Senin, 21 Februari 2011

Apart-men

 












“Buat apa dibangun apartemen?”

“Ahh, bodoh kau. Itu investasi bro. Investasi eksistensi. Taulah, banyak orang kaya di negri ini yang suka bergaya Hollywood macam James Bond yang memiliki mansion segudang. Yah…karena membeli ranch macam Michael Jackson dengan Neverland itu bagai mimpi, nyicil dulu lahh dengan apartemen…”


“Buat apa dibangun apartemen?”

“Strategis bro… kemana-mana dekat. Akses menjadi lebih mudah dan capcus. Ke mall, tinggal turun. Mau renang, tinggal ke atas. Semua bisa didapat dengan jalan kaki. Ngirit! Itung-itung go green lahh…”


“Buat apa dibangun apartemen?”

“Gaya hidup masa kini. Pusing saya bergulat dengan rutinitas. Perlulah hunian adem ayem. Merogoh kocek sedikit tak apa lah. Kayak orang susah saja.”


“Buat apa dibangun apartemen?”

“Hemat, Bebebh… daripada punya rumah sendiri?? Tanah sudah tambah mahal, belum biaya maintenance-nya. Widihhh…kagak nahan. Cukup dengan apartemen, voila! Hidup menjadi lebih sempurna. Sophisticated, luxurious, glamorous. Dan lebih elite dong… Itu tuh, nyontek lagu jadulnya NEO pas kita muda : orang borju tinggal di daerah pemukiman elite.”



“Buat apa dibangun apartemen?”



Berita yang ada di koran, media, apapun yang menyentuh ranah publik sudah sangat lebih dari cukup sekedar untuk memperlihatkan bahwa apartemen adalah apart-men. Pemisah kaum elite dengan kaum pada garis batas. Pemisah realitas dengan surga buatan, lengkap dengan taman kota artifisial, jalur hijau artifisial, kenyamanan artifisial. Tidakkah mereka bisa melihat kenyataan yang ada di luar blablabla bay, blablabla city, blablabla permai, blablabla blablabla?


Rumah kumuh berdempet-dempet. Check.

Kali banjir. Check.

Malaria. Check.

Daerah resapan berkurang. Check.

Abrasi pantai. Check.


Mari menangis dalam hati. Apapun yang artifisial tampak begitu akbar pesonanya daripada yang natural. Repot.


P.S. : mungkin kehidupan sedikit lebih baik jika para pengembang yang terhormat menyisihkan keuntungan gila-gilaan mereka untuk mendirikan apartemen bagi para tergusur. Apartemen yang apartemen. Bukan apart-men.

Jumat, 18 Februari 2011

Jobseeker Rhapsody




“Miaawwww…”
Lebih dari cukup lenguhan kucing liar di pinggiran gang untuk membuat suasana larut makin mencekam. Namun sayangnya tak menjadi alasan yang cukup kuat bagi Niya untuk menghentikan aktivitasnya detik itu juga. Di hadapannya bertaburan buku-buku psikotes hasil pinjaman sana-sini. Maklum, uang hasil part-time nya hanya cukup untuk menanggung desah hidupnya selama sebulan secara pas-pasan.

“Tembus Psikotes dalam Sekejap…” lirih ia bergumam.

Matanya sudah sangat lelah bahkan untuk sekedar mengeja. Namun ia tahu ia harus. Ia harus membawa kabar ke kampung bahwa anak perempuan emaknya akan menduduki posisi elite di perusahaan, berpenampilan canggih dalam balutan blazer koleksi terbaru, seperti di majalah-majalah.

Memasuki halaman ke duapuluh, pertahanan Niya tak terbendung lagi. Lelah dengan pikiran dan harapan-harapannya. Satu kuapan besar, dan ia tersungkur lunglai di atas meja, lengkap dengan buku di atas muka.


***


Pagi yang cerah. Secerah penampilan Niya. Berhati-hati ia mengamati penampilannya di depan kaca. Blus satin hasil berburu diskon kesayangannya, rok hitam selutut, berpadu tas terbaik yang dimilikinya. Poles sana, poles sini. Sedikit. Karena bedaknya sudah menipis.

“Hmm…cukuplah.” Ia bergumam sambil mematut-matut diri di depan kaca. 

Setelah dirasa cukup, Niya memutuskan untuk segera berangkat menuju perusahaan tempat ia akan memasukkan lamaran. Hatinya sungguh berdebar, ketika tiba di perusahaan tersebut. Hawa sejuk air conditioner menerpa peluh di wajahnya. 

“Silahkan tunggu dahulu, Mbak.” Suara resepsionis di lobi terdengar begitu merdu.

Dengan patuh Niya menunggu. Selain Niya, tampak beberapa orang juga tengah menunggu. Lima menit pertama, masih baik-baik saja. Lepas dari itu, ia mulai gelisah. Kakinya terayun ke depan-belakang, dampak jika ia mulai tak nyaman.

“Wawancara juga, Mbak?” tanya pria di samping Niya. Tampaknya ia sedikit terganggu dengan ulah Niya yang mengayun-ayunkan kaki. Pria itu tampak begitu sederhana, hanya memakai kemeja lengan pendek yang tampak lusuh. Nampaknya ia berusaha keras menyisir rambutnya agar mau rebah. Sementara itu tangannya mengapit map yang pasti berisi berkas-berkas pribadi.

Niya mengangguk sekilas, 

“Mas juga?” sambungnya berbasa-basi.

Pria itu mengangguk sambil tersenyum. 

“Dari universitas mana, Mbak?” tanya pria itu lagi.

Berusaha merendah, Niya menjawab pertanyaan yang diajukan padanya sebiasa mungkin. Yah, susah untuk tidak bangga. Niya begitu beruntung bisa masuk universitas ternama, menjadi mahasiswi aktif dengan IPK cumlaude, dan tentunya pasti akan bisa mendapat pekerjaan idaman di perusahaan bergengsi. Hm…terkadang embel-embel akreditasi sempurna suatu universitas bisa membutakan seseorang.

“Kalau Mas?” Niya ganti bertanya, sekedar basa-basi.

Pria itu tersenyum simpul, cenderung malu-malu Sejurus kemudian ia menyebutkan salah satu universitas swasta yang lebih terdengar seperti antah berantah di telinga Niya. Niya tersenyum dan hanya mengangguk sopan. Sedikit diliputi bangga dalam hati, Niya semakin yakin bisa menembus seleksi kali ini. 

“Mbak Kaniya Purnamawati?” mbak-mbak administrasi memanggil nama Niya untuk memasuki ruang interview. Dengan keyakinan penuh Niya berjalan menuju ruang tersebut.


***


Entah sudah berapa bungkus tisu yang ia hamburkan. Berantakan di sekeliling tempat tidur. Menyesali setiap kebodohan yang dilakukannya, meskipun ia tahu dengan pasti itu tak akan mengubah keadaan atau memberikannya kesempatan. Jelas sekali ucapan wanita itu, menembusnya begitu tajam. Ah…

“Maaf, dengan berat hati kami tak bisa meloloskan Anda. Apa yang Anda lakukan sangat buruk, karena ini berkaitan dengan masalah value. Seharusnya Anda tak perlu mencurangi kami, apalagi diri Anda sendiri. Kepribadian bukan hal yang harus dimanipulasi.”

“J-jadi…saya tidak bisa melanjutkan ke tahap berikutnya?” 

Wanita itu hanya menggeleng, prihatin.

“Sebenarnya bisa saja saya mem-blacklist Anda dari semua perusahaan klien kami, tapi saya yakin Anda bisa berubah. Tapi maaf, belum kali ini.”

Andai aku tak sebodoh itu mencurangi diriku sendiri…Niya bergumam pelan, membiarkan air matanya bergulir lagi. Nanar ditatapnya setumpuk buku psikotest, tip-tip tembus psikotest, coretan gambar simulasi disana-sini. Semua adalah sekedar bullshit


***


. Hujan mendadak turun begitu deras dan tiba-tiba. Tanpa senjata apapun, Niya terpaksa berteduh di teras salah satu gedung. Gedung yang pernah menolaknya beberapa bulan berselang.

“Loh, Mbak yang waktu itu?” seseorang menepuk bahu Niya.

Sedikit terkejut, Niya menoleh. Si pria antah-berantah tempo hari. Kali ini lebih rapi dan meyakinkan. Niya heran sendiri melihat pria itu memiliki ingatan sekilas yang cukup baik tentang dirinya. Mendadak Niya terselubung rasa penasaran yang begitu kuat.

“Mas, bagaimana hasil interview tempo hari?” burunya. Ia tahu tak penting, tapi rasa ingin tahunya lebih besar.

“Saya berhasil bekerja disini, Mbak. Kalau Mbak bagaimana? Saya-“

Niya buru-buru memotong,

“Dan, apakah Mas belajar mati-matian demi psikotest? Mas beli buku-buku psikotest? Atau…mencari tahu cara menggambar orang atau pohon yang baik dan benar dari internet? Dari orang-orang?”

Kali ini si pria antah-berantah benar-benar bingung. 

“Tidak… “ sahutnya.

“Kenapa, Mbak?” tanya pria itu lagi.

Ucapan pria itu terbawa angin dan deras hujan. Sedikit tertekan, namun lega luarbiasa. Ia ingin berterimakasih detik itu juga pada wanita yang mewawancarainya tempo hari. Benar, tak ada yang bisa mengalahkan keberuntungan dan keyakinan. Termasuk kecerdasan sekalipun. Selalu ada tempat untuk kompetensi mental :)




Selasa, 01 Februari 2011

Quicker Old

Memang sih, ada rasa yang menggelitik ketika mengetahui harapan kita bertahun-tahun lalu ternyata menjadi nyata di depan mata, seperti yang satu ini



coretan gila



Coretan ini saya buat di atas selembar kertas loose leaf pada pertengahan mata kuliah (saya kurang yakin mata kuliah apa, yang jelas pastilah mata kuliah tersebut sangat membosankan :p). Belum lama ini saya menemukan kembali coretan ini terselip diantara tumpukan kertas bekas yang hendak saya kilokan. Jujur, saya tidak pernah terlalu yakin pada bagaimana kita memvisualisasikan visi hidup kita. Namun tanpa sadar saya melakukannya, dan alhamdulillah saya mendapatkannya... *sujudsyukur

Beberapa tahun lalu, dalam kertas tersebut, di tengah ketidakyakinan saya atas mata kuliah yang saya jalani, (pada bagian atas pic yang terpotong) saya menulis :


Ingin dan akan lulus cepat Februari 2011 dan cumlaude dengan IPK 3.50 dan dengan masa tunggu kerja max sebulan 3 bulan dan diterima di perusahaan swasta di Jkt Jogja



... dengan estimasi skripsi 3 bulanan, ikut KKN reguler, dengan nilai paling jelek 1 B/C, lulus tahun 2011. Saya tahu saya congkak (Oh God, please forgive me) jika ada yang membaca ini. Tapi ini yang saya tulis... membuat saya begitu terharu bertahun-tahun kemudian. Saya masih tidak tahu berapa lama saya menjadi waiting list atau dimana saya akan bekerja kelak (sejauh ini). Tapi saya masih berusaha berharap :)




There are so much happy return in your life, if you believe :)


Westlife in Memoriam :)


Kemarin siang, rupa-rupanya saya kangen mendengar so last year boyband-Westlife-bernyanyi. Jadilah sambil beberes kamar sisa perang enam bulan melawan tugas akhir saya memutuskan untuk memutar, yap, kaset Westlife.

Sedikit bersalah, mendapati tumpukan kaset saya teronggok berdebu. Yah, entah sudah berapa lama saya tidak lagi memutar kaset setelah mengenal CD dan mp3. Technology save our lives. Hehe. Dengan sedikit harap-harap cemas, saya memasang kaset Westlife saya dalam player, berharap kaset ini sedikit lebih kooperatif daripada terakhir kali saya memutarnya : nge-roll parah dan membundet di beberapa bagian, mengakibatkan lagu ballad yang saya dengar menjelma menjadi repetan DJ (alias mampet). 

Sukses! Saya mendapati suara idola saya jaman kimcil kembali memenuhi ruangan, menemani aktivitas beberes kamar. Hmm, sudah lama sekali rasanya. Memiliki kaset Westlife pertama kali pada saat kelas 3 SD, setiap jam istirahat begitu antusias bergosip mengenai Mark dan kawan-kawan, niat banget nabung demi edisi khusus majalah Bobo yang memuat poster (atau tabloid Fantasi ya itu?? Duh lupa). 






 salah satu koleksi majalah jadul, era BOYBAND adalah dewa :p
bahkan Dea Ananda dan Andien tampak begitu polos dan lugu ...


 iklan CD dan kaset Westlife 'Coast to Coast'

 
 salah satu kaset Westlife fav saya... Mark tidak tampak gay :'( He's soooo damn cool



Manusia, okee…dalam hal ini, saya lebih tepatnya, memang aneh. Ketika semua menjadi sangat mudah dan instan, terkadang saya merindukan hal-hal konvensional yang sederhana, manual, bahkan memerlukan effort lebih keras untuk dinikmati. Kenapa? Karena upaya lebih itulah yang justru membawa lebih banyak kepuasan bagi saya. Benar kok,


Saya lebih suka bakmi jawa yang dimasak dengan anglo daripada mi instan (note : jika saya punya waktu lebih untuk mengantri)

Saya lebih suka menunggu dengan sabar demi memiliki Harry Potter #7 dengan hasil menabung daripada meminjam punya teman atau membaca e-book (note : yang sangat memprihatinkan karena bahkan saya belum membaca seri terakhirnya hingga saat ini, meski teman sudah menawarkan untuk meminjami dan saya memiliki versi e-book nya)

Saya lebih suka belanja langsung di toko daripada belanja on-line (note : terkadang masih kurang marem kalau tak melihat barangnya terlebih dulu).

Banyak keterbatasan ternyata ya, yang membuat hidup ‘terpaksa’ disederhanakan. Dan kita, berenang di dalamnya untuk meneguk demi sedikit jika tak ingin benar-benar tenggelam dan tertinggal :) Kali ini, saya sedang suka sekali (lagi) dengan lagu When You Came Around-nya Westlife…


When you come around
You know you pick me up when I’m feeling down
And I want you to know, baby, how can I show
Do I have to scream and shout


Sibuk mengingat-ingat kegilaan berburu merchandise Westlife, iseng kliping-kliping nggak jelas, menanti setiap video klip Westlife di TV, officially broken hearted ketika Nick Westlife ternyata sudah taken :)) Haha. Meretas kenangan ketika teknologi masih terlalu berharga memang menyenangkan. Pelarian sementara dari dunia bernama realita :p




Westlife, in memoriam :')  official soundtrack of my early puberty :p