Rabu, 22 Desember 2010

Plastic Bag, I’m in Love! (Just Re-use, please)




“May… kantong-kantong plastikmu dibuang aja yaaa! “

Teriakan Auli lebih mirip suara orang terjepit pintu saking nyaringnya, sukses membangunkan saya dari acara eksperimen masker ceria bersama setengah cangkir oatmeal mentah, tiga sendok teh madu, serta satu butir telur. Huhuhu maafkan saya, tapi terkadang menjadi ‘aneh’ dengan cara masing-masing adalah terapi ampuh untuk mengukuhkan eksistensi diri…
            
           Aduhh… anak yang satu itu kadang rajinnya benar-benar sangat berlebihan! Dengan setengah kesal saya terpaksa menyeret diri menuju ruang tengah : sukses mendapati Auli beserta kemoceng, vacuum-cleaner, serta lap.
            
          “Aku buang ya, May! Berantakan… “ tangannya sudah sibuk mengacung-acungkan kotak sepatu berisi tas plastik warna-warni yang sebenarnya telah terlipat rapi itu.

Saya berdecak kesal.

“Jangan. Aku masih perlu itu semua.”

“Untuk apa? Berminat ikut Guinness Book of Record—pengepul tas kresek terbanyak?” kekehnya geli.

Saya mengibaskan tangan dengan tak sabar, tak peduli pasti muka sudah tak karuan karena masker belum bekerja maksimal.

“Merawat bumi.” Dan saya sangat bisa memastikan reaksi Auli.

“Halahhh…apaan si kamu? So kinda something called go green wannabe deh. Sibuk aja mikirin bumi. Isu itu sedang mengering akhir-akhir ini. Lebih eksis Gayus sama si Bachdim. GoGreen campaign disini hangat-hangat tapal kuda, May.”

Ya ya ya.

Hangat-hangat tapal kuda.

“Dan lagi—“ Auli masih bersemangat melanjutkan ocehannya sembari sibuk mendorong jauh-jauh debu tipis di atas rak buku. Kebetulan kami memang sharing apartemet. Jangan keburu beranggapan kami sok kaya—sumugih, kata Ibu—meskipun rekanan saya ini lebih apatis pada pentingnya menjaga lingkungan dari ancaman global warming, namun setidaknya kami memiliki visi yang sama bahwa ‘kami-tak-ingin-tampak-kurang-keren-dengan-tertangkap-basah- terjangkit-tipus-karena-tinggal-di-kos-kumuh’. Ada investasi-investasi tertentu yang menyebabkan saya berjuang mati-matian untuk tetap adil diantara stiletto Manolo Blahnik dan apartemen. Hahaha. Kembali pada Auli, “—sama saja berteriak di tengah gurun kalau hanya kita sendiri yang melakukan hal itu sementara orang lain tidak. Toh, orang-orang lebih suka beli tas baru non plastik demi isu ini. Kamu ini, melawan arus kemana-mana ya. Orang-orang pada demo anti kresek, ehh kamunya bawa kresek kemana-mana. Menurut hematku… “

“ Menurut hematku—“ kali ini aku melakukan manuver balik, “—kalau hal itu tak dimulai oleh individu-individu, senyeleneh apapun, maka ide itu hanya menjadi seonggok kaleng rombeng. So, sini plastikku. Aku berhak dong atas teritoriku, selama aku tak mengganggu koleksi Victoria Secret-mu. ” sambungku kemudian dengan jail.

Muka Auli jadi merah padam.

“ Mayyyyy!!! Jangan bilang kamu mengacak-acak lemariku ya??? “

Saya terkikik geli mendengar suara panik Auli. Yah, saya sudah melarikan diri lebih dulu dong sebelum kena sambit kemoceng.





Sore hari, hypermart dekat kantor.

“…totalnya 190.450 rupiah, Mbak. “

Sembari mengangsurkan empat lembar limapuluhribuan, saya melirik hasil belanja bulanan kali ini. Hmm… cukup banyak.

Pramuniaga lain langsung dengan sigap menarik plastic-plastik putih demi membungkus belanjaan saya.

“Emm, nggak usah pakai plastik itu Mas. Saya bawa sendiri.” Tangan saya ganti sibuk mengaduk-aduk tas, mencari si tas plastik yang selalu saya simpan sebagai cadangan kala bepergian.

Sekali lagi saya bisa membayangkan cibiran Auli, bahkan membayangkan apa yang pasti dikatakannya,

“Semua sudah disusun sedemikian efisien. Dan kamu mengubahnya menjadi sedikit lebih rumit dan ribet.”

Hm, cuma sedikit kan, Li?

Senin, 20 Desember 2010

It feels like everything could go wrong in the world, and it's okay






...

cukup  diam dan menikmati setiap detik jantung berdetak

ketika mendengar suaranya,

meresapi sesederhana apapun yang ia katakan,

setelah seharian penuh menghadapi pucatnya dunia,

itu cinta

...



Me Vote Myself


Beberapa hari lalu ucapan seorang teman pasca curhat tentang temannya membuat saya terdiam dan berpikir selama beberapa saat. Dia merasa bahwa seorang temannya yang lain, lebih mirip menyerupai sahabat palsu. Dan saya hanya tertegun,

“Kenapa?” tanya saya pelan. Agak susah menghadapi orang yang sedang diliputi cipratan emosi dan kekecewaan.

Dia hanya mengangkat bahu, berusaha tak peduli namun sebenarnya sangat peduli.

“Kompleks. Yang jelas, aku sendiri kok jadi nggak yakin ya, ada sahabat yang benar-benar tulus.” Sahutnya setengah jutek.

Whoaaaa… dan saya hanya mesam-mesem sambil menenangkan teman saya tadi. Sekali lagi, susah memang menghadapi orang yang sedang diliputi cipratan emosi dan kekecewaan. Hehehe.

Ucapan seorang rekan tadi mengingatkan saya sekaligus pada potongan film 3 Idiots, scene ketika Farhan dan Raju bersimpati ketika tak menemukan nama Rancho di lembar pengumuman hasil ujian, perasaan itu kemudian berbalik menjadi setengah bahagia setengah sedih ketika mengetahui sahabat mereka itu justru menduduki peringkat pertama. So pathetic


Seakan perasaan itu terbagi dua dan bipolar : dia yang berempati, menghargai serta memahami kepiluan sahabatnya. Sementara di sisi lain dia yang ambisius dan terus berjuang mencapai puncak prestasi. Oh, life. Mungkin, yang perlu digarisbawahi ‘hanyalah’ (oke, sedikit menyederhanakan rumitnya permasalahan bipolar di atas, sih) bahwa diri kita adalah satu-satunya yang bisa kita andalkan untuk mengatasi semua stressor yang membabibuta, jika kita memang tak ingin terjebak dalam segala bentuk kemenye-menyean. Hanya diri kita. Selesai.

Tidak ada yang benar-benar berduka atas kegagalan seorang teman.
(Gore Vidal, 1925)

         
Gore Vidal tampaknya menghadapi permasalahan serupa :p

Jumat, 17 Desember 2010

Judge A Book by Its Cover



Saya setuju bahwa mata adalah sumber segala bentuk permasalahan di muka bumi ini. Bukannya menggeneralisasi, ataupun terlalu psikologis. Namun fakta yang saya temui adalah sebagian besar waktu dan tenaga dan biaya habis demi memuaskan pantulan yang ditangkap mata dan meracuni pikiran serta hati. Oke, indera lain juga berkontribusi sih. Tapi mata tetap jawaranya. Hehe. 

Beberapa teman saya tergolong cukup konsumtif, entah itu untuk celana model baru (yang ironisnya selalu berulang berpuluh tahun kemudian), atau tumpukan buku (saya!),bahkan mencicipi menu di salah satu franchise donat terkemuka. Dan, dari mana kita mendapat keyakinan bahwa celana A tampak tepat untuk dibeli, atau sebuah buku tampak sangat mengesankan untuk dimiliki, atau kenapa fast food itu tampak sangat memukau?

Kebiasaan terburuk saya adalah selalu terjebak dalam sebuah pameran atau toko buku. Dua tempat itu adalah favorit saya dalam melarikan diri. Dan mata sangat berperan disini. Selain aroma yang khas (entah aroma lapuk atau kamfer) sebagai feromon yang tak bisa saya hindari, cover sebuah buku adalah hal krusial yang kerapkali menjebak saya untuk memboroskan cadangan financial saya. Beberapa kali saya merasa tertipu membeli sebuah buku yang tampak mahadahsyat (dari sampulnya, dan… terkadang resensinya). Tapi untungnya saya tak pernah terlalu menyesali kenapa membeli buku dengan warna oranya ngejreng—sebuah buku setebal 320 karangan Richard Brodie (yang baru saya ketahui bahwa buku tersebut adalah favorit Dewi Lestari, jelaslah saya tidak terlalu kecewa :p) yang dijual hanya 10.000 rupiah saja. Buku lain yang menjadi sasaran tebak-tebak berhadiah adalah buku sains popular berjudul Murphy’s Law. 






terjebak 'hanya' karena ini?? Absolutely yes



versi aseli nya... simpel :)





Jujur, saya bahkan menggadaikan niat saya untuk membeli Traveler’s Tale demi buku itu. Tentunya buku itu harus cukup berharga, bukan?

Awalnya saya menyesal. Beberapa halaman pembukanya membuat saya bosan setengah mati karena membahas psikologi umum, yah… saya bukanlah fans setiap sesuatu bernama persepsi dan kedalaman—hal yang wajib dibahas dalam ilmu psikologi itu. Tapi karena saya merasa harus bertanggungjawab atas buku aneh ini, saya memutuskan untuk membacanya. Dan buku ini memang konyol tapi ilmiah. Tanpa bermaksud menghibur diri saya sendiri,tapi kebodohan saya mengutuk benda-benda mati sebagai kambing hitam menjadi rada reasonable :p


Akhir-akhir ini saya sangat jarang menata kembali buku-buku yang saya gunakan untuk menyelesaikan tugas akhir saya. Hingga suatu ketika saya pasti repot sendiri mencari sebuah buku tebal bersampul biru diantara tumpukan dalam kondisi terburu-buru. Dan sialnya buku tersebut tetap tak nongol. Hingga adik saya pun bertanya,

“Nggak ada disitu mungkin Mbak…” demi melihat saya berkali-kali mengacak-acak tempat yang sama.

Tapi dasar ngeyel, saya tetap saja mencari di tempat yang sama. Entah setelah melewati kelelahan dan sebagainya dan entah keajaiban alam atau apa… voila! Buku itu terletak disana, masih disana padahal saya yakin sudah menelusuri dengan teliti tumpukan buku itu.

Dan, kenapa?

Ketika saya mencari buku yang saya maksud, rupanya saya tak melihat dengan benar karena saya mengambil shortcut ingatan mengenai si buku biru : buku berwarna biru. Titik. Dengan demikian saya cenderung akan memindai seluruh ruangan dan mencari ‘alien’ tersebut sesuai shortcut yang saya miliki tadi. Dan ketika saya terburu-buru maka daerah pindaian pun menjadi lebih sempit, dengan memusatkan perhatian pada shortcut tadi tanpa melihat rincian lain. Hal itu tentu menjadi masalah, karena rupanya saya melupakan kenyataan bahwa si buku biru tertinggal tempo hari dalam keadaan terbalik dan warna biru itu tak terlihat, dan bodohnya saya memang yakin buku itu masih berada di tempat yang sama.

Dalam buku ini, saya jadi menertawakan kenaifan saya : kenapa sih seisi alam semesta selalu berkonspirasi ketika saya sedang dikejar tenggat waktu?? (Terlepas dari asumsi Law of Attraction dan The Secret, tentu) padahal tentu dan selalu ada alasan rasional dibalik itu.

Saya bukan penikmat buku berat, dan saya merekomendasikan buku ini. Terutama, saya sangat menyukai quote yang banyak bertebaran di setiap halaman. Beberapa yang saya kutip : 


Hidup hanya bisa dipahami bila kita melihat kebelakang, dan hanya bisa dijalani bila kita melihat ke depan (Soren Kierkegaard)

Semua yang anda suka adalah illegal, immoral, atau menggemukkan (Alexander Woollcott)




... dan favorit saya...


Ornag tidak bermaksud melontarkan yang mereka ucapkan, tidak juga mengicapkan apa yang mereka maksudkan



Sekali dua kali, salah beli buku gara-gara artistik dan permainan kata yang memikat mata sah-sah saja,ah! 


 

Minggu, 12 Desember 2010

Bittersweet coffee

 

Berada dalam kehangatan sementara hujan petir menyambar-nyambar di luar sana memang jauh lebih baik daripada menunggu di lobby. Itu pikiranku ketika nyaris 3 jam menunggu Galih datang. Laptop Mac ku telah rapi jail berada di dalam Anya Hindmarch favoritku, tak ketinggalan secangkir kopi setengah kosong dan remahan hazelnut tiramisu. Akhir-akhir ini cuaca sangat tak menentu. Byarpet, kata Galih. Bagiku hal itu bukanlah masalah besar, karena selalu saja ada alasan untuk menghindari badai, tanpa aku sengaja. Bagaimana tidak? Nyaris waktuku tersita dalam marathon meeting, dari satu tempat ke tempat yang lain. Nyaman dari lindungan hujan, tapi terkadang tidak dari semprotan klien dan atasan.

Hm.. menghadapi klien memang lebih susah daripada menjinakkan bom. Kadang-kadang aku berkelakar seperti itu dengan Galih, ketika ia memprotesku gara-gara (katanya) aku gila kerja. Aku tak gila kerja, aku hanya mengalihkan semua perhatianku pada satu hal yang jelas-jelas aku kuasai dengan sangat  baik melebihi apapun. Jujur, berkutat dengan rentetan klien itu memiliki tantangan tersendiri.

Yes. I’m coffeeholic. More than four cups a day or you’ll get me dying in my desk. Hehehe.

Well, aku bukan maniak kopi tertentu, jadi jangan salah kira ketika kau menemukanku di pojokan sofa hotbrown empuk ini = aku pemuja prestise. Beberapa coffee shop modern, sebagaimana yang kerap aku singgahi ini memang menjual prestise : sophisticated lifestyle, extra-comfy furniture, elegant-but-chic interior design… khas kafe-kafe komunal di Italia, berbandrol sekian dolar.

Dan, jika aku boleh berkoar, kurasa bandrol harga yang lumayan ‘nendang’ untuk ukuran satu cup kopi terbilang wajar. Benar. Wajar. Harga itu tampak wajar karena barista mereka mendapat pelatihan ketat mengenai aroma, rasa, sekaligus ketebalan kopi demi menghasikan masterpiece. Harga itu tampak wajar karena mereka mencari biji-biji kopi terbaik ke seantero bumi. Harga itu wajar, karena ada konsistensi yang kuat di dalamnya. Dan konsistensi selalu berharga mahal. Konsistensi selalu dibayar oleh pengorbanan yang terkadang tidak sedikit. Aku bahkan tidak peduli meskipun Galih selalu bawel menghakimi hobiku melumat kafein sebagai sarana katarsis pribadi yang berlebihan. Yeah, konsistensi.

