 
Dan konyolnya, jawaban yang berbisik dalam batin saya adalah : belum banyak.



**



Saat itu hari pertama kuliah saya. Entah lupa apa tepatnya mata kuliahnya, namun yang jelas ada seorang dosen yang menanyakan sebuah pertanyaan :

"Kenapa ambil kuliah Psikologi?"

Rata-rata jawaban yang muncul adalah jawaban klise. Termasuk saya, yang baru beberapa saat kemudian mencerna kembali apa (yang mungkin) yang saya sampaikan. 


Psikologi, di universitas saya adalah fakultas dengan passing grade tinggi untuk ukuran bidang sospol humaniora. Keren sekali rasanya, melihat alumnus Psikologi menjadi seorang Psikolog/Psikiater/konsultan. Saat itu, ya. Nah, apakah sarkasme itu kemudian muncul karena saya tidak menjadi salah satu dari ketiganya? Maybe yes. Maybe no.



**


 
Bukan sekali dua kali saya mendengar orang-orang berkata (yang mungkin sudah beberapa kali pula saya posting pada posts sebelumnya),

"Dulu saya juga mau masuk Psikologi."
"Saya suka ilmu Psikologi, belajar memahami orang."
"Psikologi seru, bisa belajar membaca orang."


Yang sesungguhnya saya rasakan adalah,

Pada akhirnya saya diberikan jalan mempelajari Psikologi, secara teoritis. Dan saya diberi kesempatan mempelajari sekaligus memahami--anehnya, bukan mempelajari orang lain--namun mempelajari diri sendiri. Saya belajar membaca diri sendiri. Belajar sisi mana yang mampu memicu sisi tergelap saya, atau bahkan mengoptimalkan potensi pribadi yang terkadang timbul tenggelam. Kesannya ala ala idealis sekali yak? Hahaha. Namun fakta itulah yang saya temukan. 

Mempelajari bahkan memahami diri sendiri jauh jauh jauh lebih sukar daripada sekedar mendengarkan curhatan keluhkesah duapuluhempatjam ataupun memberikan sederet wejangan ini itu. Mempelajari psikologi, bagi saya--lebih seperti mengobati diri sendiri, dari apapun. 



**

 

Pertanyaan ini sempat tercetus dalam diri saya saat mengikuti kuliah Psikologi Abnormal, di suatu sore hujan di lantai dua. Kami diberikan buku pedoman bernama PPDGJ (monggo di search kalau penasaran, hehehe) berisikan daftar lengkap gejala ataupun simptom 'penyimpangan' diri. Well, nyaris dalam diri--sebersih apapun--hampir pasti memiliki sisi abnormal. Namun terkadang berada dalam range yang variatif antarpribadi. Entah mengalami represi, ataupun justru terekspos. Dan sedikit banyak mempelajari psikologi, membuatmu memiliki pemakluman dan empati yang tidak biasa. Bisa dikatakan berlebihan? Bisa jadi.

Psikologi memang ilmu yang--yah, undefined. Beberapa orang beranggapan bahwa hal non eksak seperti psikologi terkadang tidak masuk di logika. Terlalu absurd untuk dipahami secara biasa. Namun dalam perspektif saya, terkadang ada hal-hal tertentu di luar nalar yang mendasari suatu tindakan, kok. Karena toh, komponen setiap manusia memang terbagi menjadi perasaan dan logika,kan?




Unexpressed emotions will never die. They are buried alive and will come forth later in uglier ways -- Sigmund Freud












Tidak ada komentar:

Posting Komentar