Hidup di Yogyakarta.
Bagaimana bisa kamu berpindah ke lain kota, sementara sebagian nyawamu tertinggal di sana?
Aku tak sanggup.
"Kenapa?" pertanyaanmu sungguh retoris.
Aku menghela napas.
Rasa tenang itu mahal harganya.
**
Mencintai kota ini. Dan menemuinya adalah sebentuk terapi.
Kembali ke kota ini. Namun mengakuinya berarti pengorbanan empati.
**
"Rasanya lautan? Coba kamu ambil sebuah cangkang kerang, dekatkan bagian cangkang kerang terbuka ke daun telinga."
"Dan apa yang akan aku dapat?"
"Debur ombak berdesir."
It's not have to be perfect. It's just to be okay. And it's okay.
Menghabiskan waktumu yang berjalan lambat, mengamati seorang pria kecil sedang sibuk memindahkan pasir dari satu titik ke titik lain, menutupi lubang tinggal seekor kepiting kecil. Itu dalam diam. Namun kamu bahkan mampu merasakan gestur bahagia terpancar sangat kuat,
"Yang dua tanpa gula, yang satu dengan gula."
"Kula pisah kemawon pripun?" (Saya pisah saja bagaimana?)
"Oh nggih pun." (Oh, oke)
Rasa sopan itu tidak selalu dipaksakan. Tata krama dan pelayanan tak selalu sejalan dengan edukasi atau latarbelakang, apalagi nominal. Itu perasaan.
Ketika tiket menuju kebahagiaan bisa ada dimanapun dalam bentuk apapun dengan harga yang terjangkau. Kamu pilih yang mana?
**
"Ini Ibu beli jamu watukan. Diminum ya Nduk."
Kamu tahu? Sesuatu yang sederhana dan tulus itu seperti pengusir hawa negatif keluar. Dan semuanya, berasal dari sugesti yang sederhana.
**
Dan aku, tak akan pernah bosan menyusuri lorong penuh barang berdesakan semacam ini. Tak akan pernah.
"Mambu menyan ngono, kok." (Bau menyan begini kok)
Bukan peppermint, ylang-ylang, lavender. Namun aroma cempaka, cengkeh, melati, akarwangi. Aroma yang memenuhi rongga hidung, penuh hingga menyusuri setiap neuron, diantara gending jawa yang mengalun pelan. Mistis? Candu? Kejawen? Ah, biar. Mereka tampak jauh lebih masuk akal daripada Xanax ataupun Prozac.
Dengan seratuslimapuluhribu rupiah, kamu memindahkan sepetak kehidupan ke tanah lain. Berharap ada sedikit ketenangan akan terbentuk di tanah lain itu kelak. Seratuslimapuluhribu rupiah, seharga gaya hidup lintas bistro dan kafe ternama, atau bahkan jauh lebih murah. Sesuatu yang murah, memang selalu lebih susah. Namun itu seninya, kan? Perjuangan.
**
Kesenangan ini seakan terhenti ke udara. Bersahut-sahutan dengan perut yang ikut merasa lapar.
"Mau beli gorengan lagi."
"Jauh-jauh cuma beli gorengan?"
"Sebanding, karena disana aku cuma bisa mendapatkan sepotong tempe tipis yang tampak digoreng paksa dengan genangan minyak kelam."
... atau, serius, kamu masih bisa menampik lembutnya potongan ayam dan bebek yang juicy, berpadu sambal bawang super pedas, plus kenikmatan yang masih belum berakhir : tambah nasi sepuasnya? I don't think so. Kamu tak akan sungguh berkarya, ketika bahkan perutmu tak diapresiasi dengan pantas, kan?
Masih berniat menyentuh potongan steak mahal yang overprice mungkin karena berlabel western?
Aku... mungkin tidak malam ini.
**
Terimakasih Yogyakarta, sampai jumpa kembali titik nol kilometer.
Terimakasih untuk selalu menjadi kepingan harapan di saat semuanya sungguh tak masuk akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar