“May… kantong-kantong plastikmu dibuang aja yaaa! “
Teriakan Auli lebih mirip suara orang terjepit pintu saking nyaringnya, sukses membangunkan saya dari acara eksperimen masker ceria bersama setengah cangkir oatmeal mentah, tiga sendok teh madu, serta satu butir telur. Huhuhu maafkan saya, tapi terkadang menjadi ‘aneh’ dengan cara masing-masing adalah terapi ampuh untuk mengukuhkan eksistensi diri…
Aduhh… anak yang satu itu kadang rajinnya benar-benar sangat berlebihan! Dengan setengah kesal saya terpaksa menyeret diri menuju ruang tengah : sukses mendapati Auli beserta kemoceng, vacuum-cleaner, serta lap.
“Aku buang ya, May! Berantakan… “ tangannya sudah sibuk mengacung-acungkan kotak sepatu berisi tas plastik warna-warni yang sebenarnya telah terlipat rapi itu.
Saya berdecak kesal.
“Jangan. Aku masih perlu itu semua.”
“Untuk apa? Berminat ikut Guinness Book of Record—pengepul tas kresek terbanyak?” kekehnya geli.
Saya mengibaskan tangan dengan tak sabar, tak peduli pasti muka sudah tak karuan karena masker belum bekerja maksimal.
“Merawat bumi.” Dan saya sangat bisa memastikan reaksi Auli.
“Halahhh…apaan si kamu? So kinda something called go green wannabe deh. Sibuk aja mikirin bumi. Isu itu sedang mengering akhir-akhir ini. Lebih eksis Gayus sama si Bachdim. GoGreen campaign disini hangat-hangat tapal kuda, May.”
Ya ya ya.
Hangat-hangat tapal kuda.
“Dan lagi—“ Auli masih bersemangat melanjutkan ocehannya sembari sibuk mendorong jauh-jauh debu tipis di atas rak buku. Kebetulan kami memang sharing apartemet. Jangan keburu beranggapan kami sok kaya—sumugih, kata Ibu—meskipun rekanan saya ini lebih apatis pada pentingnya menjaga lingkungan dari ancaman global warming, namun setidaknya kami memiliki visi yang sama bahwa ‘kami-tak-ingin-tampak-kurang-keren-dengan-tertangkap-basah- terjangkit-tipus-karena-tinggal-di-kos-kumuh’. Ada investasi-investasi tertentu yang menyebabkan saya berjuang mati-matian untuk tetap adil diantara stiletto Manolo Blahnik dan apartemen. Hahaha. Kembali pada Auli, “—sama saja berteriak di tengah gurun kalau hanya kita sendiri yang melakukan hal itu sementara orang lain tidak. Toh, orang-orang lebih suka beli tas baru non plastik demi isu ini. Kamu ini, melawan arus kemana-mana ya. Orang-orang pada demo anti kresek, ehh kamunya bawa kresek kemana-mana. Menurut hematku… “
“ Menurut hematku—“ kali ini aku melakukan manuver balik, “—kalau hal itu tak dimulai oleh individu-individu, senyeleneh apapun, maka ide itu hanya menjadi seonggok kaleng rombeng. So, sini plastikku. Aku berhak dong atas teritoriku, selama aku tak mengganggu koleksi Victoria Secret-mu. ” sambungku kemudian dengan jail.
Muka Auli jadi merah padam.
“ Mayyyyy!!! Jangan bilang kamu mengacak-acak lemariku ya??? “
Saya terkikik geli mendengar suara panik Auli. Yah, saya sudah melarikan diri lebih dulu dong sebelum kena sambit kemoceng.
Sore hari, hypermart dekat kantor.
“…totalnya 190.450 rupiah, Mbak. “
Sembari mengangsurkan empat lembar limapuluhribuan, saya melirik hasil belanja bulanan kali ini. Hmm… cukup banyak.
Pramuniaga lain langsung dengan sigap menarik plastic-plastik putih demi membungkus belanjaan saya.
“Emm, nggak usah pakai plastik itu Mas. Saya bawa sendiri.” Tangan saya ganti sibuk mengaduk-aduk tas, mencari si tas plastik yang selalu saya simpan sebagai cadangan kala bepergian.
Sekali lagi saya bisa membayangkan cibiran Auli, bahkan membayangkan apa yang pasti dikatakannya,
“Semua sudah disusun sedemikian efisien. Dan kamu mengubahnya menjadi sedikit lebih rumit dan ribet.”
Hm, cuma sedikit kan, Li?