Kamis, 11 November 2010

Kertas Terakhir

 

Saya tercenung membaca postingan Dee tentang perjalanan salah satu masterpiece-nya, Perahu Kertas. Sekian lama karya fiksi itu mengendap dalam pikiran dan goresan tak berwujud seorang Dewi Lestari, hingga kemudian menjelma menjadi sebuah novel cukup tebal. One of my favourite.
Baru tadi malam saja membaca ulang Perahu Kertas untuk kelima kalinya, dan masih saja terharu dengan Keenan ataupun Kugy. Mereka selalu berhasil membuat saya memandang diri saya untuk menanyakan hal yang sama : apakah saya sudah berbuat sesuatu untuk hidup saya? Untuk impian saya? Dan lagi-lagi hati kecil saya menjawab, belum.
Saya mencintai buku, terlalu mencintai apapun yang bisa dibaca. Sehingga meskipun saya tertarik dengan salah satu artikel menarik dalam catalog Gramedia Bibliophile mengenai bookcrossing, saya hanya menghela napas. Seperti yang sedikit saya kutip dari artikel tersebut : if you love your books enough, let them go. Saya merasa cukup mencintai buku yang saya miliki dan inginkan, dan meyakini itu. Bagaimana cara mencintai buku saya? Yahh, mungkin dengan membacanya berulang kali, merekomendasikan buku tersebut pada teman-teman terbaik, dan merawat buku yang saya miliki dengan sepenuh hati. Saya bagaikan induk ayam yang sangat takut dan khawatir ketika ada ayam lain yang hendak mematuk anak saya. Tanyakan pada teman-teman disekitar saya, berapa gelintir orang yang sangat ekslusif mendapatkan kesempatan untuk menjamah koleksi buku saya? Sedikit. Jikapun boleh, entah berapa syarat yang dipastikan mengusik keasyikan mereka membaca. Sedikit banyak, saya bisa belajar bagaimana karakter orang-orang di sekitar saya dari cara mereka memperlakukan buku. Tapi tak selalu seperti itu, karena toh, saya bukan cenayang.
Saya masih tak bisa membayangkan jika saya mengikhlaskan satu set Harry Potter saya begitu saja di jalanan, atau taman, atau kebun binatang. Harry Potter yang saya koleksi, contohnya. Saya mengenal buku fiksi favorit dunia ini sejak saya duduk di kelas 3 SD, sekitar belasan tahun lalu dari majalah Bobo. Saya langsung jatuh cinta dan berniat menjalin hubungan dengannya. Praktis, tahun demi tahun pertumbuhan Harry mengiringi pertumbuhan masa puber saya. Ada ikatan begitu kuat antara saya dan setiap buku, kalau saya boleh congkak. Tapi untuk meninggalkan buku tersebut dimanapun dan berharap buku itu menemukan ‘jodohnya’? saya rasa belum. Miris bagi saya ketika mengetahui buku itu hanya akan terbengkalai di tangan yang salah. Tersapu hujan, tercabik anjing, berakhir di pembuangan sampah. Saya tahu bahwa itu berarti saya tidak terlalu mencintai buku-buku saya karena tak membiarkan mereka melintasi tangan dan benua (atau kota-kota di Indonesia, karena saya belum pernah mengarungi dunia). Mungkin suatu hari kelak saya akan mengikhlaskan kepergiannya.
Saya mencintai buku, entah kenapa. Secara fisik, saya sangat menikmati menggenggam sebuah buku, merasakan teksturnya, menelusuri kalimat demi kalimat yang terjalin. Dan bila ada yang bertanya pada saya, jika kamu menyukai buku, tentunya kamu akan menyukai e-book bukan? Dengan tegas saya akan menggeleng. Dampak pemanasan global memang sangat besar. Dan berbagai kebijakan telah digunakan untuk menyikapi hal tersebut. mungkin sedikit berlawanan dengan falsafah hidup para aktivis lingkungan, namun saya merasa sedih ketika banyak buku hanya muncul dalam bentuk e-book. Praktis, efisien, ramah lingkungan. Tidak bagi saya. Saya seperti kehilangan sesuatu yang sangat dekat dalam hidup saya. Percakapan ini terjadi belum lama ini, 
“Aku penasaran dengan Twilight, sebagus apa sih?”

“Kamu belum membacanya?”

Saya hanya menggeleng, persetan dianggap udik.

“Aku ada. Mau?”

“Tentu.”

“Oke, besok aku bawa laptop. Kamu copy aja. File-nya sudah aku compress.”

“ … ”

Detik itu saya patah hati.

Well, saya bukannya pemuja buku dari aliran manapun di dunia ini. Saya hanya sangat menyukai euphoria yang saya hirup ketika berada di toko buku, dengan tumpukan buku nampak rapi atau tersembunyi berdebu di pojokan gudang perpustakaan, kebahagiaan ketika tak sabar membalik-balik halaman sebuah buku, merasakan volume sebuah buku dari ketebalannya… semua hal yang nyata saya rasakan dengan seluruh indera saya.

Hmmm, saya tidak terlalu konvensional. Namun saya juga bukan pengikut mainstream yang baik. Saya suka keteraturan dan kenyamanan dalam hidup saya. Entah berapa juta, miliar, triliun pohon yang ditebang demi seluruh buku di dunia. Saya yakin, seiring kesadaran manusia akan kiamat yang semakin dekat maka usaha memerangi pembinasaan pohon pun akan meningkat. Dan tinggallah saya yang (mungkin) harus mengalah perlahan-lahan, mencari deretan judul favorit saya kelak dalam direktori e-book.

mencintai apapun dengan rasa takut untuk kehilangan... sebenarnya hal tersebut hanyalah tameng untuk menutupi idealisme pribadi perasaan ingin dicintai. Dan itu belum mendekati cinta

1 komentar:

  1. gw juga kurang setuju dengan e-book.. G tau kenapa, rasanya kalo kita mbaca, dan yang dipegang itu berat, Terasa bener bener mbaca.. seolah olah seperti mau makan , kita harus pakai nasi, kalau cuma roti, mesti ada perasaan gag kenyang..

    Tapi hobi kamu sama banget kayak gw pan.. Seneng banget mbaca,, Tumpukan novel2 dari yang jelas sampe gag jelas dibabat habis...

    Oh iya,, Sekali lagi, Tulisan mu Bagus...

    BalasHapus