Jumat, 29 September 2017

Collecting Moments : #Yogyakarta



Kamu tak memerlukan pagi, siang, sore untuk merasakan Yogyakarta.
Kenapa?
Karena setiap momen per detik di kota itu adalah kenangan.

 


**


Yogyakarta,
lebih dari semanis kerinduan Katon Bagaskara,



Sedikit, dari sebuah Jiwangga








menapak setiap jengkal, menyalin semua kisah
kamu nyaris tak perlu menjadi pujangga untuk mendeskripsikan cerita,


**



Rasa  haru mampu menyusup sedemikian hangat, melewati tengkuk lalu merembet ke hati. Sedikit menyisakan remang rasa di atas kulit : bulu kuduk yang waspada.








karena rasa cinta memang bisa berbentuk sedemikian megah. Hingga meriam ditembakkan ke udara tepat saat iring-iringan pembawa Gunungan keluar menuju alun-alun, tiga jam bukanlah apa-apa.















Saya bukan fotografer. Mampu menggunakan DSLR pun tidak. Namun saya bertahan, dan berhasil memaksa adik ikut bertahan, menonton rangkaian Grebeg yang bahkan belum pernah disaksikan meski dulu tinggal di Yogyakarta.

Tiga jam yang panas, membakar ubun-ubun dengan sempurna. Bayangkan jika dalam parade megah ini ditampilkan keseluruhan prajurit Bregadha yang ada di Yogyakarta lengkap dengan segala busana, kekhasan, dan panji-panjinya. Harap-harap cemas berkali-kali melirik baterai handphone dan mengalihkannya menjadi flight-mode, semoga belum mati total sebelum Gunungan lengkap keluar dan diarak menuju Alun-alun.
























Bekal sebelum keisengan dimulai, dibelikan Ibu pagi-pagi di Pasar Kotagede. Nyaris menangis memakannya. Saya selalu kangen sama kesederhanaan kota ini. Namanya kipo. Tepung ketan yang diolah dengan pewarna alami daun suji, diisi parutan gula merah dan kelapa.














Saya bukan fotografer. Dan tidak terencana itu menyenangkan. Saya dan adik hanya mengenakan baju yang sangat tidak proper, berbekal dua botol air mineral dingin yang dibeli tepat sebelum masuk lingkup kraton.






























































Jadi, kata siapa budaya menjadi sedemikian kuno. Saat ini Kraton Ngayogyakarto memiliki Instagram. Bisa ditilik di akunnya @kratonjogja ya :)  Saya selalu suka kekuatan media sebagai culture influencer, khususnya dalam format story-telling. Tentunya tanpa perlu melebih-lebihkan, karena suatu budaya sebenarnya pun sudah luarbiasa megah.






Abdi dalem.
Tak ada yang lebih mulia daripada kedalaman loyalitas karena rasa hormat. Hormat, bukan takut.


Saya bukan fotografer, namun saya mendapatkan spot terbaik di ujung gerbang. Tidak terhalang oleh adu kamera manapun, di tepian barikade Pamong Praja yang kemudian berbaik hati menginjinkan saya sedikit maju untuk menyimak parade budaya yang luarbiasa :')



**


Awal mula.
Pagi itu masih terik. Saya memutuskan melakukan ronde hunting kedua bersama adik saya, Risa.

"Kemana, Mbak?"
"Kotagede yuk Sa."


Tidak muluk, saya hanya ingin mengambil gambar plang tulisan Kotagede, lalu melipir ke gang sekitaran Basen. Another mainstream thing. Hingga mendadak isi kepala teringat Makam Raja Kotagede. Melirik baju yang kami kenakan, kaos oblong dan celana jins. Lalu mengangkat bahu. Ayo lanjut!



Sawo kecik.
























Teringat pelajaran favorit jaman sekolah menengah pertama, sejarah. Pertama kali membaca istilah punden berundak. Guru sejarah saya saat ini bernama Pak Marsino. Dan pagi itu, saya teringat beberapa petikan pelajaran sejarahnya.


A typical-jogja's-street-lamp.




Tentu saya masih tetap menyukai tempat ini. Tempat yang pertama kali saya kunjungi untuk pre-wedding shoot kami. Konyol ya? Pre-wedding di makam. Iya. Saat itu saya hanya menginginkan ketenangan, tapi bukan tempat mainstream. Makam ini sunyi, mungkin karena tak terlalu terksploitasi bisnis wisata. Saat saya berkunjung hanya ada beberapa orang yang menyapu, dan sejumlah warga sedang menyembelih hewan kurban. Masuk lebih dalam, dan suasana yang ada semakin tenang,





















Home.


**

Awal mula yang lain.

Suatu game elektronik akan lekang dimakan jaman seiring versi updatenya, tak meninggalkan kenangan. Namun tidak dengan hal yang melibatkan indra.












"Kemana lagi Mbak?" tanya Rian, adik laki-laki saya.
"Krapyak yuk, Yan."


Ada bangunan megah di tengah Panggung Krapyak. Dulu saat saya kecil, cerita yang saya dapat tempat yang mirip benteng kecil ini merupakan tempat Sang Raja mengintai dan melakukan perburuan. Saat kecil, saya percaya.




Saya tak akan lupa bangunan ini. Bangunan yang selalu saya lewati setiap menuju tempat kakak satu-satunya, saat saya masih kecil hingga kuliah. Dulu masih banyak pohon rindang. Saking rindangnya cahaya matahari pagi terkadang hanya mampu masuk selapis demi selapis menembus dedaunan, menimbulkan efek cahaya yang indah. Iya, saya nyaris terkejut ketika kesini dan menemukan tempat ini sudah dipugar. Lebih bagus sebenarnya. Namun, ah sudahlah.

Kemarin, saya terpikir mampir ke tempat Mbak. Saya sungguh sudah lama tidak berkunjung. Mbak Esty, gadis yang saya kenal hanya dari fotonya sedang memegang tumpukan kado. Kakak yang konon menjadi sosok kesayangan Mbah Buyut karena keceriannya dan begitu kenes. Sayang sekali adik pun lupa tempatnya. Kapan-kapan saya main ya Mbak, membawa bunga favorit Mbak dan air mawar.









Kamu lihat berapa banyak budaya yang ada pada sebuah batu prasasti? Siapapun yang berpikir toleransi dan tenggangrasa bukanlah bagian dari bangsa mungkin sungguh harus pindah keluar Indonesia.

















Ya, saya memang sudah lebih dulu menuliskan kisah Mbah Suratmi di media sosial saya. Saya bukan tipe orang yang cukup spontan untuk mencegat orang asing di jalanan. Tapi tidak kali ini. Saya melihat Mbah Suratmi sedang berjalan kaki menggendong tenong berisi mainan di jalan kecil menuju Alun-alun. Saat itu saya masih ragu. Hingga kemudian saya berhenti di pinggiran Alun-alun demi mencari spot foto, dan menemukan Mbah Suratmi sedang menyeberani Alun-alun. Saya mempergunakan bahasa krama inggil semampu yang saya bisa, bertanya Mbah hendak kemana dan apakah sudah lama berjualan seperti ini. Dan sederet hal remeh lain. Beberapa kali saya mengajak Mbah duduk karena tampaknya bawaannya sangat berat, namun Mbah suratmi menolak halus. Mungkin khawatir ada petugas yang mendatangi.




Kenangan memang mengalahkan segalanya.Pagi itu saya membeli tiga mainan buatan tangan, yang dibuat Mbah Suratmi entah setekun apa. Yang pasti tangan beliau bahkan merh terkena pewarna mainan. Saya membawa pulang mainan ini dengan rasa haru yang aneh, bertekad akan memperkenalkan Cupis dengan mainan yang terkesan remeh dan tergantikan oleh jenis pabrikan.









**


Suatu hari seorang sahabat bertanya,
"Kenapa begitu merindukan kotamu? Sudah sekian tahun dan masih tak luntur."

Tak akan.
Ketika setiap unsur emosi ada di nyaris setiap sudut kota. Sehingga Yogyakarta memang bukan lagi sekedar angkringan, rindu, ataupun kenangan.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar