Minggu, 30 April 2017

Balada Tongkol Balado




Pertemuan keramat.
Iya, dilakukan di malam Jumat, namun bukan membahas sesuatu yang berhubungan dengan laknat.

Aku menyesap wedang beras kencur dengan estetis, sementara dia sibuk bermain kartu.
Aku pengamat yang baik--jika kata itu lebih halus untuk menyebut seorang mata-mata.


**


"Dibayar berapa?"
Aku mengangguk. Menjadi mata-mata bukan hal yang gampang, kan? Maksudku, aku menghabiskan setiap Jumat sore dan terkadang hingga menjelang malam, mengabaikan setumpuk tanggungjawab, hanya demi tugas mengamati dari seorang teman. Sebut saja, Anini.

Anini merengut.
"Nanti, buku biografi bertandatangan biduan Pantura favoritmu itu. Bagaimana?"
Wah, anak ini sungguh petaruh handal. Dengan riang, aku menjabat tangan Anini.


**


"Anini anak yang baik."
"Lalu?"
Sabtu sore kelima. Tubuhku tampaknya lebih bugar, setelah rutin bertandang ke bar jamu kekinian seminggu sekali, hanya demi mengamati subjek intaian Anini. Ro.

"Lalu apa? Ya sudah."
"Dia tampaknya tertarik padamu." aku baru sadar, cassava wedges ala bar ini sungguh menarik. Dengan dicocol sambal Roa apalagi.

Ro menoleh malas, mengamatiku yang asyik dengan kunyahan sepotong besar cassava wedges sang primadona sore itu.

"Aku ceritakan sebuah rahasia, sebenarnya bukan lagi rahasia. Karena ketika satu hal yang disebut rahasia telah dibagikan kepada orang lain, status rahasia-nya telah larut ke bumi--,'
Oke, hasil pengamatan yang lain. Pria ini sanggup mendramatisasi keadaan,
'--dia menyukaimu."
"Siapa?"
"Dia. Anini."


**


Kamu tahu, orang dengan kesedihan mendalam sering disalahartikan sebagai penikmat lagu sendu mendayu-dayu. Faktanya? Penggemar musik dan lagu 'keras', semi hardcore, seringkali adalah pribadi yang paling mampu menyelami emosi. Semakin keras entah lirik dan hentakannya, semakin tersalur himpitan emosi. Apa itu istilah masakininya? Nah, baper. Baper secara anti-mainstream.

Itu Anini.
Mengenalnya sejak kelas dua sekolahdasar. Anini, anak yang kerap di bully rekan-rekannya hanya karena bertubuh kecil, berkulit legam, dan suara ringkih seperti mencicit. Sudah bicara, bukan karena tak bisa berkata. Namun karena rasa percaya dirinya redup entah kemana.

Lalu masa sekolah menengah pertama. Masih sama.
Lalu sekolah menengah atas. Tetap sama.

Karena apa?
Mungkin karena ia hanya memiliki seorang Ibu yang entah berada dimana, sementara Bapaknya menikah lagi dengan pemudi kampung tetangga. Kudengar, Ibunya sangat dikenal di kisaran sepertiga akhir malam, diantara lampu-lampu jalanan dan hingar bingar hiburan.

Peranku?
Sudah kubilang sejak awal. Aku setia menjadi pengamat. Diam saja. Jahat? Aku hanya menjaga jarak. Karena orangtua menjunjung pergaulan terhormat. Rupanya mereka tak tahu, anaknya ini memuja lagu Pantura, meski bukan goyangannya.

"Sudah Jumat kedelapan, Anini. Ayo, mana janjimu, biografi bertandatangan?" kataku di corong telepon. Janji yang diiyakan palsu oleh Anini. Semoga masih terdengar wajar.
"Sore ini. Ketemu dimana?"
"Warung padang biasa saja."
"Oke."


**


Yang aku suka dari warung masakan padang adalah tatanan hidangnya di meja. Seluruh menu lezat sengaja dihidangkan, seakan-akan kamu mampu membayar keseluruhannya dan perut sanggup mencerna.

"Bagaimana dia?" Anini menatapku tajam, ia bahkan tak tertarik dengan tongkol balado yang mencolok indra. Padahal ia suka sekali. Loh, aku tahu? Iya, aku tahu. Aku hapal. Anini penyuka warna pastel. Benci hujan dan lagu dangdut. Kadang minum kopi sachet seribuan tapi lebih sering menyesap minuman liang teh kalengan. Hanya mampu mengitari lapangan tiga kali ketika pelajaran olahraga, dan masih setia mendengar My Chemical Romance sementara dunia sudah terhipnotis EDM. Aku tahu.

Segelas teh manis langsung habis setengah kutenggak.
"Dia--baik."
"Baik?"
"Anini, aku ceritakan sebuah rahasia, sebenarnya bukan lagi rahasia. Karena ketika satu hal yang disebut rahasia telah dibagikan kepada orang lain, status rahasia-nya telah larut ke bumi--,'
"Apa itu?"
"Kenapa harus aku?"


**


Kelak, mungkin akan ada seorang ilmuwan yang mampu menciptakan anestesi untuk perasaan. Karena kadang sentilan di hati rasanya jauh lebih sakit daripada di amputasi.


**


"Terimakasih sudah menjadi pengamat, kamu. Setelah belasan tahun. Sendiri, namun diamati. Tak masalah meski dicaci, selama masih ditunggui. Di kejauhan."
"Tongkol balado, Anini?"
"Aku belum mendapat tandatangan biduan Panturamu."
"Jumat depan, aku ke rumahmu, ya."


**


Ini Jumat sore. Ibukota gerah. Polusi masih mendominasi. Jangankan pelangi, turun hujan saja Alhamdulillah. 


So many
Bright lights, they cast a shadow
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak

Dan entah kenapa, aku jatuh cinta pada wedang beras kencur dan tongkol balado.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar