"Berangkat kapan?"
"Malam ini. Habis Isya'."
"Yakin nggak naik pesawat?"
"Kering kantong gue."
"Pinjem gue aja. It's okay."
"Nggak usah. Hahaha. Anggap aja gue mau refleksi sepanjang perjalanan."
"Refleksi? Pijat?"
"Ha-ha. Asli. Lu garing banget."
"Take care, ya."
Dalam. Sangat dalam.
**
Perjalanan, semewah atau semurah apapun, tak pernah membuat sesal. Jujur, yang paling menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri. Beserta segala keheningannya. Aku bahkan tak keberatan menghabiskan berjam-jam tanpa kepastian hanya karena hal seremeh delay. Konyol ya? Karena buatku, hanya dengan sebuah perjalanan membosankan kamu akan menghargai interaksi dengan orang lain.
'Selalu lihat dari sisi baiknya, Nak,' demikian Ibu selalu berkata.
Saat itu H-sekian menjelang Hari Raya. Setelah sekian lama, tahun itu kami akan melakukan mudik. Ya. Tinggal di kota setenang Klaten membuatku dan adik terbiasa dengan rasa tenang dan kedamaian. Dan kini kami harus seperti kaum urban yang berduyun-duyun memenuhi kota kecil sekitar kami saat Lebaran tiba, lengkap dengan berbagai buntalan oleh-oleh di atas kendaraan hingga nyaris tumpah ke sisi jalan? Bedanya, kami melawan arus.
"Kenapa Bapak tidak pulang saja, Bu? Ini kan Lebaran. Aku mau Lebaran sama Bapak disini, malam takbiran sambil lihat pawai bedug di alun-alun," Aku baru sadar, saat itu aku cenderung merengek.
Ibu, dengan tumpukan pakaian yang sedang dipilah untuk dibawa mendadak berhenti, lalu berlutut di hadapanku yang masih keras kepala.
"Bapak ndak bisa pulang, Nak. Kita yang kesana, ya."
Aku tak penah tega melihat Ibu sedih, apalagi sampai memohon di depan wajahku. Dan entah kenapa, kali itu Ibu sangat sedih. Tak mungkin tak ku iyakan, kan?
Dan rupanya itu adalah mudik terakhirku ke ibukota untuk menemui Bapak. Di pemakaman. Aku ingat, saat itu aku memakai baju koko berwarna putih gading. Dibelikan Bapak dan dikirimkan ke rumah untuk aku dan adik beberapa minggu sebelum Lebaran tiba. Bapak tahu anaknya tidak suka warna putih bersih.
240 thousand miles from the Moon, we’ve come a long way to belong here,
To share this view of the night, a glorious night, over the horizon is another bright sky
Oh, my my how beautiful, oh my irrefutable father,
He told me, "Son sometimes it may seem dark, but the absence of the light is a necessary part.
Just know, you’re never alone, you can always come back home
**
"Nak, tawaran Pakdhe bagus kok. Ndak diambil?"
Aku memandang setumpuk pisang goreng hangat mengepul di hadapan. Sore tadi ibu memetiknya dari kebun belakang rumah.
"Nggak ah Bu. Aku mau disini saja, menemani Ibu."
"Ndak papa Ro. Ibu ada Nani kok disini."
"Iya Mas, Nani kan kuliahnya cuma di Jogja, dan bisa pulang pergi." adikku menimpali.
"Nanti kamu capek--"
Ibu geleng-geleng kepala,
"Masmu atos tenan Nduk."
yang disambut tawa Nani.
**
"Aku bakal sering-sering pulang kok Bu."
Ibu mengelus kepalaku dengan lembut. Ah. Kok rasanya ingin mengumpat.
"Iya Nak. Hati-hati ya. Ibu baik-baik saja kok. Kan ada adikmu."
"Iya Mas. Ibu sama Nani, kok."
"Jaga Ibu, ya Nik."
Suara derap kereta, peluit pertanda ada kereta langsir, penanda palang kereta bersahut-sahutan di kejauhan. Rasanya tak ada yang lebih berat daripada meninggalkan itu semua. Di tanganku ada sebuah kotak makan berwarna hijau. Bergambar kartun katak. Ibu telah mengisinya dengan oseng tempe, ayam goreng, dan tumis genjer. Tak lupa jeruk pontianak sebuah. Biar tak usah jajan, selalu kata Ibu ketika membawakan bekal untuk aku dan Nani.
93 million miles from the Sun, people get ready get ready,
'cause here it comes it’s a light, a beautiful light, over the horizon into our eyes
Oh, my my how beautiful, oh my beautiful mother
She told me, "Son in life you’re gonna go far, and if you do it right you’ll love where you are
Just know, that wherever you go, you can always come home
Tumis genjer Ibu biasanya enak sekali. Kali ini tetap enak, namun sedikit pahit. Dan pahitnya sampai ke hati.
**
Orang-orang yang bekerja di Ibukota, pada akhirnya akan menggadaikan rasa lelahnya dengan tiket ratusan hingga jutaan rupiah saat Hari Raya menjelang. Ya, rasa lelah setahun. Kamu tak akan sungguh peduli lagi dengan makian bos, rapat-rapat tak penting yang menyita waktu seharian tanpa hasil berarti, jam kerja diluar ambang batas normal terutama ketika tumpukan target berhamburan, pekaknya telinga dengan klakson panjang saat beradu kendaraan di pagi hari--melintasi jalanan yang tergerus banjir atau lubang-lubang menganga. Tak peduli, selama semuanya demi tiket mudik. Tiket menuju kebahagiaan, demikian aku menyebutnya. Apalagi yang kamu tunggu selain ekspresi bahagia seluruh keluarga besar di kampung saat melihatmu tiba, dengan tentengan berkodi-kodi baju yang dibeli berdesakan di Tanah Abang?
"Pakdheeeeee!"
Lamunanku terhenti diudara.
"Hei, Mas!" suara Nani.
"Loh, kamu sudah besar!" aku buru-buru menggendong Aleesha--iya, nama anak sekarang mudah dilafalkan namun sukar ditulis, haha--keponakanku yang mulai bergelanyut di pinggangku. Ahya, Nani sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan manis.
"Sudah dari tadi, Mas?"
"Nggak, barusan kok. Suamimu mana?"
"Di parkiran, tadi ban nya rada kempes. Eh, bawa barang banyak ya? Kutelepon dia, deh--"
"Nggak usah, nggak usah."
"Icha, ayo sama Ibu. Pakdhe capek itu baru sampai."
"Nggak mau! Icha mau sama Pakdhe!"
"Udah, nggak papa Nik." ujarku geli.
"Yasudah. Mas, mau langsung?"
"Iya. Langsung saja."
"Tapi langsung kami tinggal gimana? Ada njagong temen Bapaknya Icha."
"Iya, langsung aja nanti kamu."
**
"Sehat Bu? Ro kangen Ibu,"
Udara sore itu sungguh sejuk. Berkali-kali aku menghirup udara banyak-banyak, maruk sekali seakan itu adalah stok udara terakhir di muka bumi. Faktanya, bahkan udara pagi hari di Ibukota adalah udara yang telah tercemar, kok. Wajar kalau aku maruk, kan?
"Ro sekarang sudah naik jabatan Bu. Seperti yang Bapak pengen dulu. Jadi orang sukses. Yaa, mungkin belum sukses sekali sih Bu. Tapi cukup. Ro sekarang punya rumah di daerah Kebagusan. Ibu tau nggak daerah Kebagusan? Hehehe."
Kamu tahu, sesuka-sukanya aku dengan keheningan, aku tetap tak suka keheningan detik ini.
"Ro bawakan Ibu anggrek bulan ya Bu. Bunganya bagus sekali, Bu."
Kali ini, biarlah anggrek bulan yang menemani tidur panjang Ibu.
93 million miles from the Sun, people get ready get ready,
'cause here it comes it’s a light, a beautiful light, over the horizon into our eyes
"Ro pamit, Bu."
**
"Mas, ada tamu di depan." Nanik menepuk punggungku yang sedang sibuk memperbaiki kursi. Kursi kesayangan Bapak.
"Mas Bayu ya? Ngajak jalan ke alun-alun lihat pawai bedug dia." sahutku masih sibuk memaku ujung kursi.
"Bukan--"
Entah kenapa kali ini jantungku berdegup kencang. Jantungan?
"Hai."
"Loh--"
"Mau melihat pawai bedug di alun-alun?"
"Lu naik apa?" alih-alih menjawab, aku justru mengajukan pertanyaan.
"Pastinya naik pesawat, sih." ekspresi mukamu tampak geli dan penuh kejutan.
Iya, kejutan.
Every road is a slippery slope
There is always a hand that you can hold on to.
Looking deeper through the telescope
You can see that your home’s inside of you.
"Pulangnya jangan malem-malem Mas, besok Sholat Ied pagi lo!" Nani, sedemikian iseng. Aku yakin dia menahan tawa karena saat aku berbalik badan dengan muka merah padam terdengar suara cekikikan beradu dengan dentingan rantang sambal goreng krecek, panci berisi opor ayam kampung, dan semangkuk acar nanas.
Just know, that wherever you go, no you’re never alone, you will always get back home
'Bapak, Ibu, selamat Idul Fitri. Maaf kalau Ro banyak salah.' bisikku dalam hati. Semoga kalimat ini sampai ke atas sana, ditemani suara takbir bersahutan di udara malam.
Ditulis dengan rasa kangen udara Yogyakarta dan Gudegnya yang legit rupawan. Ditemani 93 Million Miles-nya Jason Mraz. Replay lagu ini berkali-kali dan langsung mendapat mood bercerita dengan plot diatas :')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar