Kamis, 07 Maret 2013

I called it lucky


Practically, saya sudah samasekali tidak lagi percaya dengan yang namanya jarak.
Itu adalah nonsense dan bulshit yang menyebar.

Bulan yang sama?
Hell no.

Tetap saja jauh.
Tetap saja tanpa kontak fisik.

So, bulan yang sama hanya ada di dalam sinetron menye-menye.

Kalau boleh memilih, mulai dari sekarang saya sudah tidak lagi ingin merasakan jarak.

***

"Gue ada temen nih, mau gue kenalin ga?"
"Orang mana?"
"Lagi tugas di Gresik, sih."
"Ng... jangan dulu deh ya. Hehehe."

*** 

"Ada yang mau kenalan, nih."
"He?"
"Iya. Saudaraku. Pas lagi main aja, kemarin aku cerita tentang kamu."
"Sial."
"Mau nggak?"
"Oh... tinggal dimana?"
"Di Bekasi sih, tapi lagi sering ke luar kota."
"Ow..."
"Nggak mau?"
"Ada yang lebih deket nggak?"

***

Pacarku memang dekat
Lima langkah, dari rumah
Kalau ingin bertemu, 
Tinggal nongol depan pintu

Pekngga. 
Dipek tangga. Dimiliki tetangga.

Saya dulu paling antipati pacaran satu daerah. Aneh rasanya. Tapi, setelah jarak pun juga sama anehnya, credo yang pernah saya dapatkan dari seorang teman kemudian ada benarnya, dan saya menelan ludah sendiri.


Kalau ada yang dekat, ngapain yang jauh.

karena, terkadang effort yang kamu keluarkan hanya akan ditanggapi sambil lalu. Tidak ada yang adil dalam jarak. Tidak ada yang baik-baik saja dalam jarak. Tidak ada hati yang bersih dalam jarak. 

dan kalau pada akhirnya jarak itu bisa dipersatukan...?

ya, itu keberuntungan. 




Ada yang rumahnya sekitar Bekasi?









Tidak ada komentar:

Posting Komentar