Menemukan celah lalu mengkritisinya lewat sarkasme atau skeptical-thinking. Apakah itu bisa menjadi suatu keahlian? Hehehe.
Iya, salah satunya. Si sarkas *eh
Bedanya dengan beberapa tahun lalu adalah kini (rada) mencoba menjadi bagian solusi (baca : mencari solusi) setelah puas mencecar. Dan, susah. Asli.
**
Barusan sekali, otak terbagi konsentrasi. Dengan tumpukan buku-buku tentang generasi perubahan, millenials, lalu teknologi dalam masyarakat uber, pikiran tiba-tiba mengembara ke suasana persawahan menghijau, udara pegunungan yang segar, suara debur ombak di kejauhan.
Katakanlah, ini muak. Di lingkungan terdekat akhir-akhir ini seperti kecanduan teknologi. Iya, terlepas dari jenis gadgetnya maksud saya. Semua ada dalam genggaman. Semua ada dalam sekali sentuh atau klik.
Mendadak tadi, saya ingin sekali makan Fish Streat. Sebuah resto baru di bilangan Galaxy Bekasi. Dua kali lewat sana, saya dan suami kehilangan nyali sekedar untuk antri. Gila parah antrinya. Masih kapok pasca-antri Flip Burger di Senopati tempo hari.
Thanks to technology. Dengan mudah kami mengetahui apa yang sedang menjadi tren dan viral. Adalah keren, ketika berhasil mencicipi atmosfer viral tersebut, kan?
Namun di sisi lain, ada rasa timpang ketika melihat deretan pria berjaket hijau sedang sibuk mengantri. Kepala mereka menunduk, jari-jari sibuk bertarung dengan keypad demi mendapat orderan. Entah hujan entah panas. Itu halal. Betul.
Dan otak saya yang kadang penuh sarkasme ataupun sok rajin mengkritisi, langsung teringat sepenggal adegan dalam film Wall-E.
Wall-E, 2008. Source : YouTube
Film ini dibuat tahun 2008. Sekian tahun yang lalu dari teknologi berkembang. Dan hanya dalam jangka sekian tahun, adegan yang tercapture di film ini bukan lagi menjadi hal mustahil. Melihat penggalan film Wall-E ini kok rasanya, nyes.
**
Jika ada yang mendesak dan mendebat untuk menggunakan teknologi,
"Hei, jangan gaptek! Kamu harus update."
dan detik itu juga rasanya ingin mengernyit,
"Are you sure about that, huh?"
Yakin, kamu berkata seperti itu? Seakan-akan yang tidak melek teknologi hanyalah penghalang kemajuan. Rasa-rasanya kok egois sekali.
**
Bapak saya, adalah seorang wiraswasta. Berbagai usaha telah beliau tekuni dengan sepenuh hati. Apa saja. Hingga sewindu terakhir ini cukup mantap dengan usaha kerajinan tangan. Bapak sudah sepuh, dan anak-anaknya termasuk saya cukup gatal untuk membantu Bapak.
"Pak, tak jualin di internet ya Pak."
"Ndak usah. Begini saja sudah laku kok."
"Biar Bapak nggak capek, angkut-angkut barang terus. Kan kalau pakai internet tinggal duduk, enak."
"Ndak usah. Nanti ditiru orang."
Itu Bapak. Dengan (yang mungkin menjadi) ketakutannya. Disini saya tak akan membahas betapa beratnya meyakinkan Bapak untuk mengubah model penjualan. Ataupun cara Bapak melakukan penetrasi pasar. Yang saya tahu saat itu--saat masih kuliah--ada gap generasi antara kami dan Bapak. Bapak, dengan metodenya yang kami pikir kuno. Dan kami, yang rasa-rasanya merasa paling melek teknologi di muka bumi.
Hingga suatu ketika, saya memahami apa yang miss dari beda generasi ini. Kecanggihan teknologi seakan-akan tidak memiliki rentang kesalahan. Yang terbaik. Namun ternyata, pelakunya yang kadang menimbulkan keraguan dan mendorong beda persepsi dalam lintas generasi. Bapak mungkin khawatir menggantungkan hidupnya dari sebuah teknologi yang memang sangat dinamis. Benda mati. Namun dinamis. Dan kami, dengan minat yang fluktuatif, kadangpun belum tentu mampu mengikuti ritmenya :)
Wajar, karena sekarang prinsipnya adalah,
Makes stranger closer.
Cukup kontradiktif dengan persepsi jaman Bapak dulu mungkin, kepercayaan itu ada dengan cara pembiasaan dan tidak semata diberikan.
Dan saya baru paham saat itu, ada value yang tak tergantikan teknologi. Gethok tular dan guyub. Bapak, menghubungkan antara satu rantai pengrajin dengan pengrajin yang lain. Berkunjung secara rutin satu-persatu. Dari awam menjadi kerabat. Menyapa langsung. Menyampaikan maksud dan keinginan, namun di satu sisi juga bertanya kabar. Mengenal pengrajin atau mendapatkan ide baru hasil brainstorming pun tidak dari internet atau surat kabar, melainkan gethok tular, info dari orang ke orang. Itu yang esensial. Sesuatu yang tak terbeli meski dengan versi teknologi manapun : local wisdom. Melibatkan pikiran, rasa, dan raga hingga terkonversi menjadi rasa percaya.
Bapak sehat?
**
Lalu, kemana arah dari tulisan absurd ini?
Arahnya hanya satu. Bagi yang sudah sangat melek teknologi, ayolah bersama mendorong yang masih merem teknologi. Jangan sampai, yang maju makin maju. Yang masih dibelakang makin terbelakang. Yang canggih seharusnya bukan teknologinya, namun manusia pelakunya, yang mampu menempatkan teknologi secara lebih bijak diantara hubungan lintas-manusia.
Be part of solution, not problem.
*sebuah catatan pribadi. Karena menjadi bijak tak selalu mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar