Adik saya, seorang gadis kecil—kecil karena dia masih berlindung di bawah kehangatan keluarga, seperti saya—adalah manusia. Sebenarnya saya juga ingin tertawa membaca apa yang saya tulis. Tapi kenyataan ini yang seringkali saya lupakan, atau banyak orang lupakan. Manusia, makan, minum, bernapas, bergerak, tumbuh, berkembang, adalah serangkaian ciri makhluk hidup yang diajarkan oleh ibu guru saya yang sangat sabar. Tapi apakah hanya itu saja yang bisa kita dapatkan setelah kita dewasa? Sekedar makan, minum, bernapas, bergerak, tumbuh, dan berkembang?
Sekitar tiga tahun yang lalu saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Fakultas Psikologi. Tujuan saya saat itu jelas, menjadi psikolog. Dan rupanya saya belum menyadari bebatuan seperti apa yang mengganjal saya : diri saya sendiri. Merasa cukup yakin dengan bekal otak dan serangkaian sesi curhat tidak akan menjadikan anda berperan sebagai psikolog handal. Saya, entah terlalu naïf atau bodoh (jujur, kedua hal itu berbeda tipis), masih berpikir bahwa saya akan menjadi psikolog seperti idola saya kala remaja bau kencur, Kak Seto dan seorang psikolog anggun yang wara-wiri di program instant idol Indo***r. Beuhhhh… saya menikmati rangkaian proses pembelajaran di kampus ini, berinteraksi dengan dosen, diskusi, sesi perpus, relaksasi (yang terkadang justru membuat mata lima watt saya semakin sayu setelah semalam suntuk begadang lembur laporan). Sungguh, saya tidak bohong. Tapi saya bohong bahwa kuliah di Psikologi adalah mudah. Totally bullshit. Mudah, bila kita sekedar mengamini birokrasi dan dikte-dikte cepat lulus. Tapi susah, ketika kita dilepas di kerumunan. Sumpah, bagai kerbau yang kebingungan di arena duel. Kita = kerbau. Dan lingkungan = matador. Sekali lagi, dalam imajinasi saya.
Upss… saya lupa, saya dan gadis kecil yang menjadi adik saya, adalah manusia. Bukan kerbau. Tapi entah kenapa kami berdua nampaknya tetap saja bingung dengan definisi manusia. Terkadang kami bingung menempatkan diri sebagai manusia secara ‘tepat’. Sesuatu yang tampak normal dalam kerumunan abnormalitas adalah minoritas, begitu pula sebaliknya. Tergantung sudut mana yang hendak diusung. Sebagai kakak, mungkin saya kurang memanusiakan adik saya. Memanusiakan melalui ilmu ‘wajib’ yang sudah saya dapat : empati. Sungguh, saya mampu memahami orang lain, bahkan orang asing yang kebetulan berpapasan dengan saya—sepasang kakek-nenek yang buta navigasi demi mencari cucunya di RS Sardjito kala gempa beberapa tahun silam. Saya mampu merasakan emosi mereka, seakan hal itu terjadi pada saya. Saya bahkan menangis ketika Jack mati meninggalkan Rose seorang diri gara-gara mati beku dalam salah satu scene Titanic! Lebih bodoh lagi? Saya bahkan menangis ketika saya tidak mampu menyelesaikan tugas ‘pembelajaran’ ketika menjadi siswa baru (membuat namecard dengan ukuran A, B, C, tapi tidak boleh D, E, F, blablabla. Harus tepat kalau tidak akan mendapat hukuman blablabla). Oh, baiklah itu adalah tangisan putus asa. Bukan empati. Tapi dengan adik saya? Hmmm… berbagai kesibukan memang membedakan dunia saya dengannya. Dan meskipun saya telah dibekali dengan ‘aji-aji’ sakti penakluk manusia dari beberapa matakuliah, tetap saja NOL BESAR ketika berhadapan dengan adik saya lengkap dengan pemikiran rumitnya terkait pubertas. Mungkin, sekali lagi maaf karena banyak asumsi-asumsi yang bertebaran di otak saya, hal tersebut memiliki alasan serupa dengan alasan kenapa seorang dokter tidak diperkenankan menangani keluarganya (setidaknya saya pernah membaca hal tersebut). Adik saya tidak lagi lucu menggemaskan seperti ketika ia masih balita, mendorong-dorong kursi dan memasukkan mainan atau apapun yang ditemuinya. Dia sudah dewasa dalam dunianya, mengenal lawan jenis, social network, dan tren masa kini. Lebih mementingkan rambut yang lurus, muka tanpa jerawat, bagaimana teman lawan jenisnya memandangnya, dan bagaimana menciptakan status yang menuai banyak comment.
Seharusnya saya adalah tameng dan filter terdekat yang bisa diraihnya. Adik saya tidak akan meraih saya ketika ia berada dalam zona pubernya yang nyaman. Mau tak mau, saya lah yang harus melakukannya. Dan saya lupa itu. Adik saya lebih nyaman bercerita pada sahabatnya ketimbang saya dan kakak lelakinya. Saya maklum, karena itulah yang saya lakukan ketika saya mengalami pubertas. Dan salah kaprah, saya menyadarinya kemudian. Karena ketika kamu melakukan hal terburuk, meskipun atas nama kredo sahabat sejati selamanya, sahabat tetaplah masih mungkin ‘hilang’ diterpa guncangan. Tapi keluarga tak akan pernah mengingkari bahwa kamu bukanlah bagian dari mereka, seburuk apapun kamu. Keluarga menerima kita apa adanya, sehingga terkadang kita bisa menjadi sedemikian ‘liar’ dan seenak udel ketika berhadapan dengan mereka (buat kalian yang merasa sebaliknya… yah, setiap orang punya opini masing-masing). Keyakinan kita pada keluarga, bahwa mereka tak akan meninggalkan kita, terkadang membuat kita terlalu sombong dan melupakan esensi keluarga itu sendiri.
Adik saya adalah manusia, karena dia memerlukan empati dari orang-orang terdekatnya. Tidak sekedar makan, minum, pulsa, teman, baju baru, pacar, uang jajan. Dan saya adalah manusia juga, karena saya adalah hewan satu-satunya yang berpikir tentang masa mendatang (mengutip Daniel Gilbert, Stumbling on Happiness—manusia adalah hewan satu-satunya yang berpikir tentang masa mendatang), dan saya (akhirnya) kembali memikirkan masa mendatang adik saya. Saya mungkin belum bisa berpartisipasi sebagai relawan Merapi saat ini, tapi saya bisa mulai berpartisipasi menjadi relawan bagi orang terdekat saya ini, adik.
Sungguh, kita tak akan mati menjadi diri sendiri. Tapi mungkin memang diperlukan barikade yang kuat ketika kita dianggap abnormal di situasi abnormal. Dan aku memilih barikade bernama 'keluarga'
wah wah, curcol ki sep ceritane..
BalasHapuslanjutkan nulis sep.. dobel jempol.. d^^b