Jumat, 18 Februari 2011

Jobseeker Rhapsody




“Miaawwww…”
Lebih dari cukup lenguhan kucing liar di pinggiran gang untuk membuat suasana larut makin mencekam. Namun sayangnya tak menjadi alasan yang cukup kuat bagi Niya untuk menghentikan aktivitasnya detik itu juga. Di hadapannya bertaburan buku-buku psikotes hasil pinjaman sana-sini. Maklum, uang hasil part-time nya hanya cukup untuk menanggung desah hidupnya selama sebulan secara pas-pasan.

“Tembus Psikotes dalam Sekejap…” lirih ia bergumam.

Matanya sudah sangat lelah bahkan untuk sekedar mengeja. Namun ia tahu ia harus. Ia harus membawa kabar ke kampung bahwa anak perempuan emaknya akan menduduki posisi elite di perusahaan, berpenampilan canggih dalam balutan blazer koleksi terbaru, seperti di majalah-majalah.

Memasuki halaman ke duapuluh, pertahanan Niya tak terbendung lagi. Lelah dengan pikiran dan harapan-harapannya. Satu kuapan besar, dan ia tersungkur lunglai di atas meja, lengkap dengan buku di atas muka.


***


Pagi yang cerah. Secerah penampilan Niya. Berhati-hati ia mengamati penampilannya di depan kaca. Blus satin hasil berburu diskon kesayangannya, rok hitam selutut, berpadu tas terbaik yang dimilikinya. Poles sana, poles sini. Sedikit. Karena bedaknya sudah menipis.

“Hmm…cukuplah.” Ia bergumam sambil mematut-matut diri di depan kaca. 

Setelah dirasa cukup, Niya memutuskan untuk segera berangkat menuju perusahaan tempat ia akan memasukkan lamaran. Hatinya sungguh berdebar, ketika tiba di perusahaan tersebut. Hawa sejuk air conditioner menerpa peluh di wajahnya. 

“Silahkan tunggu dahulu, Mbak.” Suara resepsionis di lobi terdengar begitu merdu.

Dengan patuh Niya menunggu. Selain Niya, tampak beberapa orang juga tengah menunggu. Lima menit pertama, masih baik-baik saja. Lepas dari itu, ia mulai gelisah. Kakinya terayun ke depan-belakang, dampak jika ia mulai tak nyaman.

“Wawancara juga, Mbak?” tanya pria di samping Niya. Tampaknya ia sedikit terganggu dengan ulah Niya yang mengayun-ayunkan kaki. Pria itu tampak begitu sederhana, hanya memakai kemeja lengan pendek yang tampak lusuh. Nampaknya ia berusaha keras menyisir rambutnya agar mau rebah. Sementara itu tangannya mengapit map yang pasti berisi berkas-berkas pribadi.

Niya mengangguk sekilas, 

“Mas juga?” sambungnya berbasa-basi.

Pria itu mengangguk sambil tersenyum. 

“Dari universitas mana, Mbak?” tanya pria itu lagi.

Berusaha merendah, Niya menjawab pertanyaan yang diajukan padanya sebiasa mungkin. Yah, susah untuk tidak bangga. Niya begitu beruntung bisa masuk universitas ternama, menjadi mahasiswi aktif dengan IPK cumlaude, dan tentunya pasti akan bisa mendapat pekerjaan idaman di perusahaan bergengsi. Hm…terkadang embel-embel akreditasi sempurna suatu universitas bisa membutakan seseorang.

“Kalau Mas?” Niya ganti bertanya, sekedar basa-basi.

Pria itu tersenyum simpul, cenderung malu-malu Sejurus kemudian ia menyebutkan salah satu universitas swasta yang lebih terdengar seperti antah berantah di telinga Niya. Niya tersenyum dan hanya mengangguk sopan. Sedikit diliputi bangga dalam hati, Niya semakin yakin bisa menembus seleksi kali ini. 

“Mbak Kaniya Purnamawati?” mbak-mbak administrasi memanggil nama Niya untuk memasuki ruang interview. Dengan keyakinan penuh Niya berjalan menuju ruang tersebut.


***


Entah sudah berapa bungkus tisu yang ia hamburkan. Berantakan di sekeliling tempat tidur. Menyesali setiap kebodohan yang dilakukannya, meskipun ia tahu dengan pasti itu tak akan mengubah keadaan atau memberikannya kesempatan. Jelas sekali ucapan wanita itu, menembusnya begitu tajam. Ah…

“Maaf, dengan berat hati kami tak bisa meloloskan Anda. Apa yang Anda lakukan sangat buruk, karena ini berkaitan dengan masalah value. Seharusnya Anda tak perlu mencurangi kami, apalagi diri Anda sendiri. Kepribadian bukan hal yang harus dimanipulasi.”

“J-jadi…saya tidak bisa melanjutkan ke tahap berikutnya?” 

Wanita itu hanya menggeleng, prihatin.

“Sebenarnya bisa saja saya mem-blacklist Anda dari semua perusahaan klien kami, tapi saya yakin Anda bisa berubah. Tapi maaf, belum kali ini.”

Andai aku tak sebodoh itu mencurangi diriku sendiri…Niya bergumam pelan, membiarkan air matanya bergulir lagi. Nanar ditatapnya setumpuk buku psikotest, tip-tip tembus psikotest, coretan gambar simulasi disana-sini. Semua adalah sekedar bullshit


***


. Hujan mendadak turun begitu deras dan tiba-tiba. Tanpa senjata apapun, Niya terpaksa berteduh di teras salah satu gedung. Gedung yang pernah menolaknya beberapa bulan berselang.

“Loh, Mbak yang waktu itu?” seseorang menepuk bahu Niya.

Sedikit terkejut, Niya menoleh. Si pria antah-berantah tempo hari. Kali ini lebih rapi dan meyakinkan. Niya heran sendiri melihat pria itu memiliki ingatan sekilas yang cukup baik tentang dirinya. Mendadak Niya terselubung rasa penasaran yang begitu kuat.

“Mas, bagaimana hasil interview tempo hari?” burunya. Ia tahu tak penting, tapi rasa ingin tahunya lebih besar.

“Saya berhasil bekerja disini, Mbak. Kalau Mbak bagaimana? Saya-“

Niya buru-buru memotong,

“Dan, apakah Mas belajar mati-matian demi psikotest? Mas beli buku-buku psikotest? Atau…mencari tahu cara menggambar orang atau pohon yang baik dan benar dari internet? Dari orang-orang?”

Kali ini si pria antah-berantah benar-benar bingung. 

“Tidak… “ sahutnya.

“Kenapa, Mbak?” tanya pria itu lagi.

Ucapan pria itu terbawa angin dan deras hujan. Sedikit tertekan, namun lega luarbiasa. Ia ingin berterimakasih detik itu juga pada wanita yang mewawancarainya tempo hari. Benar, tak ada yang bisa mengalahkan keberuntungan dan keyakinan. Termasuk kecerdasan sekalipun. Selalu ada tempat untuk kompetensi mental :)




3 komentar:

  1. Bukan pengalaman pribadi kan, Tin?? :p

    BalasHapus
  2. hmmmmmmmmmmmm cukup menyentuh mbak... betul juga kayaknya. saya pernah mengalami tes tanpa persiapan sma sekali, datang terlambat karena harus mengerjakan kewajiban. ee malah lulus. temen yang mati matian tidak. alhamdulillah sekarang PNS. betul juga kayaknya. psikologi adalah nilai kita sendiri, bukan pupur buku trik jitu.. Layak juara nih... yang lain biasa tuh tulisannya.

    BalasHapus
  3. hal yang sering dilupakan ya...
    padahal wktu wawancara dgn psikolog, kepribadian yang akan pertama kali dilihat, bukan kecerdasan...

    BalasHapus