Hmm, image branding yang sempurna untuk menarik orang-orang yang merasa dirinya berkelas dan pantas, seperti aku yang masih saja terseret arus euphoria utopis ini. Jangan salah, aku masih salah satu big fan kopi-kopi lokal yang mungkin kerap kau temui di pinggiran lengkap dengan jajanan ala kadarnya. Dan jangan salah, bahkan kopi lokal yang ada pun tetap memiliki konsistensi. Bedanya? Antara prestise dan membumi. Sejauh ini kopi jos di utara Stasiun Tugu tetaplah menjadi jawaranya bagiku. Dengan arang yang dicemplungkan secara biadap ke dalam kopi.

Pahit!

Itulah reaksi pertamaku ketika Galih mencekoki kopi jos untuk pertama kalinya. Aroma harum, panas, pahit, plus membumi bersinergi dengan kuatnya. Nyaris mengalahkan getirnya perasaanku pada saat itu. Sebenarnya efek yang sama tetap akan muncul pada kopi jenis manapun. Kopi adalah stress detox yang ampuh. Setidaknya bagiku. Sama seperti secangkir kopi yang tengah kunikmati dalam kehangatan yang menenangkan diantara hingar bingar kosmopolitan ini.

Hmm… masih hujan. Dan anak itu mungkin terjebak macet entah di persimpangan mana. Kopiku telah tandas. Setengah melirik waitress di dekat mesin espresso, tiba-tiba dengan ajaibnya lirikan tanpa arti aku langsung menempatkan waitress itu di hadapanku lengkap dengan senyum cerah cemerlang pepso***.

“Ada yang bisa saya bantu, Kak?”

Sstt… sapaan khas dengan selipan kata ‘kak’ ini selalu mengundang senyum jika kebetulan aku mendengar waitress menyapa pengunjung berusia lanjut. Kak Bob Sadino? Errr, I don’t think so :p

“Hmm… frappucino.” 

“Baik, Kak. Ada yang lain?”

Gelengan pelan.

Konsistensi bisa dalam bentuk apapun, bukan? *devillaugh*

10 : 13 PM





Seperti cermin
Memantulkan apa yang ada dan ‘ada’,
Bergantian,
tak terjadwal
entah hanya  cahaya 5 watt,
10 watt,
Semungil lilin,
semegah lampu sorot
Cukup menangkap berkas dari lampu sen mobil jalanan
Bahkan sekelebat cahaya temaram lampu malam
Dan memantulkannya kembali,
Ke diri kita
Seperti cermin
Bergantian




Ode

 
 

Yogyakartaku kota yang tabah,
Retakan tanah yang membabat rumah tak menjadikan semangat patah
Yogyakartaku kota yang tabah,
Letupan teguran Merapi bukanlah ancaman untuk takut berbenah
Yogyakartaku kota yang tabah,
Kali-kali itu boleh saja muntah sepanjang bantaran dan menakut-nakuti seisi rumah
Yogyakartaku kota yang tabah,
Bahkan referendum menjadi saksi Sultan tetap paling mbaureksa
Yogyakartaku kota yang tabah,
Boleh saja kota ini diuji oleh guncangan,
Atau lelehan awan,
Atau lumpur ganas,
Atau isu konstitusi,
Tapi ya tetap saja…
Yogyakartaku kota yang tabah
Bukan, bukan karena dia sekedar nrimo
Tapi karena dia memiliki kami,
Kami yang percaya bahwa Yogyakarta kota yang tabah 



* Big Salute for GBPH Prabukusumo, atas kelegowoannya melepas posisi ketua Partai Demokrat Region Yogyakarta demi baktinya atas sejarah yang direkatkan ayahanda, Ngarsa Dalem kaping sanga



…Dengan atau tanpa sebutan ‘istimewa’ seyogyanya DIY tetaplah ‘istimewa’...




yang berminat mp3 'Jogja Istimewa' download disini

Kamis, 09 Desember 2010

C'est la vie


R n B adalah salah satu genre musik favorit dari jaman saya masih bermerah-putih (era Craig David dengan Walking Away) hingga saya menikmati gaya ‘serius’ anak kuliahan (era Bruno Mars, uhh…he’s so damn cool with sexy curly hair :p). Ketika jaman saya SMP, Hot Chord adalah salah satu sasaran update lagu (yah, sangat mengenaskan bila dibandingkan dengan perkembangan teknologi masa kini hahaha). Yah, ada sekitar tujuh nomor yang saya koleksi dan mengendon berdebu di rak buku saya.

Belum lama ini saya iseng menata tumpukan buku, koleksi majalah, dan aneka newsletter yang teronggok sempurna di sudut kamar. Kebetulan, saya menemukan sebuah lagu yang sampai saat ini belum pernah saya dengar seperti apa wujudnya (Hot Chord edisi Oktober-November 2003, harga Rp 5000,00 :p). Judulnya Windmill.


Time goes whenever you are,
time is your guiding star
That shines all thru your life,
makes you feel and move
My dreams are out in the far
 So are yours a part of secret fairy tales,
dripped on the wings of a mistery mill
Windmill, windmill…
Keep on turning,
show me the way, take me today
Windmill, windmill…
 Hearts are yearning, longing for love and a chance to be free
Don’t feel alone and depressed
 Someone will come at last,
 to soothe your stumbling mind,
to keep it away from the evil storm


Dan kenapa dengan Windmill ? Lucu, karena saya pernah mendedikasikan lagu ini untuk seseorang, dan mungkin lebih tepat untuk saya sendiri. Hm… setiap orang memang memiliki kenangan masing-masing.

Pahit.

Manis.

Getir.

Berwarna.

Kinda bittersweet memories.

Kepingan diri kita pernah terganjal kerikil sekedar untuk melangkah. Teman saya, memerlukan tiga tahun untuk melupakan patah hatinya. Teman saya yang lain, hanya memerlukan tak kurang dari seminggu untuk berganti halauan. Seorang Ibu, perlu setahun untuk bisa tegar menghadapi kehilangan besar atas putrinya. Seorang ayah, harus merelakan anaknya yang senantiasa digendong dengan penuh sayang telah beranjak dewasa dan harus mengikuti suaminya ditugaskan. Logika kecil saya, dalamnya kenangan tak pernah berbanding lurus dengan fungsi waktu, jika kita bisa menentukan dengan tepat posisi kenangan itu berada. Sehingga tak perlu melukai hati terlalu dalam. Semacam kenangan yang salah di saat yang tepat.

Ada potongan scene dalam manga Detektif Conan #37 yang begitu mengena. Dalam File 1 bertajuk Bye-Bye, Takugi kepada Miwako :

“Jangan pernah melupakan kenangan. Jika itu adalah kenangan yang berarti, jangan pernah lupakan. Karena jika manusia mati maka mereka hanya bisa hidup dalam kenangan orang lain.”


Ketika saya mengutip bait Windmill untuk seseorang, mungkin pada saat itu artinya tidak sedalam ketika saya menemukan Hot Chord lawas saya kembali beberapa tahun kemudian. Saya mengingat apa yang terjadi antara saya dan sebuah lagu yang samasekali abstrak bahkan hingga hari ini. Dan sesuatu yang timbul lebih kepada satu kalimat, membuat saya terkejut sendiri.

“Oh iya, ya.”

Ada beberapa dari kita yang setia dengan kenangan, menjadikannya satu tak terlupakan. Namun ada juga yang memilih beranjak dan menutup pintu rapat-rapat, membiarkannya padam dengan luka. Bagi saya, cara terbaik memposisikan kenangan justru membuka pintu kenangan sedikit saja sebagai pelajaran (tentunya hipotesis ini muncul setelah ada pengalaman lapangan :grinning: ).

Jujur, barangkali bertahun lalu ‘Oh iya, ya’ tak lebih dari sikap ‘OHH-whatever-but-DAMN-I-remember-things!’. Bertahun lalu. Saya bahkan lupa hingga menemukan si Windmill itu dan menjadikan ‘Oh iya, ya’ sebagai titik balik saya. Bahwa saya sudah selesai dengan kenangan masa lalu namun masih membuka pintu sedikit—tak perlu lebar-lebar, hanya mengintip. Bagaimana dengan anda?

Backsong of this post :
-          Daughtry – What About Now
-          John Mayer – Dreaming with a Broken Heart
-          OneRepublic – Come Home

Selasa, 30 November 2010

Saya dan Swallow Tua




Sejak kecil saya sangat menyukai sandal. Karena sangat nyaman dan sangat ‘saya’. Yayaya… sandal merk Swallow dengan warna-warna eksis seperti merah, hijau tua, oranye, kuning, ungu, dan entah apa lagi adalah salah satu favorit saya. Sandal Swallow adalah sandal paling nyaman yang pernah saya miliki, melebihi karya Yongki Komalandi bahkan (sekali lagi, dalam imajinasi saya, karena toh jika saya niat membeli sandal made in Yongki, bisa dipastikan sandal itu hanya akan bertengger manis di rak saya daripada menemani saya kemanapun).

Kenapa sandal Swallow? Jelas, karena pada saat itu pilihan sangat terbatas bagi kami, anak kecil. Setelah melewati fase alas sepatu cit cit (sepatu bayi yang berbunyi ketika kita melangkah dan mulai menjejakkan kaki) maka pilihan yang saya dapatkan adalah sandal Swallow warna merah atau hijau atau kuning. Hmmm, ada sihh, pilihan lain. Saya pernah dibelikan Ibu sepasang sepatu sandal cantik dari bahan jelly nan empuk dan bening. Waktu itu namanya sepatu kaca kalau tak salah. Dengan sukacita saya mengenakannya kemana-mana. Tapi rupanya sepatu seperti itu memang tak berjodoh dengan saya. Tumit saya perih dan memerah menggunakan sepatu sandal seperti itu. Entah kenapa. Pada waktu itu, saya lebih suka sandal Swallow. Titik.

Semakin saya dewasa, saya sadar bahwa sandal Swallow saya kian pudar gaungnya. Sandal yang diproduksi PT. Garuda Mas Perkasa (saya juga baru tahu produsennya setelah googling) ini kalah dari sandal distro dan serta sandal cantik ala butik. Jujur saja, saya memang memiliki deretan sandal lain. Dari sandal untuk njagong manten, sandal untuk JJS (Jalan-Jalan Santai), sandal untuk ke tempat yang dekat-dekat, dan sandal untuk ke tempat yang jauh-jauh, sandal pas hujan…

Hari ini saya bersemangat ’45 hendak ke rumah Nenek. Rumah Nenek bukan di desa. Tapi saya tetap akan memakai Swallow saya. Baruuu saja kami hendak berangkat… tereteretettttt,

“Itu… sandalmu sudah buluk seperti itu?? Ganti! “ Ibu menuding sandal yang saya kenakan.

Yep. Swallow.

“Tapi kan cuma ke rumah Nenek, Bu…” sahutku pelan.

Satu gelengan lagi.

Dengan patuh saya berbalik dan mengganti Swallow saya dengan non-Swallow. Kesimpulan saya saat itu : Swallow saya sudah kadaluarsa!



Semakin saya dewasa, saya juga sadar bahwa diri saya tak ubahnya seperti sandal Swallow. Sederhananya, Swallow—adalah bagian dari zona nyaman saya. Swallow adalah bagaimana saya menyayangi dan menghargai diri saya untuk tetap menjadi ‘saya’. Namun  ada kalanya kita juga harus melangkah meninggalkan ‘Swallow-Swallow’ dalam bentuk lain.

Beberapa bulan ini saya menjadi sok sibuk. Sibuk dengan beberapa bab yang agak menentukan masa depan saya. Entah sudah berapa kali saya ngendon di perpus bersama rekan-rekan satu angkatan. Minggu-minggu awal perpus lebih mirip Sekaten dalam versi elegan : adem dan nyaman dengan sofa empuk. Semua orang tampak berada dalam ritme yang sama, euphoria yang sama. Kami tak ubanhya seperti sebuah organisasi : dengan visi misi serupa menuju satu tujuan yang sama.

Hingga minggu-minggu menjelma menjadi bulan pertama, lalu bulan kedua. Satu-persatu dari kami mreteli, hilang satu demi satu. Satu persatu memiliki target yang berbeda, namun tujuan yang sama. Sekali dua kali saya mendapati diri saya bersama satu-dua rekan menekuni hal yang sama. Saat itu saya tersenyum simpul. Ternyata meskipun kami mungkin tak saling mengenal dengan baik, dengan dilekatkan oleh istilah ‘almamater’ semua menjadi berbeda. Saya sedikit kehilangan. Kehilangan momen-momen kuliah, jam-jam kuliah pagi, tumpukan tugas, dosen-dosen yang bersemangat menimpuki kami dengan tugas, makan siang di sela-sela kuliah. Semuanya.

Yang sangat saya sadari dari sekelumit kalimat yang mencuat ketika tepat pukul 08.00 saya duduk sendiri di suatu sudut perpus dengan semua amunisi masa depan saya :

Sebenarnya kita semua bergerak dengan ritme yang sama, kecepatan yang sama. Kita hanya terpisah, oleh bidang A, bidang B, dosen A, dosen B.

Dan mungkin dengan ritme dan kecepatan yang sama itu kita bisa kembali bertemu di satu titik yang sama (lagi) kelak, dengan toga sewaan dan keluarga yang tersenyum di sekitar kita sebelum kita benar-benar terlepas dari jerat institusi pendidikan selama hampir 18 tahun dari keseluruhan hidup. Dan…  kemudian kita akan benar-benar menjalani hidup masing-masing.

Namanya Radithya









Namanya Radith.

Bukan, dia bukanlah siapa-siapa dalam hidupku. Dia adalah sepenggal nama yang terus mengusikku sejak aku masih kecil. Mungkin kalian merasa aneh dengan arah pembicaraanku barusan. Well, I wanna tell ya something about that. Sejak aku menginjak bangku SD, entah kenapa aku sangat menyukai nama itu. Radith. Nama itu seakan memiliki, yah, suatu aura tersendiri.  Bisa dipastikan tiap kali ada pelajaran mengarang maka nama itu tidak pernah absen menjadi subjek utama. Teman-temanku sudah sangat bosan mendengar nama itu berulang-ulang namun aku tak pernah merasakan hal yang sama. Aku mencintai nama Radith, sekedar nama, tanpa ada makhluk utuhnya. Aku tak pernah menjumpai seseorang dalam hidupku yang bernama Radith, paling banter aku hanya menemukan nama Adit, selalu tanpa huruf R di depannya.


Plak.

Sebuah tepukan di bahu mengagetkanku.

“ Udah bikin tugas bahasa inggris, Re? “ teguran Lita semakin menambah keruh hari yang sudah sangat gerah ini. Siapapun tahu, Reyasita Mayangsari alias Reya alias aku, paling tidak berjodoh dengan logat bule manapun. Lidahku sangat kental Jawanya, membuatku malu ketika harus maju ke depan kelas untuk mempresentasikan story telling dan sebangsanya.

Aku menggeleng masam. Minggu lalu aku tidak masuk kelas karena terkapar gara-gara kebanyakan makan durian. Aku mabok duren.

“ Belum. Bukannya Pak Bayu nggak masuk? Tugas apa lagi dong? “ keluhku setengah mengutuk kenapa guru-guru tetap hobi membebani kami para remaja ini dengan setumpuk tugas di saat seharusnya kami menikmati masa perkembangan sebagai seorang remaja yang (sok) gaul. Hehehe…

Tanpa minta ijin lebih dulu, Lita main sosor es buah yang baru separo jalan kumakan dan sukses membabat bagian terfavoritku : potongan alpukat. Sambil sibuk mengunyah, Lita mencoba menjawab dengan mulut penuh potongan alpukat. So yucks.

