Aku
suka makan. Masalah buatmu?
Aku
tak peduli mau macam apa makanannya, tempatnya, atau atmosfernya, yang penting
makan. Seperti yang kamu bilang, makanan buatmu itu cuma dua : enak atau enak
banget.
Tidak
ada justifikasi khusus bahwa perut harus diisi di tempat A, dengan menu B, dan
dengan C.
***
Pertama
kali aku mengenalmu dari suatu angkringan di pojokan jalan.
Ya,
angkringan.
Angkringan
sederhana, dengan lampu teplok
temaram, nyamuk celamitan, dan guyub yang spontan. Dengan celana
pendek, kaos lawas extra satu ukuran,
sandal jepit, sendiri--mencomot bakwan, ceker, sate usus, nasi bakar dua, dan
wedang jahe. Tak peduli keriuhan, tak peduli kepengapan yang ditimbulkan asap
rokok bersahut-sahutan. Aku lapar. Masalah, buatmu?
Entah
seasyik apa bentukku saat makan, sampai suatu titik aku menemukan perasaan
ganjil--merasa diamati. Sebisa mungkin tak peduli, aku menambahkan kembali dua
potong mendoan hangat di atas nasi teri yang masih separuh jalan.
Hingga,
lama-lama gerah pun menjadi jengah.
Entah
naluri mana yang menggiring, hingga mata tertumbuk ke sepasang mata lain, yang
balas menatap dengan minat--err...atau mungkin lebih tepatnya--heran.
"Laper,
Mbak?" tanyanya, lebih ke arah geli.
Aku
tak mengenalmu. Bukan orang daerah sini pula. Jadilah aku hanya sekedar
membalas dengan senyum ala kadarnya.
Aku
lapar, masalah buatmu?
"Piro,
Mas?"
Buru-buru
aku mengeluarkan gumpalan uang dari dalam saku celana. Uff, mau hujan!
"Pitung
ewu, Mbak."
Selembar
uang sepuluhribuan bertukar manis dengan tiga lembar seribuan yang tak kalah
kucel, dan aku buru-buru berlalu, meninggalkan pandangan gumun-mu yang
masih terasa mengikuti.
***
Setiap
orang butuh pelarian, kan?
Pelarian
dari rasa bersalah, takut, stres, dan entah apa lagi. Seperti kali ini. Malam
yang stres. Malam yang mawut. Efek sempurna ulah bos besar yang
memberikan draft deadline dalam
jangka waktu satu kali duapuluhempatjam. Errr... ralat, kurang dari
duapuluhempatjam, karena hingga saat ini menunjukkan jam sembilan seperempat,
aku masih duduk di pojokan lounge.
Bengong, blank, sementara minuman dingin warna-warni di depan yang masih
utuh malah jadi seperti mengejek. Sudah tiga jam berlalu, dan screen di depan mata samasekali kosong,
tidak terisi bahkan oleh satu huruf pun.
Tempat
ini, adalah lounge favorit untuk
pelarian dadakan. Favorit karena tuna sandwich-nya yang teristimewa.Tempat ini
adalah pelarian, ketika otak sedikit perlu privasi dan badan sedang tidak ingin
terlibat personal space yang terlalu
dekat dengan orang terdekat sekalipun.
Dan
ya, berpikir terlalu lama selalu menguras energi. Usus mulai mencerna hal semu,
berteriak-teriak untuk segera diisi. Well, tuna sandwich's time.
Mata
mulai jelalatan mencari sosok pramusaji yang rada-rada nganggur, mengingat
malam ini entah kenapa lounge ini agak
padat oleh manusia.
"Mas!"
"Silakan,
Mbak."
List
menu diletakkan di meja.
"Tuna
sandwich, satu." tanpa membuka list menu samasekali—saking hapalnya—aku
mengembalikannya pada si pramusaji.
"Loh--"
"Wah--"
Feeling my hands start
shaking
Hearing your voice I’m overjoyed
Dan
untuk kali kedua ada dua pasang mata beradu.
I’m sorry but I have no
choice, you’re only getting better
Maybe you have your reasons
Maybe you’re scared, you’ll be let down
It
happen.
***
"Nih."
Gulali.
Bolang-baling. Telur merah. Sate kikil.
Dengan
agak semena-mena kamu menjejalkan kombinasi makanan tadi di pangkuanku.
"Sebegitunya
aku tampak kelaparan, ya?"
Selarik
cengiran membalas sambil mengangkat bahu. Sementara mulutnya tak kalah sibuk
mengunyah bolang-baling.
Sekaten
hari kedua. Selalu penuh. Selalu bergairah. Berburu jajanan murah meriah.
