Saya menyukai perjalanan.
Bukan sebagai travel freak. Atau backpacker.
Saya penikmat perjalanan. Bukan karena tempat itu mahal dan komersil macam GWK atau Disneyland. Bukan.
Terapi.
**
"Hidup kamu membosankan."
"Ya?"
"Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah blingsatan mencari kesenangan."
"Sayangnya, aku bukan kamu."
**
Hidup saya membosankan. Justifikasi dari seseorang yang bukan diri saya. Itu lucu. Sebegitu gerahnya beberapa orang dengan urusan orang lain, eh?
Beberapa orang tampak begitu penting menjadi orang lain agar diakui sebagai 'orang yang menyenangkan.
**
'Keluar' selalu menjadi hal yang menyenangkan.
Tapi bila definisi keluar, perjalanan, dan berjalan-jalan saya berbeda dengan kamu, kamu, atau kamu, apakah itu dosa?
Setiap orang berhak atas perjalanan dan kesenangannya sendiri, kan?
Sebagai terapi.
Sebagai privasi.
Entah itu hanya untuk makan pecel lele di ujung kompleks, atau membeli satu dua keperluan bulanan, atau ikut Bapak ke pengrajin kayu langganan.
Bukan atas nama wisata atau efek prestisius yang didapat di balik suatu lensa kamera, lalu di share di socmed. Bukan.
long way to Solo. Golek gawe. 2011
long way to Mojokerto. Golek gawe. 2011
Bantul. handicraft shop
uthik-uthik batik unik. wayang
"Ibu kedah lenggah mawon, pun kula ingkang tumandang menika..."
(Ibu duduk saja, biar aku yang melanjutkan ini)
Bantul. piece of masterpiece
Perjalanan
untuk dinikmati, karena setelah satu rutinitas, ada hal-hal kecil yang
selalu terlewat mata. Bentuk syukur yang sederhana.
Perjalanan untuk dilakukan, karena mungkin suatu jalan terlalu lurus tanpa tikungan, tanjakan, belokan, lampu merah, jalan berlubang mampu membuat terlena lupa untuk berjuang.
Perjalanan untuk dilakukan, bahwa setelah saya sibuk 'berpetualang' ke mana-mana, maka saya ingat satu tempat untuk kembali,
Rumah.
...and come home...
Kak W, untuk travelogue yang menyadarkan bahwa perjalanan itu 'manusiawi'
Terimakasih :)