“ Justru itu, ada guru pengganti Pak Bayu selama 3 minggu ini gara-gara Pak Bayu sibuk cuti hamil, maksudku istrinya yang cuti hamil. “

Hh, dengan Pak Bayu yang gokil banget aja aku masih tidak tertarik untuk melemaskan lidahku belajar bahasa inggris, apalagi dengan guru baru ini. Tampaknya penderitaanku akan dimulai minggu ini.



“ Morning, class. “

“ Morning, Sir. “

“ Well, class… Please submit your homework last week and then… Could you do some favor to me? Please open page 17, read and understand this passage below. I’ll give you 10 minutes, then I’ll point out one of you to read it in front of us. “

Damn. Bener kan… guru baru yang muda dan tampan dan tampaknya sangat siap menjadi idola baru di sekolah kami, well, atau setidaknya kelas kami ini memang mulai berulah, sesuai dugaanku. Aku sangat benci membaca apapun dalam bahasa selain bahasa ibu. Jadi sementara Lita tampak kusyuk dengan bacaannya, aku lebih tertarik mengamati daun yang terkena angin dan mengira-ngira apakah daun yang malang terterpa angin itu dapat kugubah menjadi puisi. Hmm, aku suka membuat puisi, meskipun Lita sangat suka mengolok-ngolok minatku itu. Sangat era jadul katanya. Hahaha, persetan dengan olokannya. Minat ya minat, tak peduli apakah minatku ini terkesan jadul ataupun hi-tech. Sayangnya aku hanya mampu menyimpan minatku ini dalam sebuah buku mungil pemberian Ayah. Aku tak merasa yakin untuk mempublikasikannya kepada orang lain selain Lita.


Aku menikmati semilir angin (baca : fasilitas VIP tempat duduk dekat jendela) yang sangat sulit dirasakan akhir-akhir ini akibat global warming, dimana angin bercampur polusi dan limbah pabrik akan berubah menjadi angin panas yang menusuk kulit. Mendadak angin sejuk yang kurasakan menjadi sentakan keras di siku kananku dan membuatku nyaris menjatuhkan kamus setebal lima sentimeter dari atas meja, berbarengan dengan suara teguran,

“ Yes! You, miss! Could you read this passage now?! “

Guru muda itu, langsung menunjuk aku dengan telak setelah Lita sukses menyenggol sikuku.

“ Re, kamu disuruh maju baca ini! Cepet sana, dari tadi kamu dipanggil-panggil malah ngelamun aja! “ setengah mendorong setengah memaksa Lita menjejalkan buku yang sedari tadi ia baca. Mampus. Mampussssss. Masih terbayang minggu lalu, belum selesai aku membaca satu paragraf seisi kelas sudah tertawa gara-gara lidahku selalu menekankan logat Jawa kentalku saat membaca kata-kata dalam bahasa inggris. Uh-oh. Sekarang akan terulang lagi, dan aku akan kembali menjadi badut di kelas sendiri. Siaaaaallll.

“ And—Miss—“

“ Reya. “ aku memotong dengan cepat ucapan si guru tampan itu. Hmm, guru muda ini memang tampan. Dengan kulit cokelat sawo matang, alis tebal, badan tinggi, kecuali ditambah kenyataan bahwa dia adalah guru mata pelajaran bahasa inggris—pelajaran mengkriting lidah bagi para pemuja bahasa lokal—sebenarnya aku akan sangat tertarik dengan guru yang satu ini.

Guru itu mengangguk dan kini seisi kelas akan bersiap-siap menertawakanku. Aku berdehem pelan dan menghela napas.

“ Look at ndè stars—“

Buahahahahahahaha!

Seisi kelas langsung tertawa mendengar kata ndè atau maksudku adalah the. HH, mungkin aku memang ditakdirkan tidak bisa melakukan percakapan bahasa inggris tanpa membuat orang lain tertawa. Bahkan bisa kulihat si guru muda itu bahkan senyum-senyum…



“ SUMPAH. Aku samasekali nggak ngerti soal fisika ini… “, Lita memijit-mijit keningnya sendiri. Disekitar kakinya bertebaran buku-buku fisika. Minggu-minggu menjelang ujian akhir dan lidahku tetap saja belum ada kemajuan berarti dalam hal pengucapan kata dalam bahasa inggris.

“ SUMPAH. Aku nggak bisa bilang te-ha-e dengan normal! “ dengan kesal aku ikut-ikutan merebahkan diri di sebelah Lita, ikut-ikutan pusing.

Lita terkikik geli, mendadak ia berbalik badan dan menatap ke arahku.

“ Untung mas guru muda itu cakep yaaa… “ bisiknya centil.

Aku menutup mata dengan kesal sambil bertanya,

“ Mas Guru Muda, Mas Guru Muda… Kayak Mas Guru Muda nggak punya nama aja. Siapa si namanya? Capek aku dengerin kamu bilang Mas Guru Muda Mas Guru Muda melulu… “

“ Namanya Mas Radith. Radithya. Dia nggak mau d—“

Selanjutnya aku hanya mendengar angin saja. 



Apalah arti sebuah nama.

Shakespeare sangat terkenal dengan quote itu. Namun aku bukanlah bagian massa yang mempopulerkan quote tersebut. Bagiku, nama adalah lebih dari sekedar nama. Nama adalah sebuah doa yang akan meresap dalam alam bawah sadar. Seperti Radithya. Radithya dalam bahasa Sansekerta berarti matahari. Dan matahari ini adalah Mas Radith, si guru tampan yang menyadarkanku bahwa bahasa bisa dipahami lewat apapun termasuk tulisan. Ia tak mencelaku atau memperolokku sebagaimana yang dilakukan Lita. Seperti ketika dia menyapaku di senja itu.



Dengan bosan aku menunggui Lita yang masih bersemangat berlari mengitari lapangan. Pekan olahraga antar SMA berlangsung seminggu lagi, dan Lita baru menyelesaikan tiga putaran dari total 10 putaran yang ditargetkan pelatihnya sore itu. Berbeda 180 derajat denganku, Lita adalah pribadi yang sangat dinamis. Hidup baginya adalah sebuah roda kereta api—cepat, teratur, dan pasti, sedangkan bagiku hidup tak ubahnya roda andong—tergantung bagaimana sang kuda membawanya berdasarkan cambuk kusir. Tanganku sedari tadi menggenggam buku mungil bersampul daun pisang kering, lengkap dengan pena. Niat hati mencari inspirasi, namun ulah Lita terpeleset kulit pisang tampak lebih menarik. Aku sibuk menertawai sahabatku yang sempurna dengan caranya itu ketika ada sesosok pria duduk di sampingku. Mas Radith. Hmmm… aku bisa merasakan detak jantungku berdetak lebih cepat, seakan-akan aku yang berlari melintasi lapangan, bukan Lita.

“ Kadang-kadang memang lebih mudah menuangkan pikiran dalam tulisan, ya? “ Mas Radith tertawa dan aku baru sadar ulahnya itu meninggalkan gurat di kedua pipinya.

“ Apalagi dengan bahasa kita.” Sambungku lagi. Aku sengaja menekankan kata kita.

“ Aku punya cerita Re—, “ dia diam, mengamati reaksiku yang rupanya lebih mengagumi tampangnya dari dekat seperti ini. Karena tidak ada reaksi, Mas Radith melanjutkan ceritanya, “ —ada seorang anak yang sangat suka menulis. Sejak kecil anak itu suka sekali menulis. Apapun yang menarik baginya, akan ditulisnya menjadi sebuah kisah ‘bernyawa’. Tak peduli seberapa anehnya tulisannya. Anak itu bercita-cita menjadi penulis terkenal. Namun semua itu harus dipendamnya dalam-dalam—“

“ Kenapa? “ potongku tak tahan.

Mas Radith tertawa lagi. Dan gurat di pipinya kembali muncul, “ —karena orangtuanya ingin anak itu menjadi orang yang sukses, dan bagi si orangtua ‘menulis’ bukanlah jalan untuk menjadi sukses, setidaknya sukses menurut orangtua si anak. Orangtua anak itu sibuk memberi bermacam-macam les agar si anak lupa dengan minatnya yang kurang menjanjikan itu. Tapi ternyata minat tidak bisa hilang. Diam-diam si anak tetap melanjutkan hobinya. Awalnya ayahnya tidak tahu samapi ia menemukan lembaran kertas berisi tulisan yang tergeletak di meja belajar si anak. Sang ayah marah besar, ia memaki-maki anak itu hingga anak tersebut tidak tahan dan pergi dari rumah. Sayangnya begitu ia pergi dengan kekecewaan dan sakit hati luarbiasa terhadap ayahnya, ia tak melihat jalan dan sebuah mobil dengan kecepatan penuh menabraknya dan menghilangkan tangan kanannya—sangat sinetron memang, dan bodohnya kisah bak sinetron itu benar-benar terjadi dalam hitungan detik. Ia memang tak lagi bisa menulis dengan lancar, tapi ia tetap memiliki semangat itu dalam dirinya.

“ Reya, kesempatan itu sebenernya nggak ada, kesempatan itu cuma kamuflase orang-orang yang nggak mau berusaha. So, just create your own opportunity. “

Aku lebih penasaran dengan hal lain.

“Dimana—“

“ Di depanmu. “, Mas Radith mengulurkan tangan kanannya yang ternyata—tangan palsu, tertutup dengan sempurna oleh kemeja Hugo Boss hitam bergaris.



Aku capek, tapi masih sangat bersemangat menandatangani halaman pertama dari buku yang disodorkan salah satu pengunjung launching bukuku. Saking tekunnya, ketika aku mendongak yang terlihat di hadapanku hanyalah warna putih tepat lima sentimeter di depan mataku.

Mawar putih.

“ Congratulations, Miss Reya. “

Suara yang sama. Logat bule yang sama. Di satu sisi aku sangat membenci logat tersebut hingga ingin melempari pemilik suara itu dengan manolo hitamku, namun di sisi lain aku—tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan perasaanku—bahagia.

Tawa dengan gurat di pipi yang sama.

“ Miss Reya, would you like to help me? “ goda pemilik suara itu.

Aku tertawa dan tanpa banyak basa-basi bangkit dari tempat dudukku, meninggalkan antrian pengunjung. Berdehem sekilas dan menyeringai lebar,

“ Of course. “


Namanya Radithya. Artinya matahari.