Entah
berapa periode Sekaten yang aku absen. Event wajib masa kecil yang kini berlalu
begitu saja. Tergerus dengan hal-hal lain yang konon lebih penting. Meski dalam
hati, kadang ada selipan doa : ijinkan aku datang kembali ke Sekaten ini. Dan
doaku terkabul. Kali ini, menyambangi Sekaten sebagai perhelatan masa kecil,
aku tak sendiri.
"Bianglala,
yuk!"
Tanpa
tedeng aling-aling, kesigapan yang mengejutkan, kamu memasukkan semua jajanan
di atas pangkuanku ke dalam tas.
Aku
kaget. Aku kehabisan kata-kata. Aku terkena serangan jantung dadakan--ouch.
Dengan
semena-mena kamu menggandeng tanganku, setengah menariknya, tanpa aba-aba.
Menunjuk-nunjuk bianglala yang berputar ala kadarnya, hiburan murah rakyat
semesta. Tertawa.
Kamu...terbuat
dari apa?
Oh then maybe, maybe if you hold me baby
Let me come over I would tell you secrets nobody knows
I can not overstate it, I will be overjoyed
***
Gemerisik rintik hujan yang samar-samar,
malu-malu untuk mengguyur jalanan, musikalisasi yang pas untuk menemani
senja.
"Lama sekali, yaaa."
"Kenapa, kamu sudah lapar ya?" dia
tampak begitu geli demi melihat tampangku yang sudah semi kusut. Yah,
kelaparan.
"Iya, aku lapar. Masalah buatmu?"
Kamu langsung tertawa,
"Tetap, tidak berubah. Hehehe."
"Monggo,
Mas, Mbak."
Dua piring beralas daun pisang semi
pincuk, telur bebek, ayam suwir, areh, sambel goreng krecek kacang tolo,
menyelimuti nasi pulen yang mengepul pekat di udara. Gudeg.
Tanpa banyak kata, sesendok demi sesendok mulai
beradu cepat masuk ke mulut. Panas, lapar, pedas, sementara hujan masih
mengguyur. Nikmat!
"Hmmmmm..."
"Enak?" kamu bertanya, dengan heran,
seperti beberapa tahun lalu.
"Iya!" jawabku dengan terus menyendok
nasi. Persis seperti kuli yang dipaksa membangun candi dan tidak diberi makan
tigapuluh hari.
"Bu, boleh tambah suwiran ayamnya?" dan,
aku makin tak tahu malu.
Si Ibu cuma mesam-mesem, lalu mengangguk.
Aku makan kian lahap. Hingga aku merasa ada yang
memperhatikanku. Kamu.
"Kok nggak dimakan? Enak lho." aku
menunjuk piring nasinya yang baru setengah dimakan, dengan mulut masih setengah
mengunyah.
"Beberapa tahun kedepan, aku bakal kangen
lihat ekspresimu waktu makan seperti ini..."
Aku tahu, mungkin aku harusnya berhenti makan.
Dan menanggapi perkataanmu barusan dengan lebih serius. Tapi maaf, aku tak
bisa. Aku terus mengunyah, minum seteguk, lalu mengunyah lagi. Seakan-akan ini
adalah kesempatan terakhir aku menyantap makanan selezat gudeg. Maaf, jika
tidak terus mengunyah, aku akan menangis. Dan itu pasti akan lebih
memberatkanmu pergi.
Ini, deja vu.
***
And maybe, maybe let me
hold you baby
Let me come over I would tell you secrets nobody knows
I can not overstate it, I will be overjoyed
Happy birthday, dear.
You're a box of chocolate. Surprising.
You're a whole package of 'nasi teri' set. Mix
my feeling, indeed.
Stay hungry, stay lovely.
For the next 1001 culinaries trip ahead, wait
for me
Happy birthday, dear.
Sekotak cokelat.
Dua voucher buatan tangan—tulisan tanganmu—bertuliskan
: voucher makan angkringan sepuasnya,
untuk yang berulangtahun hari ini.
"...beberapa minggu lalu ada yang kesini,
Mbak. Pokoknya kalau Mbak dateng, Mbak bebas mau makan apa aja...Oya, selamat
ulang tahun ya, Mbak."
Mas-mas angkringan nampaknya juga kok kamu
bodohi, ya? Aku tersenyum simpul.
" Bakwan, ceker, sate usus, nasi bakar dua, sama wedang jahe
ya, Mas!”
“Waduh, lapar Mbak?”
Iya, masalah Mas? Dalam hati aku membatin setengah geli.
Kalau buat kamu, kelak aku lapar itu juga akan jadi
masalahmu :)
And if you want, we’ll
share this life
Anytime you need a friend, I’m gonna be by your side
When nobody understands you, well I do