Senin, 23 Februari 2015

Surat terbuka untuk para Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe



Surat terbuka untuk Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe, siapapun yang pada saat ini memiliki putra-putri dan sudah menimang cucu.


**


Selamat siang, Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe, saya berdoa semoga hari ini adalah hari yang luarbiasa bagi panjenengan semua.

Hari ini saya sedikit kesal, sedikit sih, dan semi terintimidasi oleh (mohon maaf) generasi panjenengan


Jleb #1

"Ini tadi kesini naik motor? Dengan seorang bayi?" 
seorang Ibu dari salah satu kerabat penitipan, sekaligus seorang Nenek dari seorang cucu teman main Abhi.

"Iya, Bu. Naik motor."

Ibu itu menatap saya dan Abhi--bergantian--dengan ekspresi amat sangat khawatir dan tidak tega yang teramat sangat menyiksa. Tipe tatapan yang saya kategorikan sebagai 'parah-sekali-anak-sekecil-ini-naik-motor-kesana-kemari'.

Saat itu saya gatal sekali untuk mengeluarkan statement rada pedas yang akhirnya saya tahan : "Kalau adanya cuma motor terus bagaimana lagi, Bu?" - yang mana statement itu saya tahan dalam-dalam agar tidak keluar dari ucapan saya. Takut kualat.

Melihat situasi awkward itu, owner daycare Abhi langsung menimpali bahwa saya diantar dan tidak sendirian bersama Abhi.

Saved by the bell--namun tetap saja rasanya menyebalkan loh Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe.


**


Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe, 

Jleb #2

Minggu pagi lalu, suami saya pulang dari jalan-jalan pagi bersama Abhi, sementara saya sibuk doing some housekeeping tasks--jenis pekerjaan yang baru bisa saya lalukan di hari libur karena ada suami saya yang bisa menjaga Abhi.

"Tadi ketemu ibu-ibu tetangga di gang depan."
"Lalu?"
"Iya tadi cerita-cerita tentang Abhi, lalu dia mendadak menitikkan air mata ketika bercerita setiap hari melihat Abhi dibawa kesana kemari kehujanan dan kepanasan. Berangkat pagi, pulang malam."

Saya diam, suami saya diam.


**


Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe.
Saya paham betapa tidak teganya kalian melihat anak sekecil Abhi menjalani hidup sedemikian beratnya, dengan jam operasional di luar rumah sama seperti ayah dan ibunya. Tapi, jika boleh saya kembalikan kegelisahan itu kepada anda, Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe...

Jika ada pilihan lebih baik menurut panjenengan sekalian apakah saya akan sebodoh itu mengikhlaskan periode terlucu Abhi kepada orang lain? 

Sudah cukup berat rasanya tiap hari saya harus mengenyahkan perasaan 'terpaksa' ketika mengantarkan Abhi 'sekolah', membawakan makanan dalam kondisi tidak benar-benar fresh from the oven, secara berkala menelepon untuk memastikan kondisi Abhi baik-baik saja atau sedang apa, atau bergulat dengan perasaan bersalah bila mendadak hujan turun sangat deras di pagi hari dan saya mau tidak mau tetap harus masuk kantor dan itu berarti Abhi kehujanan.


**


Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe,

Bisakah saya sedikit meminta tolong, sedikit bantuan, untuk bersedia mengerti dan memaklumi--sedikiiiiit saja, bahwa beginilah realita hidup di ibukota. Bahwa jaman memang sudah berubah. Bahwa pekerjaan tak lagi hanya seperti PNS yang selo dan mudah, ataupun berlokasi sejengkal dua jengkal dari rumah.

Ibukota yang keras dan berat. Ibukota yang terkadang memberikan pilihan teramat sulit bagi otak dan badan untuk sejenak beristirahat. 


**

Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe,
Tentunya kami tidak ingin berada dalam kondisi ini selamanya. Ada masanya kami ingin menjadi guru bergelar S1 yang well educated, great manner bagi anak-anak kami. Ada masanya kami ingin dan pasti menjadi koki terhandal dengan menu-menu bintang lima bagi putra-putri kecil kami. Ada masanya kami ingin memberikan pelukan terhangat ketika mereka sedang sakit ataupun sedih. Kami--dan bukannya nanny, babysitter, pembantu, ART, guru, mbak, om, tante, atau bahkan Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe sekalian. Akan ada masanya kami yang menjadi dan pasti mengambil semua peran itu.

Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe,
Sampai masa itu tiba, bantulah kami dengan sedikit pengertian dan senyuman alih-alih ekspresi sedih tak tertahankan karena cucunya berada jauh dari kenyamanan rumah sendiri selama sekian jam. Karena jika ada yang lebih sedih, tentulah itu kami sebagai seorang Ibu :') 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar