Tok tok tok.
Lagi-lagi pikiran ini mengetok batok kepala saya dengan sempurna.
Mau kerja dimana?
Dengan gaji berapa?
Geezz. Dan akhirnya sampai juga saya pada tahap ini : mulai rebek menjadi jobseeker.
Kami, para lulusan sarjana, tak ubahnya seperti tumpukan cendol di dalam segelas es dawet. Menindih, mendorong, melilit, hati-hati tersudut dan tertumpah ke tanah.
Kami, para sarjana, mesti mengumpulkan beberapa rupiah untuk mendaftar sana-sini sebelum benar-benar menuai upah.
Teman, begitulah hakikat mencari sesuap nasi dewasa ini. Pedas, kejam, dan efisien.
Seseorang yang cukup dekat dengan saya pernah berkata,
"Yang terbaik adalah bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain, atau setidaknya berdikari pada diri kecilmu, yakin bahwa dunia tak akan sekejam yang kita pikirkan jika kita percaya pada diri kita..."
Saya mungkin tak cukup mengerti kalimat muter-muter itu ditujukan ke sudut mana dalam otak saya, yang jelas kalimat itu mengiang akhir-akhir ini, tepat setelah saya mengantongi kelulusan saya yang seumur bibit jagung. Saya mengikuti euforia, mendaftar serangkaian job fair, career center, upyuk-upyuk ngalor ngidul scroll kanan kiri atas bawah demi mendapat gambaran sempurna mengenai eksistensi sebuah perusahaan... bla bla bla. Dan saya sadar, saya menjadi follower (lagi).
Ada seseorang bertanya kepada saya mengenai keputusan (yang sebenarnya lebih tepat disebut keterpaksaan) saya untuk cepat-cepat lulus. Yang sebenarnya ada di pikiran saya adalah : saya bosan karena telah berkutat dengan topik yang sama selama nyaris enam bulan ini demi sebuah gelar.
Dalam proses ini, saya percaya, bahwa setiap orang memiliki tantangan serta kisah yang berbeda. Bila ada yang berkata bahwa saya termasuk dalam golongan orang yang beruntung, well, saya bersyukur sekaligus tak bisa 100% setuju. Jangan dikira saya cukup mudah melalui ini semua, dari insomnia selama berbulan-bulan mengerjakan revisi, menanti dengan harap-harap cemas pasca bencana Merapi dan musibah yang menimpa dosen pembimbing saya, badan mengurus (yang saya amini sebagai dampak positif), bikin bosan seluruh pekerja perpus karena saya rajin sekali ngendon di perpustakaan sejak pukul 08.00 hingga 16.00 (praktis saya seperti PNS, bedanya saya tak digaji) demi memahami setiap kata dalam literature yang mendukung skripsi saya, orangtua yang tanpa sadar ikut-ikutan merongrong, berapa ratus kertas terbuang sia-sia dan menyumbang pada penghancuran iklim, badan pegal-pegal dan dehidrasi karena kurang tidur dan kurang minum.
Tampak cere mungkin, bila dibandingkan dengan rekan-rekan saya yang kisahnya jauh lebih bombastis : mengambil data seorang diri hingga ke provinsi sebelah selama dua minggu, dosennya ngantukan atau enggan memeriksa revisi skripsi lebih lanjut, atau sakit, ijin penelitian terpaksa pending karena birokrasi, bla bla bla. Saya yakin, kisah kita masing-masing adalah kisah terhebat. Perjuangan awal kita sebagai single fighter sebelum benar-benar dilepas di arena. Dan kalau boleh saya menambahkan disini, semua MEMANG benar-benar berbeda ketika kita mencoba mendewasakan diri kita dengan sesuatu yang disebut bekerja.
Tak pernah ada yang menyalahkan kenapa seseoran memilih perusahaan A, perusahaan B, atau bahkan menjadi wiraswasta sekalipun. Karena semua itu adalah sekedar keberanian kita melangkah. Dan seseorang yang cukup dekat dengan saya membuktikannya.
**
Bukan tanpa alasan ia memilih jurusan teknik kimia UGM selepas masa studinya di De Britto berakhir. Otak sains tergambar jelas dalam pikirannya. Idealisme yang dijunjung tinggi, tentu. Meskipun terpaksa menghabiskan enam tahun untuk mendalami teknik kimia, toh akhirnya ia lulus dan langsung ditawari posisi dosen di sebuah universitas swasta. Tawaran yang menarik, kalau boleh saya bilang. Iapun memutuskan mengambil tawaran tersebut.
Sebulan
Tiga bulan
Setahun berlalu
Ia merasa idealismenya berada di tempat yang tepat, namun dengan cara yang salah. Ego-nya mungkin bisa berdamai dengan sistem di universitas tersebut, tapi tidak dengan id-nya. Meski karirnya mampu menanjak lebih jauh, ia memutuskan untuk berhenti, dan memulai idealisme dengan caranya.
Kali berikutnya saya menemukannya tengah berkutat dengan mahasiswa-mahasiswa dari universitas unrated, yang berbondong-bondong meminta bantuan 'akademis' dalam hal skripsi. Dengan sekian rupiah niscaya sripsi anda akan selesai. Id idealnya mungkin bertentangan (lagi), namun kali ini ia tak bisa egois memikirkan idealisme lagi karena masih ada periuk yang harus disangga. Hingga, lama-kelamaan idealisme itu berontak.
Beberapa saat berlalu, entah sudah berapa kali ia berganti 'minat' atas arah karirnya. Namun satu yang dipegang teguh : ia sangat berprinsip untuk tidak membiarkan idealismenya terbelenggu oleh sistem, setidaknya hingga idealismenya menemukan sarang yang tepat.
Kini? Saya bisa melihat senyumnya yang menua, berkutat setiap hari dengan tumpukan karton dan kertas berisi aneka ragam kerajinan tangan berkualitas ekspor yang siap diedarkan ke hotel-hotel dan venue ternama Yogyakarta.
Setiap hari berangkat mengantarkan sendiri tumpukan kardus besar yang berat dan besar dengan motor tuanya, berisi ...
bzzzzz... kemudian menagih pembayaran, menghubungi pengrajin, berdiskusi mengenai ide-ide baru untuk mengembangkan produk. Demikian keras setiap hari ia berusaha. Meskipun senyumnya menua. Meskipun ia menyimpan lelahnya dalam hati. Meskipun tak jarang ia harus menghadapi komplain pelanggan atas kualitas barangnya. Kaya kah ia? Saya tak bisa mengatakan bahwa ia kaya secara materi karena ia tak punya mobil ataupun rumah mewah berlantai marmer. Namun ia kaya secara batin. Saya meyakini itu : idealismenya telah bersarang secara sederhana.
Setiap hari berangkat mengantarkan sendiri tumpukan kardus besar yang berat dan besar dengan motor tuanya, berisi ...
semacam menjadi lautan barang-barang
atau ini
saya cukup yakin beratnya 'lumayan'
Inilah yang terjadi.
Bisa jadi saya melamar sana-sini, bekerja dengan tekun dan gemilang, namun bukan berarti saya mengabaikan idealisme sederhana saya. Sayapun memiliki cita-cita. Tak pernah terbayangkan dalam benak saya ketika kecil bahwa kelak saya akan mengagumi sosok seperti Bob Sadino dan Dewi Lestari. Dua sosok yang begitu gagah dalam ingatan. Sederhana, namun berdedikasi. Saya? Saya tak memiliki kemampuan manajemen otodidak yang sedemikian canggih ala Bob Sadino dalam Kem Farm-nya ataupun kepiawaian Dee untuk menggoreskan kata menjadi serangakaian novel best-seller. Namun sungguh semangat mereka, selayaknya apa yang saya petik dari seseorang tadi. Dan saya masih berhasrat memiliki kebun cabai organik dengan kualitas super kelak. Boleh dong? :)
Saat muda mungkin kita memiliki idealisme yang tak kan tergoyah oleh apapun, bekerja di perusahaan multinasional dengan gaji sekian digit. Namun seiring waktu idealisme kita terhadap hidup akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik yang realistis memandang hidup, dengan idealisme yang baru. Semua itu, akan ditentukan dari keberanian kita melangkah.
Dari sini.
yang telah menjadi masa lalu : namun selalu kekal sebagai perjuangan ideal :)