“Hidup itu seperti menimba air… Ke atasnya susah, tapi untuk menjatuhkannya—kamu hanya perlu melepaskan tanganmu.”
“Maka aku lebih suka melepaskan tanganku.”
**
“Americano, satu.”
“Tunggu sebentar.”
“Jujur, aku benci orang botak. Kepala mereka—sangat mudah untuk dijitak, tepatnya, menantang untuk disepak. Tahukah kamu?”
“Tidak.”
“Aku juga benci kopi. Kopi itu seperti selapis topeng. Aromanya yang harum dan sedikit menusuk. Membuat semua orang bertahan begitu lama di tempat seperti ini, demi satu cup kopi. Padahal lidah mereka jelas-jelas merasakan getirnya.”
“Toh, kamu bertahan disini. Dan kamu, memesan Americano. Seperti kebanyakan mereka.”
“Aku hanya mengikuti apa yang disebut orang dengan umum—kebanyakan. Aku tak mau menjadi aneh. Hei, apa yang kamu benci?”
“Aku benci orang berambut ikal.”
“Aku dong?”
“Mereka—tidak punya kegiatan selain mengikal rambut sepanjang hari. Menghabiskan waktu luang yang mereka punya untuk memutar-mutar rambut dengan alat panas, alih-alih bersyukur.”
“Bagus, berarti kita saling membenci.”
**
“Sial!”
“Kenapa?”
“Sekalipun, aku tak pernah berhasil membuat kopi yang enak! Gilingan kopiku pasti tampak aneh.”
“Karena kamu membencinya.”
“Tapi aku butuh pekerjaan ini.”
“Butuh, dan cinta—adalah dua hal yang berbeda.”
**
“Kenapa kamu berhenti?”
“Apakah kamu tak bisa melihat? Kini, kepalaku sama sepertimu. Tanpa penutup apa-apa. Kemo ini menghancurkan hidupku.”
“Mana? Masih ada topi rajut itu di kepalamu…”
“Aku ingin menjitak kepalamu.”
“Demikian pun aku.”
“Jangan datang lagi. Aku benci kamu.”
“Aku tak akan datang lagi.”
**
“Apa itu di kepalamu??”
“Ini rambut ikal.”
“Tapi kamu membencinya. Kamu menghabiskan waktu untuk mengikal rambut palsu itu.”
“Kamu—menghabiskan waktu untuk membenci kepala botakmu yang baru. Tidakkah kita sama? Aku akan bertukar peran denganmu.”
“Dengan wig ikal itu kamu lebih mirip banci.”
“Dengan kepala botakmu itu kamu lebih mirip rekan baristamu yang selalu ingin kau jitak.”
“Kamu gila. Aku sudah bilang, kamu jangan datang lagi. Aku benci kamu.”
“Kamu bilang—kamu benci aku, yang berkepala botak. Kini, aku tak lagi botak. Kamu yang botak.”
“…”
**
“Kamu datang lagi?”
“Ya.”
“Aku nyaris selalu mengusirmu sepanjang hari.”
“Sudah aku bilang. Tak ada alasan untukmu membenciku. Rambutku ikal.”
“Itu wig.”
“Kamu tak pernah bilang membenci wig.”
“Kamu—membenci rambut ikal. Wig itu ikal. Kamu harus mengikalnya sesekali. Kamu membencinya.”
“Pelajaran bahasa Indonesiamu mengenai premis pastilah mendapat nilai sempurna.”
**
“Aku menyerah. Tenagaku habis. Aku capek pura-pura aku kuat. Tapi aku lemah.”
“Kamu tak boleh menyerah.”
“Aku bahkan tak bisa mengikal rambutku.”
“Nih, pakai wig-ku.”
“Aku akan membencimu ketika kau tanpa wig.”
**
“Aku mengingat dengan jelas setiap kalimatmu. Aku, lebih suka melepas tanganku. Karena rambutku sudah botak, maka kita impas. Dan aku siap bergumul dengan tanah. Terimakasih, my baldy ballad.”
Odin membaca sekilas tulisan di atas tisu bekas itu, tertulis kasar dengan bolpoin hitam.
“Terimakasih, Nak. Wig ini telah menemaninya di sisa hari.”
Selamat jalan, Sya—si ikal pembenci kepala botak dan kopi.
meninggal deh,,,btw ini apo???
BalasHapusngopo meneh bu guuru??
BalasHapus