Tes.
Menerpa pipi kananku.
Tes.
Mengelus lembut jemariku yang sibuk menutupi kepala.
Tes. Tes.
Kepalaku menengadah. Alih-alih melihat mendungnya langit yang memang sudah sekelam malam, tetesan demi tetesan jatuh menimpa wajahku.
Hujan!
Aku buru-buru berlindung secepat yang kumampu, dan yang kudapati adalah halte dengan 3 orang selain diriku.
Hmm, pasti deras… sudut mataku mengikuti pergerakan ringan awan.
Benar saja. Hujan seakan memuntahkan apa yang telah ditahan-tahannya selama ini : Hei manusia pengrusak lingkungan, rasakan amarahku! BLAR! Hei Jakarta jorok, rasakan kuasa banjir di tanahmu! BLAR!
Aku menghela napas dan mencoba duduk di tempat duduk halte tersebut, meskipun—ewwwwwww—melihatnyapun aku bergidik jijik. Coret-coretan para ababil (Abege Labil—demikian Bana menyebutnya) di tiang halte, belum lagi permen karet yang memeluk erat di bawah tempat duduk halte, serta sampah berserakan… Sabarrrrrrr… aku mendesah dan mengeluh dalam-dalam.
Dari kejauhan tampak sebuah bus terseok-seok mendekati halte, menembus hujan. Bisa dipastikan tak beberapa lama lagi dalam hitungan tahun karat yang menghiasi tubuh bus akan bertambah. Duh, coba Bana nggak nge-game dulu…
Seorang pemuda berkemeja kotak-kotak dengan ransel buru-buru masuk ke dalam bus, berusaha menengahi amukan hujan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling halte. Dari 3 biji manusia yang sempat bertebar di halte ini. Hanya tinggal satu yang rupanya masih menemaniku dengan setia. Seorang anak laki-laki cilik yang nampaknya berprofesi sebagai ojek payung.
Aku heran dengan si tukang ojek payung ini, dia jelas-jelas bawa payung namun entah kenapa kakinya tak juga beranjak dari halte. Ia justru tampak kusyuk memandang amukan hujan yang semakin kasar. Sedang asyik-asyiknya aku mengamati anak laki-laki itu—sang ojek payung cilik dengan tiga buah payung lusuh—ia mendadak menatapku. Entah kenapa, aku bahkan tak berpaling ketika kedua mata sayu itu bertubrukan dengan kedua mataku.
Ia tertegun sejenak, kemudian kembali memandang langit. Wajahnya tampak tak tenang. Aku jadi penasaran sendiri. Menurutku dan logika kecilku, seharusnya dia menawariku payung. Bukankah dia ojek payung?? Setidaknya dia bisa mendapatkan sejumlah uang. Setidaknya dia tak hanya memandang langit dengan tatapan sayu seperti itu. Dan beberapa setidaknya yang lain, menurutku dan logika kecilku.
Aku berusaha kembali pada realita, dan melupakan si ojek payung cilik. Berkali-kali aku mengecek handphone. Sekedar untuk melihat apakah Bana membalas SMS ku. Namun tetap saja hasilnya NOL besar. Huffttt… Bana pasti sedang sibuk nge-game. Pikirku dongkol. Ah ya! Taksi! Kenapa aku lupa ada kemudahan bernama taksi? Dengan bersemangat, aku menekan-nekan phonebook ku, mencari nomor telepon salah satu perusahaan taksi. Yak, ini dia! Aku menekan tombol Call…
“Sisa pulsa Anda—“
ARRGGGGHHHH!!! Damnnnnnnnn!!!
Dengan lunglai aku memasukkan handphone dengan pulsa laknat itu ke dalam tasku.
Ya sudah, mau tak mau rupanya aku harus menunggu hujan ini reda, pikirku getir sambil membayangkan semangkuk bakso, secangkir kopi hangat, serta sofa dengan selimut yang nyaman dan hangat di rumah. Banaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!! Rutukku pada calon suamiku itu dalam hati
Satu menit
Tiga menit.
Riuh hujan kian mengganas, seakan-akan kami yang di halte ini tinggal menunggu puting beliung menerbangkan atap halte.
Lama-kelamaan aku bisa mati bosan. Iseng, aku memandang si ojek payung cilik yang duduk menyempil di dekat tiang. Ia sudah tak menatap langit, tapi kini ganti menatap tanah. Atau mungkin menatap kakinya yang sibuk bergoyang kesana-kemari dengan sandal jepit hijaunya yang lusuh. Aku tersenyum geli, tukang ojek payung cilik ini, meski bagaimanapun tetaplah manusia.
“Dik.”
Ia menoleh, menyahuti panggilanku.
“Iya, Kak?” tanyanya dengan pandangan heran bahkan cenderung takut-takut. Berani bertaruh, pasti jarang ada orang asing sepertiku yang memanggilnya dengan penuh keingintahuan. Mungkin dia mengiraku adalah sejenis pengedar barang haram.
“Nggak pulang?” tanyaku masih penasaran karena bagaimanapun ia adalah ojek payung dengan payung. Bukannya aku dengan handphone tak berpulsa dan calon suami yang ngelungker nge-game di rumah.
Ia menggeleng pelan, kemudian kembali sibuk dengan aku-dan-goyangkan-sandal-hijauku.
“Payungnya rusak, Dik?” aku bisa merasakan perasaan para reporter entertainment yang kerap diacuhkan socialite dan harus puas dengan “no comment” ataupun senyuman (tampaknya) palsu.
“Mbak mau pinjam? Dua ribu aja.” Katanya kemudian, namun dengan nada tak yakin.
“Nggak, aku nunggu temen kok.” Sahutku sekenanya. Trenyuh juga aku mendengar ‘harga’ payung itu. Padahal dia pasti tetap saja kehujanan. Lebih trenyuh rasanya ketika berhadapan langsung dengan pelaku…
Ia kembali menunduk. Diam. Hmm.. susah juga mengajak anak ini ngobrol. Tampaknya ia benar-benar lebih tertarik dengan sandal hijaunya itu.
“Adik sekolah?” tanyaku lagi. Berusaha lagi.
“Udah nggak dari kelas 3 SD, Kak.” Sahutnya malu-malu. Kali ini ia berani menatap wajahku.
“Kenapa?” meski aku tahu itu hanyalah pertanyaan klise.
Ia menoleh lagi ke arahku. “Nggak punya duit…” sahutnya.
“Ooo.. “ aku hanya bisa ber-o-o saja. Bingung hendak merespon apa.
Akupun menjadi terlibat obrolan ringan dengan anak ini. Namanya Rahmat. Seharusnya ia sudah kelas 6 SD sekarang, saatnya ujian nasional. Namun badannya memang tak mencerminkan bahwa ia sebenarnya menginjak kelas 6 SD, kurus, penuh bekas luka. Potret khas kemiskinan dan tekanan hidup sebagai kaum urban. Kudengar kemudian ia berasal dari Klaten. Ia dibawa ibunya menikmati kerasnya ibukota setelah sang ayah meninggal gara-gara TBC. Berdua dengan ibunya, Rahmat harus ikut membanting tulang. Ibunya berprofesi sebagai buruh cuci serabutan. Bila musim hujan seperti ini, ibu Rahmat membantu sebagai tukang cuci piring di warteg pinggir jalan, tak jauh dari halte tempat mereka berteduh kini. Sejenak pikiranku melayang pada berbagai reality show yang kerap mengeksploitasi kemiskinan sebagai pendongkrak rating.
Tubuh kecil itu kini menggigil. Hujan memang tak kunjung berhenti. Aku jadi iba padanya. Niat hati hendak bangkit melihat jalanan…
BRUK.
Aku melenguh. Agenda yang dari tadi berada di pangkuanku terjatuh. Beberapa lembar kertas dan bon-bon nggak penting bertebaran. Duhhhh… dengan ekstra bĂȘte aku memungut satu per satu kertas itu dari tanah. Uhhhhh… jijikkkk… becekkk…
“Ini Kakak?” Rahmat menyerahkan selembar ukuran postcard kepadaku dengan mimic lucu.
Aku buru-buru mengambil lembar yang ternyata foto itu. Dan …blushhhhhhh… mukaku memerah. Itu aku!! Duhhhhh…
“Itu Kakak?” tanyanya lagi. Aduhhh anak iniiiiii…
Aku mengangguk masam bercampur malu.
“Kakak di foto itu cantik.” Katanya kemudian. Membuatku malu. Dan… tidak percaya!!
Namun entah kenapa ia tetap bersikeras.
“Benar Kak! Kakak itu cantik karena rambutnya kriting gede-gede. Cantik, deh! Kayak Mbak Ika.” Timpalnya kemudian sungguh-sungguh.
“Mbak Ika?” tanyaku lagi. Masih malu sebenarnya. Foto itu, yang kata Rahmat cantik dengan ‘keriting gede-gede’ nya, memang aku, Rinayu Puri, sekitar beberapa tahun yang lalu. Beberapa tahun kemudian, aku memutuskan berganti model rambut lurus dengan harapan Bana, sang calon suamiku yang tak kunjung menjemputku hingga sekarang, berhenti berkomentar dan menyela rambut lamaku. Sekali dua kali sih tak apa, tapi lama-lama jengah jadinya.
Rahmat mengangguk.
“Iya Kak. Mbak Ika itu kakakku. Rambutnya bagus kayak kakak. Cantik.” Senyumnya riang. Senyum pertama setelah dari tadi aku mengajaknya ngobrol ngalor-ngidul.
Seakan aku menimang kata itu. Cantik. Hmm… bukan sekali dua kali mungkin aku dipuji cantik. Namun itu ketika rambutku telah berubah dan mungkin… ketika aku tak lagi menjadi diriku. Bukan, bukan berarti aku mengabaikan rambutku. Hanya saja, aku rindu rambut lamaku, yang berarti pertengkaran-pertengkaran kecil nggak penting dengan Bana. Kini kata itu kudengar lagi. Kata yang kudengar entah kapan dengan tulus dari Ibu. Aku mungkin bukanlah pribadi yang mampu menyuarakan pendapatku. Terkadang aku terjebak dalam kenyamanan dan dipuja orang lain, meskipun berarti aku mengekang diriku sendiri. Dan bertahun-tahun aku tak peduli dengan diriku. Tanpa sadar aku mendesah panjang.
“Mbak Ika sekarang dimana?” tanyaku pelan. Hujan mereda. Handphone-ku berbunyi. Sekilas aku mengintipnya. Bana calling.
“Jadi TKW di luar negri! “ sahutnya bangga.
Aku menjadi semakin miris.
“ Mat, ayo pulang! “ sebuah suara wanita mengagetkanku.
Dari sebelah kiriku muncul seorang wanita yang sama kurusnya dengan Rahmat, bajunya basah kuyup. Rupanya wanita itu nekat menembus hujan yang tak kunjung reda. Sementara itu, di ketiak kirinya tersembul koran yang sudah tak berbentuk karena guyuran air hujan. Entah ini pikiranku saja, aku merasa wanita itu habis menangis. Tak ada bedanya karena hujan, tapi terlihat. Wanita itu meletakkan Koran basah itu tak jauh dari aku duduk.
“Kak, aku pulang dulu ya!” mendadak ia meraih tanganku dan menciumnya. Aku terkejut. Ia lalu mengembangkan salah satu payung dari tiga payung lusuhnya. Aku baru paham. Rupanya sedari tadi ia menunggu ibunya selesai bekerja. Karena sang ibu tak membawa payung maka Rahmat menanti wanita itu dengan setia.
Mendadak bayangan Ibu melintas di kepalaku. Ah, Ibu. Apa kabar Ibu disana?
Lamunanku tersandung pandangan. Koran basah tadi. Aku buru-buru bangkit, namun sosok Rahmat dan ibunya telah tertelan polusi. Hujan sudah reda. Namun lagi-lagi pandanganku tertumbuk pada headline di salah satu kolom… Jantungku berdebar hebat. Lebih hebat dari ketika Bana mengutarakan perasaannya padaku.
… bernama Ika (23) ditemukan tewas tak bernyawa. Berdasarkan hasil otopsi diduga korban melompat dari lantai 7 tempat ia bekerja. Saksi mata melihat wanita itu melongok dari jendela berkali-kali, seperti memastikan sesuatu. Namun kepolisian setempat belum memberikan penjelasan lebih lanjut. Majikannya pun bungkam. Wanita yang berasal dari Klaten ini…
Din!
Suara klakson mobil mengagetkanku. Bana.
“Maaf, sayang. Aku tadi ketiduran, jadi nggak baca SMS kamu. Maaf… Yuk!” katanya setelah menurunkan kaca mobil.
Dengan gemetar, aku mendekati mobil dan menunduk agar sejajar dengan Bana.
“Sayang, aku ingin berganti model rambut. Aku rindu rambut ikalku. Just let me be myself…”
Seorang pemulung—the real eco-living assistant in megapolitan—berusaha memilah sampah yang berserakan. Matanya menyapu semua titik, mencoba mendeteksi keberadaan benda kumuh yang menjadi periuk nasinya. Ah, Koran! Dengan riang ia memasukkan Koran yang tertunduk lesu di tas kursi halte ke dalam karung goni dekil miliknya.
Ipannnn,,, Ceritamu bagus sekali.. Layak untuk dipublikasikan... Ternyata oh Ternyata... Kamu juga memiliki bakat dalam menulis...,,, Detil sekali ceritanya seperti novelnya andrea Hirata... Lanjutkan..!
BalasHapus