Rabu, 22 Juni 2011

Sesederhana Kata Sederhana


“Ketika aku lebih gendut dari sekarang apakah kamu masih sesayang ini sama aku?”

Sepatah kata di atas, yang main sering kamu ucapkan. Sedangkan aku, masih menganggapnya sebagai retorik saja.

“Ketika kamu lebih gendut daripada ini, ketika bahkan kamu syok mendapati berapa banyak lemak dan kolesterol yang tertimbun ‘tanpa sadar’ di perutmu yang buncit, aku masih sayang kamu. Sesederhana itu jawabanku.”

Nyaman, adalah perasaan yang tak akan bisa tergantikan oleh apapun. Tidak oleh perut yang lebih sixpack, tidak oleh set basic koleksi Armani, tidak oleh apartemen mewah dengan spot strategis, tidak oleh hal-hal yang dianggap umum sebagai ‘nyaman’.

Nyaman, adalah bagaimana aku merasa bahwa hanya dengan memeluk, sekalipun di atas perutmu yang buncit, aku tahu bahwa semua hal yang berputar-melilit-menjatuhkan-menyandung-mengikat-membelit, semua akan baik-baik saja. Kembali baik-baik saja. 



**



Dan kamu masih tak puas. Hingga suatu sore, kembali satu kalimat panjang terselip, kembali memutaradukkanku, 

“Mana yang kamu lebih suka, bahwa aku tak peduli sekeras apapun pengorbananku asalkan bisa membuatmu bahagia—yang berarti termasuk aku ‘menghilang’ dari rutinitasku, kelaparan, menghabiskan hasil 10 dari sehari dan 5 dari seminggu untuk a lil couple days of hedonistic life, mengalahkan niatku yang lain—ataukah ketika aku tetap pada track ku sehari-hari, kamu pada track mu, dan kita sama-sama menderita, karena terbatas rentang?”

“…” adalah jawaban terbaikku saat itu.


Ini, adalah a-million-dollar-question. Aku tahu, kamu akan memilih untuk ‘menderita’. Dan inilah letak kesalahan itu. Aku mempersepsikan kata ‘menderita’ itu untuk melihat segala hal yang kamu sebut ‘keikhlasan’. Padahal, tak pernah sekalipun kamu mengeluhkan semua daya yang kamu upayakan untukku, menyamaratakan semua hal dengan istilah ‘menderita’.

 Simpel. Barangkali aku yang menderita, karena aku lah yang merasa tak seikhlas itu demi mempersepsikan upayamu yang tampak ‘menderita’. Dan aku lupa, ketika kita tak akan pernah bisa mengukur sesuatu yang abstrak dengan logaritma, maka hanya satu alat ukur yang bisa mengukurnya secara tepat. Perasaan.

Dan aku menjawab, sadar bahwa ini seperti tamparan, tapi entah untuk siapa,

“Oke, maka menderitalah kamu, kalau memang kamu lebih suka tampak menderita, bahkan di mata-orang-orang…”

“Aku, tak peduli orang lain berkata apa, tak peduli pikiran mereka ditujukan untuk tujuan apa. Karena dengan siapa aku menjalin ikatan adalah bukan dengan mereka, tapi denganmu.”



**



Aku, seperti kamu, tak lagi menghitung waktu,

Sudah berapa lama kita berlalu?

Ah, mungkin kita memang tak butuh itu

Disini



**



Berpuluh-puluh tahun lagi, semua boleh saja berubah. Tapi tidak tentang teori ikhlasmu itu. Aku masih akan tetap mengenalmu sebagai seseorang di awal kita bertemu. Tanpa sesuatu yang berlebihan, over-dramatis, ataupun bunga di tangan.

“Kamu tak boleh sombong, jika kelak ada Audi menemani langkahmu, rumah sebesar 3x lapangan bola, serta perut buncit mirip pejabat di gedung rakyat, dengan gaji berkoper-koper. Kenapa? Karena aku akan sangat kehilanganmu.”

Nyaman, tak akan pernah bisa digantikan oleh apapun. Karena seberapa keras usahamu untuk menata, mencampur, mengurangi, menambahkan—kamu, akan tetap seperti bagaimana pertama kali aku mengenalmu. Sesayang itulah aku.




Depok, 14 Desember 2009 







1 komentar: