Ini baru menginjak pagi buta, lembayung semi subuh. Pukul tiga pagi lebih tiga menit. Ketika penanda telepon masuk dan mulai berirama.
Mungkin, ini lebih dari kata ‘mengantuk’ dan ‘lelah’, mengingat hari ini adalah pengawal minggu yang berat. Satu dari sekian banyak kemungkinan lain. Dan naluri itu tetap terjaga. Waspada. Mendorong untuk meraih benda mungil di bawah lipatan bantal, dan menekan YES.
“Halo.”
Di seberang sana. Dipisahkan entah padatan udara, selaput malam, cemerlang siang. Suara ketakutan bak seorang anak kecil.
“Aku takut.”
Pagi ini cukup dingin, berbeda dengan biasanya. Aku menarik selimut yang melorot sampai ke lantai. Mengatupkannya rapat-rapat hingga dagu. Mendengar permainan intonasi dan nada di ujung sana.
“Baru saja aku bermimpi... Mimpi kali ini lebih parah dari sebelumnya...
Pukul tiga lebih seperempat. Hembusan angin yang nekat menerjang dari sela-sela kusen semakin kejam menghujam. Semakin rapat selimut itu menghangat.
Aku disini tidak bisa mendengar suara apapun yang lebih intens daripada intonasi kekhawatiranmu. Kekhawatiran yang begitu dalam dan berkarakter. Ah. Perasaanku saja. Mungkin aku harus memaksa kakiku untuk sekedar memberdayakan coffee maker? Secangkir-dua cangkir kopi hitam?
Oke. Nanti pasti.
Diam, mulai menyimak kisahmu. Pagi ini, pukul tiga lebih limabelas.
“Aku menemukanmu terjebak di suatu ruangan. Terkungkung di dalamnya, terbatas jeruji dan papan kusam. Setiap hari aku bisa melihatmu dengan jelas. Emosimu. Kegelisahan yang mengalir. Pergolakan yang menguap. Setiap detik. Dari luar sana. Namun aku tak bisa berkutik. Mengamatimu bersusah payah keluar dari jalinan jeruji. Tanpa ada celah untuk dipecah. Tanpa ada ruang untuk menggenggam. Aku melihatmu. Aku dihadapanmu. Tapi semu. Aku tak kasat mata bagimu. “
Pagi ini, bisikan tetesan air di toilet, permainan detik jam yang menggelitik, kisikan samar angin subuh menjadi harmonisasi yang menenangkan. Sekaligus membuatku sedikit bergidik. Ini karena kamu, atau mereka?
“Aku takut.”
Kamu menambahkan, merepetisinya seakan mantra. Aku mendengarkan, seperti dongeng dari jaman dulu yang terasa asing namun dekat. Jeda diantara kamu dan aku menjadi lebih dari sekedar waktu. Melebihi batas geografis.
“Sudah hampir pagi. Maaf atas menitmu yang tergadai. Selamat menjelang pagi.”
Klik.
Sambungan terputus.
Pukul tiga lebih duapuluh.
Kepalaku pening. Hei kafein, mari bercumbu.