Selasa, 30 November 2010

Saya dan Swallow Tua




Sejak kecil saya sangat menyukai sandal. Karena sangat nyaman dan sangat ‘saya’. Yayaya… sandal merk Swallow dengan warna-warna eksis seperti merah, hijau tua, oranye, kuning, ungu, dan entah apa lagi adalah salah satu favorit saya. Sandal Swallow adalah sandal paling nyaman yang pernah saya miliki, melebihi karya Yongki Komalandi bahkan (sekali lagi, dalam imajinasi saya, karena toh jika saya niat membeli sandal made in Yongki, bisa dipastikan sandal itu hanya akan bertengger manis di rak saya daripada menemani saya kemanapun).

Kenapa sandal Swallow? Jelas, karena pada saat itu pilihan sangat terbatas bagi kami, anak kecil. Setelah melewati fase alas sepatu cit cit (sepatu bayi yang berbunyi ketika kita melangkah dan mulai menjejakkan kaki) maka pilihan yang saya dapatkan adalah sandal Swallow warna merah atau hijau atau kuning. Hmmm, ada sihh, pilihan lain. Saya pernah dibelikan Ibu sepasang sepatu sandal cantik dari bahan jelly nan empuk dan bening. Waktu itu namanya sepatu kaca kalau tak salah. Dengan sukacita saya mengenakannya kemana-mana. Tapi rupanya sepatu seperti itu memang tak berjodoh dengan saya. Tumit saya perih dan memerah menggunakan sepatu sandal seperti itu. Entah kenapa. Pada waktu itu, saya lebih suka sandal Swallow. Titik.

Semakin saya dewasa, saya sadar bahwa sandal Swallow saya kian pudar gaungnya. Sandal yang diproduksi PT. Garuda Mas Perkasa (saya juga baru tahu produsennya setelah googling) ini kalah dari sandal distro dan serta sandal cantik ala butik. Jujur saja, saya memang memiliki deretan sandal lain. Dari sandal untuk njagong manten, sandal untuk JJS (Jalan-Jalan Santai), sandal untuk ke tempat yang dekat-dekat, dan sandal untuk ke tempat yang jauh-jauh, sandal pas hujan…

Hari ini saya bersemangat ’45 hendak ke rumah Nenek. Rumah Nenek bukan di desa. Tapi saya tetap akan memakai Swallow saya. Baruuu saja kami hendak berangkat… tereteretettttt,

“Itu… sandalmu sudah buluk seperti itu?? Ganti! “ Ibu menuding sandal yang saya kenakan.

Yep. Swallow.

“Tapi kan cuma ke rumah Nenek, Bu…” sahutku pelan.

Satu gelengan lagi.

Dengan patuh saya berbalik dan mengganti Swallow saya dengan non-Swallow. Kesimpulan saya saat itu : Swallow saya sudah kadaluarsa!



Semakin saya dewasa, saya juga sadar bahwa diri saya tak ubahnya seperti sandal Swallow. Sederhananya, Swallow—adalah bagian dari zona nyaman saya. Swallow adalah bagaimana saya menyayangi dan menghargai diri saya untuk tetap menjadi ‘saya’. Namun  ada kalanya kita juga harus melangkah meninggalkan ‘Swallow-Swallow’ dalam bentuk lain.

Beberapa bulan ini saya menjadi sok sibuk. Sibuk dengan beberapa bab yang agak menentukan masa depan saya. Entah sudah berapa kali saya ngendon di perpus bersama rekan-rekan satu angkatan. Minggu-minggu awal perpus lebih mirip Sekaten dalam versi elegan : adem dan nyaman dengan sofa empuk. Semua orang tampak berada dalam ritme yang sama, euphoria yang sama. Kami tak ubanhya seperti sebuah organisasi : dengan visi misi serupa menuju satu tujuan yang sama.

Hingga minggu-minggu menjelma menjadi bulan pertama, lalu bulan kedua. Satu-persatu dari kami mreteli, hilang satu demi satu. Satu persatu memiliki target yang berbeda, namun tujuan yang sama. Sekali dua kali saya mendapati diri saya bersama satu-dua rekan menekuni hal yang sama. Saat itu saya tersenyum simpul. Ternyata meskipun kami mungkin tak saling mengenal dengan baik, dengan dilekatkan oleh istilah ‘almamater’ semua menjadi berbeda. Saya sedikit kehilangan. Kehilangan momen-momen kuliah, jam-jam kuliah pagi, tumpukan tugas, dosen-dosen yang bersemangat menimpuki kami dengan tugas, makan siang di sela-sela kuliah. Semuanya.

Yang sangat saya sadari dari sekelumit kalimat yang mencuat ketika tepat pukul 08.00 saya duduk sendiri di suatu sudut perpus dengan semua amunisi masa depan saya :

Sebenarnya kita semua bergerak dengan ritme yang sama, kecepatan yang sama. Kita hanya terpisah, oleh bidang A, bidang B, dosen A, dosen B.

Dan mungkin dengan ritme dan kecepatan yang sama itu kita bisa kembali bertemu di satu titik yang sama (lagi) kelak, dengan toga sewaan dan keluarga yang tersenyum di sekitar kita sebelum kita benar-benar terlepas dari jerat institusi pendidikan selama hampir 18 tahun dari keseluruhan hidup. Dan…  kemudian kita akan benar-benar menjalani hidup masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar