Namanya Radith.
Bukan, dia bukanlah siapa-siapa dalam hidupku. Dia adalah sepenggal nama yang terus mengusikku sejak aku masih kecil. Mungkin kalian merasa aneh dengan arah pembicaraanku barusan. Well, I wanna tell ya something about that. Sejak aku menginjak bangku SD, entah kenapa aku sangat menyukai nama itu. Radith. Nama itu seakan memiliki, yah, suatu aura tersendiri. Bisa dipastikan tiap kali ada pelajaran mengarang maka nama itu tidak pernah absen menjadi subjek utama. Teman-temanku sudah sangat bosan mendengar nama itu berulang-ulang namun aku tak pernah merasakan hal yang sama. Aku mencintai nama Radith, sekedar nama, tanpa ada makhluk utuhnya. Aku tak pernah menjumpai seseorang dalam hidupku yang bernama Radith, paling banter aku hanya menemukan nama Adit, selalu tanpa huruf R di depannya.
Plak.
Sebuah tepukan di bahu mengagetkanku.
“ Udah bikin tugas bahasa inggris, Re? “ teguran Lita semakin menambah keruh hari yang sudah sangat gerah ini. Siapapun tahu, Reyasita Mayangsari alias Reya alias aku, paling tidak berjodoh dengan logat bule manapun. Lidahku sangat kental Jawanya, membuatku malu ketika harus maju ke depan kelas untuk mempresentasikan story telling dan sebangsanya.
Aku menggeleng masam. Minggu lalu aku tidak masuk kelas karena terkapar gara-gara kebanyakan makan durian. Aku mabok duren.
“ Belum. Bukannya Pak Bayu nggak masuk? Tugas apa lagi dong? “ keluhku setengah mengutuk kenapa guru-guru tetap hobi membebani kami para remaja ini dengan setumpuk tugas di saat seharusnya kami menikmati masa perkembangan sebagai seorang remaja yang (sok) gaul. Hehehe…
Tanpa minta ijin lebih dulu, Lita main sosor es buah yang baru separo jalan kumakan dan sukses membabat bagian terfavoritku : potongan alpukat. Sambil sibuk mengunyah, Lita mencoba menjawab dengan mulut penuh potongan alpukat. So yucks.
“ Justru itu, ada guru pengganti Pak Bayu selama 3 minggu ini gara-gara Pak Bayu sibuk cuti hamil, maksudku istrinya yang cuti hamil. “
Hh, dengan Pak Bayu yang gokil banget aja aku masih tidak tertarik untuk melemaskan lidahku belajar bahasa inggris, apalagi dengan guru baru ini. Tampaknya penderitaanku akan dimulai minggu ini.
“ Morning, class. “
“ Morning, Sir. “
“ Well, class… Please submit your homework last week and then… Could you do some favor to me? Please open page 17, read and understand this passage below. I’ll give you 10 minutes, then I’ll point out one of you to read it in front of us. “
Damn. Bener kan… guru baru yang muda dan tampan dan tampaknya sangat siap menjadi idola baru di sekolah kami, well, atau setidaknya kelas kami ini memang mulai berulah, sesuai dugaanku. Aku sangat benci membaca apapun dalam bahasa selain bahasa ibu. Jadi sementara Lita tampak kusyuk dengan bacaannya, aku lebih tertarik mengamati daun yang terkena angin dan mengira-ngira apakah daun yang malang terterpa angin itu dapat kugubah menjadi puisi. Hmm, aku suka membuat puisi, meskipun Lita sangat suka mengolok-ngolok minatku itu. Sangat era jadul katanya. Hahaha, persetan dengan olokannya. Minat ya minat, tak peduli apakah minatku ini terkesan jadul ataupun hi-tech. Sayangnya aku hanya mampu menyimpan minatku ini dalam sebuah buku mungil pemberian Ayah. Aku tak merasa yakin untuk mempublikasikannya kepada orang lain selain Lita.
Aku menikmati semilir angin (baca : fasilitas VIP tempat duduk dekat jendela) yang sangat sulit dirasakan akhir-akhir ini akibat global warming, dimana angin bercampur polusi dan limbah pabrik akan berubah menjadi angin panas yang menusuk kulit. Mendadak angin sejuk yang kurasakan menjadi sentakan keras di siku kananku dan membuatku nyaris menjatuhkan kamus setebal lima sentimeter dari atas meja, berbarengan dengan suara teguran,
“ Yes! You, miss! Could you read this passage now?! “
Guru muda itu, langsung menunjuk aku dengan telak setelah Lita sukses menyenggol sikuku.
“ Re, kamu disuruh maju baca ini! Cepet sana, dari tadi kamu dipanggil-panggil malah ngelamun aja! “ setengah mendorong setengah memaksa Lita menjejalkan buku yang sedari tadi ia baca. Mampus. Mampussssss. Masih terbayang minggu lalu, belum selesai aku membaca satu paragraf seisi kelas sudah tertawa gara-gara lidahku selalu menekankan logat Jawa kentalku saat membaca kata-kata dalam bahasa inggris. Uh-oh. Sekarang akan terulang lagi, dan aku akan kembali menjadi badut di kelas sendiri. Siaaaaallll.
“ And—Miss—“
“ Reya. “ aku memotong dengan cepat ucapan si guru tampan itu. Hmm, guru muda ini memang tampan. Dengan kulit cokelat sawo matang, alis tebal, badan tinggi, kecuali ditambah kenyataan bahwa dia adalah guru mata pelajaran bahasa inggris—pelajaran mengkriting lidah bagi para pemuja bahasa lokal—sebenarnya aku akan sangat tertarik dengan guru yang satu ini.
Guru itu mengangguk dan kini seisi kelas akan bersiap-siap menertawakanku. Aku berdehem pelan dan menghela napas.
“ Look at ndè stars—“
Buahahahahahahaha!
Seisi kelas langsung tertawa mendengar kata ndè atau maksudku adalah the. HH, mungkin aku memang ditakdirkan tidak bisa melakukan percakapan bahasa inggris tanpa membuat orang lain tertawa. Bahkan bisa kulihat si guru muda itu bahkan senyum-senyum…
“ SUMPAH. Aku samasekali nggak ngerti soal fisika ini… “, Lita memijit-mijit keningnya sendiri. Disekitar kakinya bertebaran buku-buku fisika. Minggu-minggu menjelang ujian akhir dan lidahku tetap saja belum ada kemajuan berarti dalam hal pengucapan kata dalam bahasa inggris.
“ SUMPAH. Aku nggak bisa bilang te-ha-e dengan normal! “ dengan kesal aku ikut-ikutan merebahkan diri di sebelah Lita, ikut-ikutan pusing.
Lita terkikik geli, mendadak ia berbalik badan dan menatap ke arahku.
“ Untung mas guru muda itu cakep yaaa… “ bisiknya centil.
Aku menutup mata dengan kesal sambil bertanya,
“ Mas Guru Muda, Mas Guru Muda… Kayak Mas Guru Muda nggak punya nama aja. Siapa si namanya? Capek aku dengerin kamu bilang Mas Guru Muda Mas Guru Muda melulu… “
“ Namanya Mas Radith. Radithya. Dia nggak mau d—“
Selanjutnya aku hanya mendengar angin saja.
Apalah arti sebuah nama.
Shakespeare sangat terkenal dengan quote itu. Namun aku bukanlah bagian massa yang mempopulerkan quote tersebut. Bagiku, nama adalah lebih dari sekedar nama. Nama adalah sebuah doa yang akan meresap dalam alam bawah sadar. Seperti Radithya. Radithya dalam bahasa Sansekerta berarti matahari. Dan matahari ini adalah Mas Radith, si guru tampan yang menyadarkanku bahwa bahasa bisa dipahami lewat apapun termasuk tulisan. Ia tak mencelaku atau memperolokku sebagaimana yang dilakukan Lita. Seperti ketika dia menyapaku di senja itu.
Dengan bosan aku menunggui Lita yang masih bersemangat berlari mengitari lapangan. Pekan olahraga antar SMA berlangsung seminggu lagi, dan Lita baru menyelesaikan tiga putaran dari total 10 putaran yang ditargetkan pelatihnya sore itu. Berbeda 180 derajat denganku, Lita adalah pribadi yang sangat dinamis. Hidup baginya adalah sebuah roda kereta api—cepat, teratur, dan pasti, sedangkan bagiku hidup tak ubahnya roda andong—tergantung bagaimana sang kuda membawanya berdasarkan cambuk kusir. Tanganku sedari tadi menggenggam buku mungil bersampul daun pisang kering, lengkap dengan pena. Niat hati mencari inspirasi, namun ulah Lita terpeleset kulit pisang tampak lebih menarik. Aku sibuk menertawai sahabatku yang sempurna dengan caranya itu ketika ada sesosok pria duduk di sampingku. Mas Radith. Hmmm… aku bisa merasakan detak jantungku berdetak lebih cepat, seakan-akan aku yang berlari melintasi lapangan, bukan Lita.
“ Kadang-kadang memang lebih mudah menuangkan pikiran dalam tulisan, ya? “ Mas Radith tertawa dan aku baru sadar ulahnya itu meninggalkan gurat di kedua pipinya.
“ Apalagi dengan bahasa kita.” Sambungku lagi. Aku sengaja menekankan kata kita.
“ Aku punya cerita Re—, “ dia diam, mengamati reaksiku yang rupanya lebih mengagumi tampangnya dari dekat seperti ini. Karena tidak ada reaksi, Mas Radith melanjutkan ceritanya, “ —ada seorang anak yang sangat suka menulis. Sejak kecil anak itu suka sekali menulis. Apapun yang menarik baginya, akan ditulisnya menjadi sebuah kisah ‘bernyawa’. Tak peduli seberapa anehnya tulisannya. Anak itu bercita-cita menjadi penulis terkenal. Namun semua itu harus dipendamnya dalam-dalam—“
“ Kenapa? “ potongku tak tahan.
Mas Radith tertawa lagi. Dan gurat di pipinya kembali muncul, “ —karena orangtuanya ingin anak itu menjadi orang yang sukses, dan bagi si orangtua ‘menulis’ bukanlah jalan untuk menjadi sukses, setidaknya sukses menurut orangtua si anak. Orangtua anak itu sibuk memberi bermacam-macam les agar si anak lupa dengan minatnya yang kurang menjanjikan itu. Tapi ternyata minat tidak bisa hilang. Diam-diam si anak tetap melanjutkan hobinya. Awalnya ayahnya tidak tahu samapi ia menemukan lembaran kertas berisi tulisan yang tergeletak di meja belajar si anak. Sang ayah marah besar, ia memaki-maki anak itu hingga anak tersebut tidak tahan dan pergi dari rumah. Sayangnya begitu ia pergi dengan kekecewaan dan sakit hati luarbiasa terhadap ayahnya, ia tak melihat jalan dan sebuah mobil dengan kecepatan penuh menabraknya dan menghilangkan tangan kanannya—sangat sinetron memang, dan bodohnya kisah bak sinetron itu benar-benar terjadi dalam hitungan detik. Ia memang tak lagi bisa menulis dengan lancar, tapi ia tetap memiliki semangat itu dalam dirinya.
“ Reya, kesempatan itu sebenernya nggak ada, kesempatan itu cuma kamuflase orang-orang yang nggak mau berusaha. So, just create your own opportunity. “
Aku lebih penasaran dengan hal lain.
“Dimana—“
“ Di depanmu. “, Mas Radith mengulurkan tangan kanannya yang ternyata—tangan palsu, tertutup dengan sempurna oleh kemeja Hugo Boss hitam bergaris.
Aku capek, tapi masih sangat bersemangat menandatangani halaman pertama dari buku yang disodorkan salah satu pengunjung launching bukuku. Saking tekunnya, ketika aku mendongak yang terlihat di hadapanku hanyalah warna putih tepat lima sentimeter di depan mataku.
Mawar putih.
“ Congratulations, Miss Reya. “
Suara yang sama. Logat bule yang sama. Di satu sisi aku sangat membenci logat tersebut hingga ingin melempari pemilik suara itu dengan manolo hitamku, namun di sisi lain aku—tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan perasaanku—bahagia.
Tawa dengan gurat di pipi yang sama.
“ Miss Reya, would you like to help me? “ goda pemilik suara itu.
Aku tertawa dan tanpa banyak basa-basi bangkit dari tempat dudukku, meninggalkan antrian pengunjung. Berdehem sekilas dan menyeringai lebar,
“ Of course. “
Namanya Radithya. Artinya matahari.