24 jam dalam sehari. 7 hari dalam seminggu.
***
"Oke sayang, sudah dulu ya... Mau meeting nih. Nanti aku sambung lagi ya! Love you."
"Tapi--"
Klik.
Nanti aku sambung lagi. Itu berarti sehari kemudian. Atau mungkin dua hari kemudian.
Hari pertama, ke-dua, ke-tiga, ke-empat, ke-lima, dan ke-enam, bahkan ke-tujuh dalam satu minggu.
***
Menumpuk berkas tinggi-tinggi. Dengan harapan aku bahkan tak bisa melihat jam yang terpampang besar-besar di depan muka. Untuk apa? Agar aku lupa. Ini sudah masuk jam istirahat.
Semua line komunikasi. Semua tanpa terkecuali. Memisahkan diri dari udara luar, dengan tegas masuk ke dalam laci rapat-rapat. Serapat hati yang dijaga agar tidak terlalu keras terikat hingga remuk, ataupun terlalu halus hingga lolos meluncur mulus. Aku, memperlakukannya mirip seperti porselen cina di pecinan. Cantik, terjaga, berkelas, tanpa mengijinkan jari manapun menyentuh. Namun ketika benda itu mencapai jemari, baru sadarlah mereka, ini porselen cina di pecinan dengan harga mahal. Mahal dan tak bisa diperlakukan sembarangan.
Menghembuskan napas dalam-dalam, menjaga sesuatu yang hampir saja terjatuh di sudut mata. Inhale-exhale. Mirip ibu-ibu muda di rumah sakit tempo hari yang hendak melahirkan. Inhale-exhale. Barangkali sudah hampir bukaan ke-lima, enam, tujuh! Ini adalah bom waktu yang ingin segera dilahirkan.
Oke. Profesional.
Satu. Dua.
"Hei, ayo! Makan dimana kita siang ini?"
***
Ada yang bilang, setiap orang punya banyak kepribadian. Dual personality. Atau...multiple personality.
Kelainankah?
Tanya seseorang di suatu hari yang panas.
Dalam hati aku tak sepakat. Nike Ardilla jelas-jelas tahu, bahwa hidup ini adalah panggung sandiwara. Akupun, memainkan peran dalam panggung sandiwara itu. Hm... kalian keberatan? Oke, aku perhalus. Aku, punya banyak kepribadian yang aku mainkan di setiap scene dalam hari-hariku.
Di lapangan, kita memiliki cara masing-masing untuk bisa memenangkan pertandingan. Setiap bola yang datang, memiliki trik berbeda untuk menghalaunya. Sama saja. Aku hanya mencoba menyesuaikan setiap bola yang digulirkan, menyambutnya dengan tendangan bebas, namun bisa jadi mendadak berubah menjadi tendangan sudut, lalu pinalti, selama bukan off side. Seperti peran yang sedang aku mainkan di siang terik, kali ini sebagai diriku sendiri.
"How's life?"
Sebuah prolog basa-basi seorang teman. Yang rutin mengkonsumsi cerita yang aku perankan setiap hari. Tiga kali dalam sehari. Selayaknya minum obat.
"Oranye."
Oranye. Adalah warna yang aku gunakan untuk mengilustrasikan detik ini sebagai hasil akhir. Mewakili multikilosekon sebelumnya.
"Belum akan menjadi merah, kan?"
Bahkan tiramisu di depan ini tampak lebih buruk daripada kotoran kuda di pinggiran jalan.
"Akan. Segera."
Bagi kebanyakan orang, mungkin ini adalah saat yang paling pas untuk sekedar merunduk, atau bahkan berlari menjauh mencari bala bantuan. Namun seseorang di depanku tidak. Dia menunggu. Seakan-akan dia adalah penjinak bom terhebat yang khusus diturunkan pasca insiden 9/11.
3 kali dalam sehari. 21 kali dalam seminggu.
***
" ... "
" ... "
" ... "
Semakin lama, aku semakin mahir bahasa kalbu. Bicara dalam diam. Tidak dengan seseorang yang tak kalah diamnya di ujung telepon, namun dengan diriku sendiri. Menjadikan aku menjadi sedemikian intens dengan diriku, bukan dirinya. Ini deja vu.
Tuhan, tolong kirimkan seseorang yang bisa menemaniku setiap detik, tanpa harus aku yang lebih dulu memahaminya...
Multigigasekon. Dan masih bertahan disini.
Omong-omong, diluar hujan cukup deras. Hari ini adalah hari ke-enam dalam satu minggu. Dan warnaku tidak beranjak dari oranye.
***
Senin-Selasa-Rabu-Kamis-Jumat-termasuk Sabtu-dan Minggu.
Pukul tujuh pagi hingga duabelas siang.
Duabelas siang yang berpindah hingga angka lima sore.
Lima sore menggerus rotasi. Dan sepuluh. Sebelas. Dua belas malam.
Dua belas malam yang menjelma menjadi subuh yang teduh.
Resmi sudah sebuah benda yang menemaniku lebih darimu, hanya bisa berfungsi sebagai benda mati. Tak berfungsi. Sunyi.
Tampaknya ada tumpukan lemak yang mulai menggantung disana-sini. Hmm. Dan...apa ini? Kamar ini lebih mirip kapal pecah sisa pembajakan. Apakah hanya perasaanku saja?
Seseorang mengetuk daun pintu dengan cukup keras di luar sana. Giliran daun telingaku mendekat.
"Hei, sesi ketiga dalam hari ini. Secangkir kopi?"
Tok.
Aku membalas seruan dari luar sana dengan satu ketukan.
"Apa warnanya?"
Dasar, tetap saja dia berseru.
Tok. Tok.
Aku menjawab dengan ketukan berikutnya. Yang artinya :
Belum beranjak, dari oranye. Dan sedikit bergeser menjadi kemerahan.
"Oke."
Well, tampaknya dia benar-benar penjinak bom waktu.
***
24 jam dalam sehari. 7 hari dalam seminggu.
3 kali dalam sehari. 21 kali dalam seminggu.
Aku masih berharap, bom waktu ini masih memiliki penjinak yang handal. Dan jangan sampai itu adalah dia, bukan kamu.