Beberapa status teman di situs jejaring sosial rupanya menggiring saya pada kesadaran lama. Betapa berbedanya generasi kita saat muda, polos, dan tak berbahaya dulu dengan anak-anak jaman sekarang. Hmm, bukan berarti saya mendiskreditkan generasi sekarang, sungguh. Namun isi dari tulisan ini hanya menjadi kepingan nostalgia kami, anak-anak gen ’80.
Ngomong-ngomong soal pedagang mainan keliling, saya jadi ingat Pak Kampret. Well, saya bahkan tak tahu ama asli beliau. Yang saya tahu, Pak Kampret adalah sesosok pria paruh baya dengan topi koboi rada lusuh, kumis melintang, kaos panjang, celana panjang, sepatu olahraga, cincin batu akik (yang pasti sangat sakit kalau kita sampai tertonjok olehnya), serta ber-tas pinggang, yang selalu mangkal di depan SD saya, SD Serayu Yogyakarta (Jalan Juadi No.2, waaaa… saya masih ingat alamat sekolah saya) sejak jam istirahat. Ia adalah penjual mainan favorit saya dengan seruan-seruan ala penjual obat keliling nya “Sayang anak, sayang anak” — yang khusus ditujukan untuk para orangtua yang menjemput anaknya.
Bagi kami, pada saat itu sepeda Pak Kampret yang penuh dengan rimbunan mainan kecil-kecil berplastik (dan akan sangat ‘ecek-ecek’ bila dibandingkan dengan Lego, Playstation, bahkan Blackberry—dunia memang sudah gila… anak SD sekarang mainanannya BB, cuiiii…) adalah sumber harta karun masa kecil kami. Saya benar-benar ingat bagaimana Pak Kampret selalu berhasil menyediakan mainan yang up to date namun pas di kantong saya dan teman-teman : kantong anak SD jaman dulu. Kehadirannya cukup mencolok diantara belasan penjual rupa-rupa lain : tukang bakso ojeg, bakwan kawi, es kelamud, es goring, telor puyuh dadar, berger donal, coca-cola, dan lain-lain. Berkat Pak Kampret, saya pun bisa mencicipi Tamagochi KW, yoyo futuristik, jagoan neon, tato temporer, dan ia juga sukses mencekoki kami dengan kandungan MSG dari berbungkus-bungkus Chiki, Cheetato, dan entah apa lagi demi popularitas pemilik Tazos terlengkap dan terbanyak. Pak Kampret = racun? Iya, dan tidak. Toh sekarang saya merasa jauh lebih obese dengan tumpukan lemak Mister Burger. Pak Kampret tak ubahnya seperti Pak Raden yang mampu menghadirkan keceriaan masa kecil kami (ohya, dia bukan pedofil, kali-kali ada yang rese tanya) rupanya.
Anak SD dan mainan, di era itu adalah surga dunia. Saya pribadi menghormati Pak Kampret bukan semata karena ia adalah supplier tunggal yang memonopoli jatah mainan kami, namun karena dedikasi beliau yang tinggi untuk lebih dari sekedar penjual mainan. Saya tak pernah lupa bagaimana beliau dengan sabar membantu menyeberangkan kami ke seberang jalan, tempat orangtua kami menjemput. Kebetulan SD kami berada tepat di pinggir jalan yang cukup ruwet lalu lintasnya ketika jam pulang sekolah. Maklum, selain SD kami juga ada SMP 5 dan SMA Bosa disana. Yah, dengan sabar, karena kami tak ubahnya seperti deretan kelinci yang lompat sana-lompat sini buru-buru ingin menyeberang tanpa melihat kanan-kiri. Dengan sabar, karena ia kebapakan, berbeda dengan satpam sekolah kami yang rese dan berisik, plus muka jutek karena harus menyeberangkan anak-anak bengal seperti kami di bawah teriknya matahari. Pak Kampret adalah orang nyaris terakhir yang meninggalkan sekolah diantara penjual mangkal lainnya, bahkan terkadang lebih akhir daripada guru-guru kami. Kenapa? Karena beliau selalu menunggui beberapa anak yang masih kecer di sekolah meskipun jam pulang sudah berlalu beberapa jam. Saya adalah salah satu anak yang lumayan sering ditunggui hingga pulang oleh beliau. Yah, orangtua saya cukup sering memberlakukan jam karet yang bikin bĂȘte, jadilah saya sering jadi siswa penghuni terakhir yang dijemput. Pak Kampret sampai hapal saya dan Ayah saya, serta daerah tinggal saya. Sehingga ketika saya dijemput, biasanya Pak Kampret akan berteriak dari sela-sela pagar SD kami, “Kotagede, Kotagede, dijemput Ayah tercinta! “ dan saya akan nongol buru-buru. Hingga adik saya bersekolah di SD Serayu pun, selisih kami 5 tahun, seruan itu masih terdengar. Kami dan Kotagede. Dan adik saya juga termasuk salah satu fans Pak Kampret.
Sempat beberapa kali saya bertanya pada orangtua saya, “Kenapa sih, yang jadi satpam bukan Pak Kampret saja? Dia kan baik.”
Kedua orangtua saya juga sangat setuju dengan pemikiran sederhana saya, namun mereka hanya menggeleng tanpa bisa berbuat apapun.
12 tahun kemudian, saya yang sudah menyendang predikat sebagai mahasiswa suatu PTN di Jogja, berkesempatan mampir ke SD Serayu untuk mengurus perijinan penelitian dari kampus. Saya agak terburu-buru pada waktu itu. Dan saat melewati deretan penjual yang mangkal saat itu,
“Eh, Kotagede. Cah ayu. Sudah besar sekarang…”
Saya menoleh dan mendapati penjual mainan favorit saya. Beliau masih bergaya unik dan mungkin nyeleneh untuk ukuran jaman sekarang. Dan masih mengingat saya. Saya sempat mengobrol barang lima menit berbasa-basi dengan beliau. Dan beliau masih sama, hanya keadaan fisik yang membedakannya. Pak Kampret semakin menua, memiliki kerutan, dan ompong. Namun keramahan serta ketulusannya tetap tak lekang. Pada saat itu timbul sebersit keinginan iseng saya untuk bisa bertemu lagi dengan Pak Kampret kelak.
Beberapa bulan kemudian, beberapa kali saya melewati SD Serayu, namun Pak Kampret sudah jarang tampak. Bahkan tak nampak. Tapi kini saya tahu, tak perlu birokrasi penting yang menyebutkan bahwa Pak Kampret adalah satpam SD kami. Tak perlu lagi pelantikan pak Kampret sebagai satpam yang menyeberangkan kami satu per satu dan mungkin hanya ada dalam imajinasi saya. Karena sampai kapanpun Pak Kampret adalah sosok yang akan saya hormati atas dedikasi dan semangatnya.
Benar kata teman saya, kami rupanya merindukan Sesame Street, Keluarga Cemara, permen karet Yosan, Anak Mas, dan lembar ‘baju-bajuan’ yang dijual pedagang mainan keliling. Namun saya lebih merindukan masa kecil saya, bukan karena kurang bahagia, namun karena sangat bahagia tanpa saya sadari. Dan yang jelas, tanpa Blackberry, Starbucks, Playstation, ataupun produk kapitalis modern.
ahaha...another story of you..
BalasHapusi like it..
klo aku besok punya percetakan, kirimin draft bukumu ke aku ya...
kampret!
BalasHapus