Terkadang saya tidak terlalu berminat membuka inbox akun jejaring sosial yang saya miliki. Kenapa? Yah, karena sebagian besar isinya memang link produk online, atau serangkaian informasi terapi yang memang kurang saya minati :p (dan tolong jangan menanyai saya kenapa saya mengambil kuliah tentang manusia jika saya memang tak tertarik bagaimana cara menerapi manusia… saya hanya bisa mengangkat bahu).
Sekian banyak pesan dalam inbox saya, hanya dua yang rupanya benar-benar menarik perhatian saya belakangan ini. Pertama adalah desas-desus mengenai penghapusan U*-U*M dan yang kedua adalah mengenai isu paperless office. Isu yang pertama tidak terlalu mengutak-atik pikiran saya, karena toh, kebijakan apapun itu, sedikit banyak U** memang sedikit bergeser dari esensi kerakyatan. Yah, semoga saja apapun kebijakan kali ini tidak semakin menyengsarakan mahasiswa, apalagi calon mahasiswa.
Saya memang jauh lebih tertarik dengan permasalahan paperless office itu, seiring berbulan-bulan yang telah saya lalui (ups.. maaf kalau jadinya curcol :D). Hm, sedikit preambule mengenai PLO (singkatnya paperless office) ini, PLO adalah semacam another green plan menurut saya, pihak kampus rupanya menyadari pentingnya penghematan kertas (yang entah demi efisiensi lingkungan atau efisiensi kantong) sehingga timbul ide untuk menyusun database seluruh mahasiswanya sedemikian rupa. Jadi kelak setiap mahasiswa akan menerima pemberitahuan tentang (katanya) apapun, hanya dengan sekali klik e-mail atau SMS. Ya ya ya… ide yang bagus, sungguh J Dan pertanyaan BESAR saya setelah membaca pesan inbox saya tersebut adalah :
Apakah skripsi akan menggunakan prinsip efisiensi PLO itu juga??
Berbulan-bulan terakhir ini saya terserang insomnia akut demi mengerjakan tujuh huruf sakti tersebut. Bagaimana harus mengejar dosen, menunggu berjam-jam, ngendon di perpus dari petugasnya belum datang hingga diusir karena hampir tutup. Bagian terburuk adalah saya menghambur-hamburkan kertas dengan semena-mena karena menuai banyak revisi… eng ing eng. Mungkin ada sekitar satu setengah pak kertas yang terpaksa saya korbankan, plus sifat perfeksionis saya yang begitu histeria (terkadang) dengan satu huruf yang salah ketik.
Jika skripsi menggunakan prinsip PLO itu, saya yakin kehidupan mahasiswa tingkat akhir dengan beban TA akan lebih makmur sentausa (toh warnet dimana-mana, rental dimana-mana, dan kebutuhan mahasiswa dewasa ini ada empat menurut Septarina (2011), yaitu pangan, sandang, papan, dan laptop :p). Revisi via e-mail, feedback via e-mail. Praktis. Bolehlah dicetak untuk kenang-kenangan perpus atau dosen, tentunya setelah semua selesai tanpa revisi :)). Plus efisiensi lingkungan yang lebih baik tentu, karena menghemat penggunaan kertas, menghemat penggunaan tinta, menghemat penggunaan listrik untuk menyalakan printer, menghemat penggunaan tinta spidol atau bolpoin yang suka ditorehkan dosen dengan kejam di atas kertas (buat saya, sih). Sekali lagi ini bukan perkara mahasiswa malas atau pelit atau tidak berdaya juang tinggi. Ini sekedar permasalahan efisiensi seperti apa yang hendaknya dipertimbangkan ketika dunia menjadi borderless sementara ada isu lingkungan yang menjerit untuk diperhatikan.
Dan tinggal berdoa hingga bibir kembang kuncup saja : semoga mendapat dosen yang hobi mengulik gadget (baca : komputer) atau setidaknya melek teknologi. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar